*ANDREW'S Point of View*
Dalam hati aku mengutuki diriku sendiri. Mana aku tahu ada dimana Kak Gamar sekarang. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah di saat aku membujuknya untuk menjenguk Dylan yang terbaring di rumah sakit beberapa tahun yang lalu. Setelah itu, dia hilang. Ku dengar dari kabar burung di angkatannya dia pergi bersekolah di Jogja. Dan bila tidak salah, harusnya sekarang dia sudah lulus SMA. Tapi aku tetap tidak memiliki informasi apapun tentangnya.
"Dylan, aku gak tau Kak Gamar ada dimana sekarang." aku ku.
"Aku juga. Bisa antarkan aku ke kakak ku saja?"
"Ya, oke. Dimana dia sekarang?"
"Ikuti saja mobil hitam itu, dia akan mengantarkan kita untuk makan siang bersama kakak ku." Dylan menaikan sebelah alisnya seperti menunjuk sebuah mobil hitam di depan kami. Beberapa detik kemudian mobil itu jalan.
Untuk pertama kalinya aku merasa hidupku sangat aman, karena bagaimana tidak? Mobilku diiringi 4 mobil dengan jenis dan warna yang sama sekaligus. Aku yakin ini semua adalah orang-orang yang ditugaskan untuk menjaga Dylan. Untung saja tidak ada mobil polisi yang ikut mengawal, kalau sampai ada pasti akan terasa seperti supir presiden atau supir bank yang membawa uang ratusan juta.
Dia menggapai sebuah foto yang tergantung di kaca mobilku. Ku lihat dia tersenyum memandangnya. Itu adalah foto yang diambil sekitar 5 tahun yang lalu, ada aku, Dylan dan Rezka. Di situ kami duduk di tengah lapangan basket dengan keringat yang mengalir dengan derasnya, dan Dylan yang terlihat sedikit lebih berwarna merah. Hari itu, kami sedang ada mata pelajaran penjaskes. Rico yang merupakan anggota tim basket putra sedang latihan di lapangan basket di sebelah kami, besoknya dia melakukan pendekatan kepada Rezka.
"Kita sudah jauh lebih besar dari ini sekarang." katanya sambil tersenyum.
"Iya, gak kerasa."
"Gimana Rezka, apa kabar dia?" senyumnya kini mulai pudar ketika ku intip dia dari ujung mataku.
"Aku ketemu dia beberapa hari yang lalu. Dia makin cantik, Lan."
"Dimana?"
"Toko buku. Cari buku untuk persiapan masuk kuliah katanya."
"Sama Rico?"
Saat ini wajahnya kembali menjadi datar, tepat ketika nama Rico disebutkan. Aku hanya mengangguk. Dia masih memegang foto kami, sesekali diusapnya permukaan foto itu.
"Sudah berapa lama kamu taruh di situ? Warnanya agak pudar."
"Hm, lama. Sebelum kita lulus SMP sih."
"Andrew, kalau aku bukan seorang gay, aku pasti suka ke kamu." katanya seketika. Hatiku berdegup kencang. Terasa bulu kudukku meremang, bulir-bulir keringat mulai terasa dingin, perutku terasa kram. Apa ini? Apa perasaanku masih belum hilang terhadapnya?
Tenggorokanku terasa kering, ku telan beberapa kali ludahku sebelum mulai berbicara untuk mengalihkan kecanggunganku. "Hahaha, ya. Ya. Alasan yang bisa diterima." jawabku yang semakin membuat keadaan terasa canggung karena Dylan tidak bereaksi sama sekali.
Dylan memang pandai dalam hal menjatuhkan mental seseorang. Sisa perjalanan dipenuhi oleh kecanggungan dan batinku yang berperang mengenai kejelasan perasaanku terhadap Dylan hingga mobil di depan kami parkir di depan sebuah tempat makan tradisional yang tidak terlalu mewah namun sudah terkenal di kota Bandung.
Dia melepaskan sabuk pengamannya, lalu beranjak keluar dari mobil dan memasuki tempat makan tersebut. Aku mengikutinya ke dalam. Terlihat sangat sepi, padahal biasanya tempat ini sangat ramai. Hanya ada satu pengunjung yang duduk di dalamnya. Dylan menghampiri wanita tersebut lalu mencium pipi serta keningnya, Kak Sadrie.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHILIAD
RomanceAnehnya aku bisa mendengar namanya digaungkan oleh jantungku di setiap detakan. Ku pikir itu hal yang normal atau hanya permainan telinga dan otakku saja, tapi mungkin aku salah karena hal itu berulang lagi setelah tahunan. [Cerita Lanjutan dari Ma...