III

1.9K 204 7
                                    

*REZKA's Point of View*

"Saya boleh izin bawa Rezka pulang duluan gak ya? Soalnya saya udah ada janji mau ngerjain tugas kelompok bareng teman-teman." akhirnya Rico meminta izin untuk pulang duluan, karena sebelumnya dia sudah bilang ke aku kalau ada kerja kelompok dan gak bisa nemenin lama-lama. Aku mengiyakannya tadi, sebelum aku tahu kalau ternyata Dylan ada di sini. Sekarang, aku gak mau beranjak dari tempatku. Aku mau di sini saja menatap Dylan yang sibuk dengan game nya, walaupun berhari-hari, aku mau.

"Tidak. Dia pulang dengan saya." Dylan meletakkan game nya kemudian menatap Rico tajam. Perasaan ku campur aduk antara senang karena Dylan akhirnya berbicara dan dia mau aku pulang sama dia, dan takut akan terjadi perkelahian di sini karena Dylan terlihat seperti menantang Rico untuk berkelahi.

"Hm, ya, oke. Aku duluan kalau gitu." jawab Rico santai lalu dia izin pulang lagi ke kami semua.

Selang beberapa menit, Andrew si manusia paling mengesalkan nomor 2 di dunia juga izin pulang karena harus membantu Bapaknya mengirimkan barang. Manusia paling mengesalkan nomor 1 nya adalah Dylan. Sisa aku, Kak Sadrie, dan Dylan yang kembali sibuk dengan game nya.

"Kayanya kakak juga harus pergi nih. Ada kelas susulan 30 menit lagi. Kita pulang aja yuk, Rezka sama Dylan ya." Kak Sadrie mulai memasukan handphone dan tablet nya ke dalam tas, aku mengangguk sambil tersenyum ke arahnya.

"Makasih ya kak."

Dia mencium kening Dylan lalu mengelus pipinya dengan ibu jari. Dylan masih suka dimanja seperti dulu walaupun dia tidak pernah mengaku. "Sama-sama. Kakak pergi dulu ya."

Dylan ikut berdiri menyusul Kak Sadrie yang sudah berjalan beberapa langkah, aku juga ikut berdiri mengikuti Dylan keluar dari restoran. Kak Sadrie masuk ke mobilnya yang berwarna merah lalu diikuti oleh 2 mobil hitam lainnya. Aku dan Dylan masuk ke dalam mobil hitam dan diikuti juga oleh 4 mobil hitam. Entah kenapa jumlahnya gak sama.

Di dalam mobil Dylan diam aja, posisi duduknya sempurna seperti tentara atau polisi. Aku tahu, kalau aku ngajak dia berbicara sekarang aku hanya akan dapat jawaban dari angin jadi ku tunda niatan itu sampai kami di rumah Dylan.

Suara aliran air langsung kedengaran ketika kami masuk ke dalam rumah Dylan. Di sepanjang dinding ruang tamunya ada akuarium. Dylan suka ikan, dan kata Dokter Rita itu bisa ngebantu Dylan untuk ngerasa tenang. Dylan ngasih nama ke beberapa ikan yang punya keunikan khusus, semuanya berdasarkan nama latin ikannya. Aku tahu karena Dylan yang beri tahu ke aku beberapa tahun yang lalu. Dylan juga punya kucing jenisnya persia long hair yang dikasih nama Mocko. Mocko dititipin ke Andrew waktu Dylan harus pergi ke Amerika, waktu itu hubungan kami gak baik jadi dia gak nitipin kucing kesayangannya ke aku.

Dylan masih jalan naikin tangga berputar yang terbuat dari marmer, dia tetap gak berbicara bahkan waktu kami berpapasan dengan mbok yang lagi ngasih makan ikan-ikan Dylan. Mbok keliatan sama kagetnya dengan aku waktu ngeliat Dylan, karena gak ada pemberitahuan sebelumnya kalau dia bakalan pulang. Mbok itu ibu-ibu paruh baya yang sudah kerja sama keluarga Dylan sejak tahunan lalu, bahkan Dylan ngaku kalau memang dia lebih dekat sama mbok dibanding ayah dan ibunya.

Kembali ke rumah ini, bersama Dylan ngebuat aku kembali ingat akan banyaknya memori zaman SMP kami. Bedanya sekarang Dylan lebih tinggi, lebih cantik, lebih pendiam, dan jarak di antara kami semakin jauh.

Di samping pintu kamarnya terpasang sebuah botol yang berisi cairan disinfektan, kini Dylan lebih sensitif sama kuman. Dia pake cairan itu di tangannya, aku ngikutin. Setelah selesai dia masuk ke dalam kamarnya dan ngebiarin pintunya terbuka. Aku terdiam di mulut pintu, teringat ingatan beberapa tahun lalu. Aku pernah deg-deg an setengah mati hanya untuk membuka pintu ini, bayang-bayang Dylan berdarah-darah menyelimuti pikiranku waktu itu. Kejadian kami berpisah juga terjadi di ruangan ini.

Tak sadar, Dylan sudah berdiri dengan gagah beberapa langkah di depanku sambil berkacak pinggang. Dia membelakangiku, memandangi seisi kamarnya yang mungkin dia rindukan. Aku masuk, lalu menutup pintunya. Suara pintu membuat Dylan berbalik ke arahku, ekspresi wajahnya ngebuat aku bingung. Gak datar, gak senang, gak sedih.

Dia ngehampirin aku, berjalan yang agak cepat, ngebuat aku sedikit takut sampai aku melangkah mundur. Sedetik kemudian, dia mencium bibirku. Dalam. Aku terdiam beberapa detik menikmati ciumannya. Kedua tangannya memegang pipiku, menarikku semakin dekat. Jantungku berdetak gak karuan. Mataku terpejam sejak tadi, menambah sensasi yang membuat bulu kudukku berdiri.

Dia ngelepas ciumannya untuk menarik napas, namun ku tarik dia kembali. Aku gak mau ngelepasin dia saat ini. Kembali bibir kami berpautan, suara ciuman terdengar keras di telingaku. Aku sangat menginginkannya saat ini dan ku pikir dia tahu itu. Dia mengarahkanku untuk berpindah tempat, lalu didorongnya aku ke atas tempat tidur nya. Aku menariknya dengan cara mengaitkan kakiku ke kakinya, dia terjatuh dan menindihku lalu kami kembali berciuman. Tidak hanya di bibir, ciumannya mulai merambah ke pipi dan leherku. Ngebuat aku menggigit bibir bawahku sendiri, dia bangkit untuk lepasin jaketnya. Seusai jaketnya terlepas, leherku kembali menjadi sasarannya.

Selanjutnya, gak bisa ku ceritakan secara detail, karena aku lebih milih untuk menikmatinya.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang