Syahirah 2 || BAB 34

236 10 0
                                    

Kata "sah" telah diucapkan oleh saksi yang menyaksikan akad nikah. Mahar sudah dibacakan sebelum kalimat ijab qabul diucapkan oleh Aldo. Surat Al-Kahfi-lah yang menjadi mahar untuk Aldo dari Hanna. Aldo membacakan setengah ayat dari surat Al-Kahfi yang terdiri dari 110 ayat.

Syahirah duduk di paling belakang bersama Syakira. Mamanya Aldo duduk dibagian paling depan menyaksikan pernikahan anaknya untuk yang kali kedua. Sedangkan ayahnya menjadi saksi pernikahan anaknya yang kali kedua juga.

Syahirah menangis dalam diam. Ia berusaha menahan isaknya agar tidak terdengar oleh para tamu lainnya untuk menyaksikan akad nikah Aldo dan Hanna. Syakira menenangkan Syahirah dengan mengusap-usap punggung perempuan itu. Syakira menatap Syahirah dengan tatapan sedih. Syakira ikut merasakan kesedihan Syahirah. Rasanya pasti sakit sekali melihat seseorang yang sangat kita cintai menikah langsung dihadapan kita.

Azki tidak bisa menemani Syahirah. Karena Azki harus mendampingi kedua pamannya, yaitu Kiyai Gufran dan Ustadz Syaiful. Ikut serta menjadi saksi di depan meja penghulu. Azka dan Azra hanya menonton dibagian depan. Menyaksikan, tetapi tidak menjadi saksi nikah.

Lalu Azki melihat kearah belakang, ke tempat Syahirah berada. Ia melihat Syahirah berdiri dan pergi keluar dari dalam masjid disusul oleh Syakira. Pasti sangat menyakitkan. Azki menatap punggung Syahirah dengan nanar. Aldo tidak mengetahui kalau Syahirah pergi meninggalkan masjid. Begitu juga dengan kedua orang tua Aldo. Karena mereka semua menghadap memunggungi pintu masjid. Sedangkan Azki bisa melihat karena posisinya berada di sisi kiri meja.

Selanjutnya, pak Kiyai Gufran mengambil alih membaca doa sebagai akhir dari akad. Berdo'a supaya kehidupan pernikahan keponakannya untuk kedepannya bisa sakinah, mawaddah, warrahmah.

Syahirah kini berada ditaman yang berada disekitar pondok pesantren. Barulah di situ Syahirah menangis sejadi-jadinya. Tidak lagi menahan isaknya. Sungguh menyesakan. Syakira ikut duduk dibangku yang sama dengan Syahirah. Sebisa mungkin Syakira menenangkan Syahirah.

"Aku-- aku butuh udara segar, Ra. Ta-tapi ke-napa ra-sanya yang kuhirup i-tu karbondioksida, bu-kan oksigen?" kata Syahirah disela isaknya.

Seandainya saja Syakira bisa berbicara. Pasti ia akan lebih berguna. Lebih mudah untuk menenangkan Syahirah. Tapi, ia tidak berdaya. Jika ia menulis dibuku catatannya, pasti tidak akan berhasil. Berbicara atau memberikan kata-kata penenang saja pasti belum tentu membuat orang itu tenang, bagaimana dengan kata-kata yang disampaikan dengan tertulis?

"Saya tau rasanya pasti sangat sakit dan menyesakkan, Sya. Tapi Sya, jangan lupa untuk beristighfar. Kendalikan diri kamu, Sya." Azki baru saja tiba. Sedari tadi ia mencari dan untungnya salah satu santriwati melihat ke mana perginya Syahirah dan Syakira sebelum Azki menemukan keduanya di taman. Setelah diberitahu santriwati, Azki langsung berlari kearah taman.

Syahirah menoleh dan menatap Azki. Matanya sembab. Syakira ikut menoleh kearah Azki yang berada di jarak satu meter dari samping bangku. "Ki, kok kamu sudah di sini? Acaranya sudah selesai?" Syahirah bertanya. Azki mengangguk. "Sudah," jawabnya.

Syahirah tertunduk sambil memegang dada sebelah kirinya. Tiba-tiba terasa sakit dan nyeri. Menyesakkan. Detak jantungnya berdegup tidak normal. Sangat cepat. Syakira yang melihat wajah Syahirah tiba-tiba pucat langsung panik, begitupula dengan Azki.

"Cepat bawa Syahirah ke rumah sakit." Azki berseru panik. Syakira merangkul Syahirah untuk membantu perempuan itu berdiri. Ketika sudah setengah bangun, Syahirah terjatuh kembali duduk dengan mata terpejam dan tangannya yang sedang memegang dada sebelah kiri pun terlepas. Syahirah jatuh pingsan. Tidak menyadarkan diri. Azki dan Syakira langsung dibuat tambah panik.

"Kamu tunggu di sini, biar saya minta bantuan untuk membawa Syahirah dengan tandu, ya?" kata Azki ke Syakira yang terlihat sangat khawatir, namun tidak bisa berbuat apa-apa. "Saya telepon ambulan dulu, deh." Azki pun langsung mengambil handphone-nya yang berada disaku celananya. Ia segera menelepon nomor telepon rumah sakit yang berada tidak begitu jauh dari pondok pesantren Al-Adlu. Setelah itu, barulah Azki meminta bantuan dari para santri.

Syahirah 2: Aldo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang