Aku sudah memperhatikannya. Hampir dua minggu.
Dia--Kim Taehyung--akan selalu datang ke taman ini setiap sore. Membawa beberapa peralatan lukis. Lalu, dia akan melukis di sebuah bangku panjang dekat danau kecil di taman ini. Selalu. Seakan tempat itu telah menjadi hak patennya.
Hari ini, Taehyung sudah menyelesaikan lukisannya. Dia pelukis yang hebat. Hanya saja ... aku bosan. Objek lukisan pemuda itu tak pernah berganti. Selalu pemuda manis bermata bulat dengan gigi kelinci yang menyembul malu-malu. Taehyung selalu melukis pemuda itu, walau sang objek tidak pernah nampak di sisi Taehyung.
"Aku merindukanmu, Jungkookie."
Aku cuma bisa tersenyum miris. Merasa kasihan. Ketika selesai melukis, Taehyung akan berbicara pada hasil lukisannya; menganggap seolah kanvas bergambar tersebut benar-benar hidup.
"Kembalilah. Kumohon."
Aku ikut merasakan nada kesedihan dalam suara Taehyung. Dia tampak begitu terpuruk. Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa.
"Kau tahu, Kookie? Aku masih belum percaya kau meninggalkanku begitu saja."
Andai aku bisa menghiburnya.
"Kau jahat sekali. Berkhianat di hari pernikahan kita."
Ada perasaan sesak kala terus mendengarkannya bercerita. Meski selama dua minggu ini dia mengatakan itu berulang kali, tetap saja aku ikut sedih. Kim Taehyung yang malang.
"Tempat ini selalu mengingatkanku tentang kenangan kita."
Taehyung tersenyum sendu. Pandangan nanarnya mengedar keseluruh area danau. Warna oranye matahari terbenam memantul pada permukaan air. Lalu, pemuda itu terkekeh pilu ketika mendapati sepasang angsa tampak berenang dengan bahagia di tepi danau.
"Lihatlah, Kookie! Bukankah kau selalu bilang angsa-angsa tersebut mirip kita? Akan selalu bersama dan takkan terpisahkan?"
Aku menyadari air mata lolos dari sepasang hazel milik Taehyung. Membuat hatiku turut sakit. Dia benar-benar rapuh saat ini.
"Kau mengingkari janjimu. Aku teramat membencimu, Kookie."
Taehyung makin terisak, bahkan dirinya kini bersimpuh di atas rerumputan sambil memegangi dada. Seluruh rasa sakit seakan ingin diluapkannya. Begitu menyedihkan.
"Aku membencimu, Kookie. Aku menbencimu."
Ya, kau memang harus membencinya Taehyung. Dia sudah meninggalkanmu. Membuatmu terluka begitu dalam. Dia mengingkari janjinya. Bahkan dia membatalkan pernikahan kalian begitu saja. Dia pergi tanpa pamit. Dia jahat sekali, bukan?
"Mengapa Tuhan sangat tidak adil padaku? Dia merenggutmu dariku."
Aku berjalan mendekati Taehyung. Ikut berjongkok disampingnya.
"Lalu, aku harus bagaimana, Taehyung?" lirihku sembari memandang wajahnya.Ingin sekali kuusap air matanya, namun tak bisa.
"Aku tak sanggup hidup tanpamu, Kookie."
Batinku semakin remuk. Andaikan aku bisa mendekapnya.
"Jeon Jungkook. Kookie-ku. Kesayanganku. Hidupku. Alam semestaku. Kumohon kembalilah."
Taehyung terus meracau pilu. Aku hanya menggeleng lirih; ikut terisak. Kami menangis bersama tanpa disadarinya. Taehyung-ku. Kekasihku. Cahayaku. Maafkan aku. Takdir berkata lain. Kecelakaan itu terlanjur merenggutku. Hari itu harusnya kita menikah, bukan?
"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu hingga rasanya ingin mati."
Tuhan, aku tak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Kim Taehyung-ku yang selalu ceria, konyol, dan riang telah hilang. Semua itu karenaku. Bagaimana aku bisa tenang untuk pergi dengan keadaanya yang sekacau ini?
"Aku selalu disampingmu, Taehyungie. Jangan bersedih lagi." Aku berujar lirih. Berusaha mengusap rambutnya walau sia-sia. Aku hanyalah roh tak kasat mata.
Taehyung masih menangis. Aku berdiam di sisinya hingga ia tenang kembali. Selalu begini. Dua minggu sejak tragedi itu, bayangku selalu menyertainya kemanapun. Aku tak ingin dia kesepian. Terpuruk sendirian. Entah sampai kapan.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE (Taekook/Vkook)
Historia CortaLimerence; sebuah kondisi saat kita sedang tergila-gila dengan seseorang Top!Tae Bott!Kook