Hari ini adalah hari terakhir di Bandung. Mungkin Radit akan mengunjungi Bandung beberapa bulan lagi karena tidak mungkin juga Radit mengambil izin terus menerus setiap minggu. Lagipula, harusnya hari minggu adalah hari istirahat Radit di Surabaya. Terlebih lagi, akhir-akhir ini Radit banyak meninggalkan tugas kuliah dan izin dua minggu ini harus ia ganti dengan mengejar ketertinggalannya.
Rara juga pasti mengerti. Walaupun Rara akan marah beberapa hari, tapi ini yang menjadi keputusan Radit. Radit harus lulus tepat waktu, kalau bisa harus lebih cepat. Radit harus Ingat apa tujuannya masuk ke jurusan ini. Lebih cepat, justru lebih baik untuk menyelesaikan semuanya.
Hari ini Radit akan pergi ke puncak bintang sesuai dengan keinginan Rara dan kebetulan hari ini juga Rara libur kuliah karena ini hari sabtu dan Rara tidak mengambil kelas di akhir pekan. Karena katanya Radit akan datang setiap akhir pekan. Jika Rara kuliah di akhir pekan, nanti saat Radit ke Bandung, Rara tidak ada waktu, jadinya percuma saja Radit ke Bandung.
"Yah, Radit mau pergi sama Rara ya," Ucap Radit pada ayahnya yang sepertinya sedang bersiap untuk pergi meeting bersama klien nya.
"Mau kemana? Semalem tuh kamu abis drop lagi, nggak usah macem-macem Dit, lagian besok juga kamu harus udah ke Surabaya kan?"
Tadi malam Radit memang sakit kepala lagi, kondisi nya melemah setelah mengantar Rara pulang ke rumahnya, berhubung Radit dan ayahnya satu kamar hotel, jadi Radit tidak bisa berbohong perihal sakit kepala yang sudah dua hari ia derita.
"Ya karena ini yang terakhir nanti Radit nggak bakal sering ke sini lagi." Jawab Radit sambil duduk di hadapan sang ayah.
"Jaga diri ya?"
"Pasti"
"Handphonenya jangan sampe mati"
Baru kali ini Radit bisa merasakan jika ayahnya khawatir pada Radit. Biasanya jika Radit sakit, yang ayahnya lakukan adalah mengomeli Radit tanpa henti, menyalahkan musik dan semuanya bisa disangkutpautkan.
"Oke"
***
Rara membuka jendela kamarnya. Rara masih menunggu Radit datang, katanya dia akan datang pukul 10 pagi. Tapi, sekarang sudah jam setengah 11. Sejak dulu, hal yang paling tidak Rara sukai dari Radit adalah Radit yang selalu telat dan tidak bisa konsisten dengan waktu yang sudah ia tentukan sendiri.Padahal Rara sudah menolak untuk pergi hari ini tapi ya karena Radit. Tidak ada satupun orang yang bisa menentang kehendaknya. Kecuali ayahnya.
"Mba Anna, ada tissu basah nggak?" Teriak Rara dari dalam kamarnya.
Rumah yang sekarang Rara tempati memang tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari satu lantai dengan dua kamar yang lumayan besar dan satu kamar kecil yang ditempati Mba Anna. Tapi dengan rumah yang tidak terlalu besar ini, Rara tidak merasa kesepian saat ayahnya sedang keluar kota atau pulang kerja terlalu larut malam. Terlebih lagi, Mba Anna orang yang asik dan bisa Rara ajak bicara.
"Ada neng, di laci dapur. Mba lagi packing bekel nya dulu ya. Nanti Mba anterin"
Rara sendiri yang meminta Mba Anna untuk memasakkan makan untuk dibawa oleh Rara jalan-jalan bersama Radit. Sebenarnya Rara sangat menunggu hari ini datang, tapi dengan kondisi Radit yang kemarin tidak baik Rara malah jadi berat untuk pergi. Meskipun ingin, tentu saja.
Rara mengambil tas ransel yang ukurannya tidak terlalu besar. Kemudian memasukan barang-barang yang biasanya selalu ia bawa, seperti sabun cuci muka, antiseptik, dan jedai rambut. Sekarang Rara memang sedang senang menguraikan rambutnya, jadi jedai itu hanya akan menjadi persediaan ketika Rara dilanda kegerahan dan jedai akan sangat membantu mengurangi kegerahan Rara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Mu, ATAU pacar Mu?
AléatoireSebuah kisah mainstream antara laki-laki dan perempuan yang bersahabat, yang tak bisa bohong pada dua rasa yang dilanda ketakutan oleh sebuah perpisahan. "Ra, jangan terlalu cepat bicara cinta" sebuah kata yang akhirnya terbukti pada sebuah kisah y...