*ANDREW'S Point of View*
Kali ini dia mengenaikan kaos oblong berwarna hitam polos, diselimuti jaket varsity bertuliskan nama sekolahnya, dan jeans hitam yang sengaja disobek di bagian paha depannya. Dia berjalan santai ke arahku dengan wajah datar yang membuatnya selalu terlihat serius sekaligus menawan. Tingginya kini sama denganku, atau mungkin dia lebih tinggi dua atau tiga sentimeter dariku.
"Bau mu masih aneh." katanya tanpa basa basi, aku spontan mencium bau parfum yang ku kenakan sebelum ke bandara.
"Aku sudah ganti jenis parfum padahal." jawabku.
"Oh, oke." Entah bagaimana, tapi dia masih sama seperti dulu. Dia masih Dylan yang tidak banyak berbicara dan tidak banyak tersenyum. Nampaknya dia juga tidak pernah berpikir untuk menyaring kata-katanya terlebih dahulu sebelum mengeluarkannya di depan orang lain.
"Rezka tahu kalau kamu pulang?" tanyaku sambil mulai melangkahkan kakiku menyusulnya yang berjalan tanpa memberikan aba-aba atau ajakan kepadaku terlebih dahulu.
"Kalau dia tahu, tanpa diminta dia akan berada di sini untuk menjemputku ... atau tidak karena dia sibuk dengan pacarnya."
Sarkas dan lucu. Bertahun-tahun dan dia masih tidak menyukai Rico karena menganggapnya telah merebut Rezka dari lingkar persahabatan kami. Aku ingat dulu kami berdua pernah sengaja pulang terlambat hanya untuk mengintai Rezka yang baru saja berpacaran dengan Rico. Dylan selalu terlihat kesal, katanya jika saja Rico tidak ada maka Rezka akan tetap berada bersama kami.
"Gimana hubungan kamu sama anak Solo itu?" tanyaku mengalihkan topik agar aku tidak terus menerus melihat kerutan di antara kedua alisnya.
"Adiba? Baik. Ku harap." Jawabnya singkat, sepertinya aku mengalihkan pembicaraan ke arah yang salah. Sebenarnya ini bukanlah pertama kalinya aku bertemu Dylan. Beberapa minggu yang lalu dia datang ke Indonesia untuk menemui seseorang yang ku ingat namanya Klasika atau yang biasa dipanggil Sika. Dylan turut mengajak ku ke dalam pertemuan itu. Katanya Sika yang memintanya datang, dan Dylan membawa ku karena dia bilang dia memiliki sedikit kesulitan untuk mengerti, memahami, dan berempati terhadap perasaan orang lain dan aku tidak kaget akan pengakuannya itu.
Aku, Dylan, dan Sika bertemu di sebuah angkringan yang berada di sekitaran kampus Unpad. Malam itu Dylan tidak berekspresi mendengarkan penjelasan Sika yang panjang lebar, bahkan di saat tangis Sika mulai pecah dan tetesan air matanya membasahi meja. Aku yang mendengarkan penjelasannya hanya bisa meneguk ludah berkali-kali, mungkin wajahku berubah menjadi pucat juga. Sika ternyata adalah sahabat dari Adiba, si anak Solo yang tinggal di Bandung dan berhasil menaklukan hati Dylan di Amerika. Pada saat itu aku menyimpulkan bahwa Sika, gadis asli Sunda yang berkulit putih bersih, rambut hitam panjang, dan sedikit mirip Raline Syah ini adalah seorang penyuka sesama jenis pula –yang mana aku tidak masalah akan hal itu- karena dia meminta Dylan untuk menjauhi Adiba. Katanya beberapa minggu yang lalu dia pingsan secara tiba-tiba dan untuk pertama kalinya dia dirawat di rumah sakit. Awalnya dia berpikir bahwa pingsannya itu disebabkan oleh staminanya yang menurun sehabis bersepeda keliling kompleks, namun dokter mengatakan lain. Berbagai macam tes dilakukan, hingga keluar sebuah hasil yang mengatakan bahwa dia terkena kanker.
Dia paham bahwa sakitnya berkemungkinan untuk membawanya pergi selama-lamanya dari dunia ini, dan dia menerima itu dengan lapang dada. Namun, di saat-saat terakhirnya dia ingin menghabiskan masa hidupnya bersama dengan Adiba. Dia ingin pergi dengan banyak memori tentang dia dan sahabatnya itu. Dia merasa bahwa persahabatan mereka beberapa tahun terakhir ini kurang meninggalkan memori yang berbekas, ia ingin memori lebih banyak dan lebih hebat. Oleh karena itu dia meminta Dylan agar melepaskan Adiba. "Biar dia yang memilih." hanya kata-kata itu yang keluar dari Dylan sepanjang pertemuan kami, selang beberapa detik setelah dia mengatakannya dia melangkah pergi meninggalkan Sika yang bermata sembab.
Hari ini Dylan kembali ke Indonesia, katanya dia tidak akan kembali lagi ke Amerika entah untuk berapa lama. Dari itu, ku simpulkan bahwa Adiba memilih Sika dan Dylan melepaskannya. Sama seperti Rezka yang memilih Rico, dan Dylan juga melepaskan.
"Andrew, kamu sudah punya pacar?" tanyanya seketika.
"Belum. Tumben tanya gitu. Kenapa?"
"Aku gak pernah tahu kapan kamu punya pacar. Kenapa?"
"Ya karena memang aku gak pernah pacaran."
"Kamu harus ganti bau parfummu."
"Hahahah, emang seriusan ya baunya gak enak banget?"
Di saat aku tertawa, dia datar saja lalu mengangguk kemudian berjalan lagi menuju pintu keluar bandara.
"Yang mana mobilmu?"
"Ah, itu tuh yang biru." Ku tunjuk mobil yang sudah ku cuci sebelum menjemputnya.
Walaupun dia tidak membawa apa-apa, tapi aku tahu bahwa ada beberapa orang suruhan ayahnya yang mengurus semua barangnya dan ada beberapa yang ditugaskan untuk mengawal kami pula. Aku menyadarinya sejak pertama kali aku datang, ada beberapa pria yang tidak membawa koper atau tas melemparkan senyuman ramahnya kepadaku.
"Mau kemana?" tanyaku pada saat kami telah berada di dalam mobil dan mesin telah menyala.
Dia merebahkan dirinya lebih dalam ke tempat duduk mobilku, matanya terpejam, dan napasnya berhembus panjang lalu kata "Gamar." keluar dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHILIAD
RomanceAnehnya aku bisa mendengar namanya digaungkan oleh jantungku di setiap detakan. Ku pikir itu hal yang normal atau hanya permainan telinga dan otakku saja, tapi mungkin aku salah karena hal itu berulang lagi setelah tahunan. [Cerita Lanjutan dari Ma...