Namaku Anya, aku besar di salah satu kota kecil. Usiaku masih belum genap 18 tahun, namun statusku kini sudah menyandang sebagai istri.
Sebelumnya, dari bayi hingga sebelum menikah aku dirawat oleh keluarga Joko Boyo. Mereka adalah keluarga angkatku. Ibu dan bapak, ku panggil mereka demikian. Ibu dan bapak menyayangiku sama seperti mereka menyayangi Mas Danu, anak kandung mereka.
Beberapa bulan belakangan keluarga kami sedikit sulit perekonomiannya. Bapak dan ibu gagal panen beberapa kali belakangan. Kami mengalami kerugian yang tidak sedikit. Mas Danu terancam putus kuliah, sebagian tanah keluarga Joko Boyo pun dijual untuk melunasi hutang pada bank.
Singkatnya, pria kaya di kota kecil kami menawarkan bantuan untuk memberi bapak dan ibu modal berupa uang juga perluasan lahan. Tak lupa pria itu juga akan menutup segala hutang bapak dan ibu pada bank. Asal aku mau menikah dengannya, perekonomian keluarga Joko Boyo dijamin akan membaik dan kembali makmur. Pria itu bernama Abimanyu, usianya lebih tua lima belas tahun dariku. Selain aku tahu dia kaya, yang ku tahu ibu-ibu di sekitar rumah biasa menggunjingkan prihal status Abimanyu sebagai bujang lapuk.
Bapak dan ibu tentu berniat menolak tawaran menggiurkan dari Abimanyu, namun tidak dengan diriku. Aku memikirkan segala sesuatu yang semestinya --kata bapak tak perlu dipikirkan. Aku tidak ingin melihat bapak, ibu dan Mas Danu mengalami kesusahan lagi. Maka dari itu, malam saat Abimanyu melamarku aku menerimanya. Aku secara khusus meminta Abimanyu untuk menikahiku secara siri dulu. Kita menikah secara siri dan diam-diam mengingat aku belum juga lulus dari sekolah. Abimanyu tidak keberatan, dirinya setuju asalkan nanti saat setelah aku lulus kami berdua menikah sah secara agama dan hukum.
Di kotaku menikah muda memang bukanlah hal asing, namun masalahnya aku masih duduk di bangku sekolah.
Sebelumnya aku tidak mengenal jauh Mas Abimanyu, aku hanya sedikit tahu tentangnya sebab dirinya menjadi bahan gosip para ibu-ibu yang hobinya menggunjing.
"Nduk, mau diantar bapak atau Mas Danu?" Tanya ibu. Aku yang sedang memasukan kue bolu ke dalam kotak makan pun menghentikan aktivitasku guna melihat ibu yang bertanya padaku.
"Mas Danu saja, bu. Bapak kan baru pulang dari pasar, pasti masih kelelahan."
Ibu menganggukan kepala. Tak lama kemudian ibu berkata, "Kamu benar tidak apa-apa tidur di rumah suamimu?"
Mendengar itu, aku mengangguk. "Sudah jadi keputusanku bu, Anya tidak mau jadi istri durhaka. Tidak enak juga kalau Anya tidak ngikut suami," kataku.
Sudah tiga hari aku menyandang status sebagai istri, tapi semalam pun aku belum pernah tidur satu ranjang bersama Mas Abimanyu. Malam-malam kemarin aku sibuk dengan tugas sekolah yang luar biasa banyak, aku bahkan sampai harus bergadang karenanya di rumah ibu. Begitu juga Mas Abimanyu, setelah menikah dirinya harus pergi ke luar kota karena urusan bisnis yang tidak bisa ditinggal. Yah, salah satu risiko memiliki banyak bisnis dan usaha memang seperti itu. Dan rencananya hari ini aku akan memberi Mas Abimanyu kejutan di hari kepulangannya, aku akan tinggal di rumah Mas Abimanyu dan berperan sebagai istri seperti yang semestinya.
Selama tiga hari ini kami hanya berkomunikasi melalui ponsel. Ketikan Mas Abimanyu sangat irit, namun terkesan perhatian. Sedikit berbeda dari aslinya. Saat berbicara langsung, Mas Abimanyu tidak ada irit-iritnya.
"Jadilah istri yang baik ya, nduk. Ibu percaya sama kamu," ibu mengusap rambutku yang panjangnya hampir sesiku. Aku tersenyum, mencium pipi ibu dan mengucapkan terima kasih.
Aku memiliki kunci rumah Mas Abimanyu, suamiku sendiri yang memberikannya. Sedang Mas Abimanyu, dia membawa kunci duplikatnya.
Aku mengucapkan terima kasih pada Mas Danu yang sudah mau mengantarkanku, dia tidak ingin mampir sebab harus mengerjakan tugas di rumah. Aku tahu, saat setelah urusan tugas selesai pasti kakak lelakiku itu akan pergi kencan dengan pacarnya.