14. The Slave : her king was her hero.

9.2K 402 29
                                    

Comment for next part
Vote for next part
Adegan perkelahian dan bahasa yang kasar
Tolong yang belum cukup umur minggir, nanti kecontoh lagi...

***

Sabella menatap kosong ke luar jendela. Ia tak berniat bergerak atapun bernafas sekalipun. Sudah tiga hari ia dirumah sakit, sudah tiga hari pula ia kehilangan janinnya.

Air mata dengan tiba-tiba mengalir di pipinya. Ia tak berniat menghapusnya, ia tidak punya tenaga. Semenjak kehilangan janinnya ia tidak mau bertemu Adam yang bahkan memakai baju berlapis-lapis dan masker hanya untuk menemuinya. Bahkan Egi sekalipun ia lempari vas bunga saat berani masuk ke ruangannya.

Yang sekarang hanya disisinya hanya beberapa suster dan Decan. Decan masih menemaninya sampai hari ini walaupun tidak setiap saat, kadang ia datang di saat makan siang, kadang saat pulang kantor.

Sabella juga sempat bertemu dengan nenek Decan, memeluk wanita itu dan menangis di pelukannya. Ia sangat baik, ia menenangkan Sabella, berkata bahwa ia pernah melewati hal yang sama.

Hari ini ia di perbolehkan pulang, suster sudah mengemasi barang-barangnya. Ia bersikeras akan naik taksi dibanding di antar oleh bajingan keras seperti Adam dan Egi.

Jelas Adam menentang, tapi Sabella dengan berteriak berkata bahwa ia harus mengajukan gugatan cerai kalau Adam terus saja mengekangnya bahkan setelah ia membunuh janin mereka.

Dan betapa kurang ajarnya Adam berkata bahwa Sabella tidak mungkin meceraikannya hanya karna janin yang belum berbentuk dan bahkan bisa di buat kembali.

Sabella murka, ia mengamuk kembali. Tapi Decan datang menenangkannya, dan memeluknya. Ia tak memperdulikan Adam yang menahan Emosi. Yang jelas ia sedang nyaman dengan Decan disisinya dan benci dengan laki-laki bernama Adam. Kalaupun ia membuat onar, orang-orang akan mengenalinya dan dengan cepat menyimpulkan bahwa Adam punya istri simpanan yang nanti akan sampai ditelingan Amy— istri pertama Adam.

"Mbak Sabella, anda sudah boleh pulang," ucap salah satu perawat. Sabella mengangguk lalu turun dari ranjang.

Ia mengangkat tasnya lalu keluar ruangan dan menemukan Decan di depan pintu. Ia tersenyum sambil mengambil tas Sabella.

"Aku yang antar," ucapnya.

Anehnya, Sabella tak menolak. Bahkan setelah ia hampir di bunuh Decan dan jelas-jelas di ancam Decan hari itu. Toh, ada neneknya dan Aleesha, ia tak mungkin macam-macam. Tapi bagaimana jika nenek dan Aleesha juga sama seperti Decan ?

Sabella memberhentikan langkahnya. Aleesha menghampirinya lalu menuntun ia untuk berjalan menyusul Decan yang sedang mendorong nenek di kursi roda.

"Ak— aku bisa pulang sendiri,"

Aleesha menatap Sabella seraya tersenyum, "gak apa-apa kok, bareng aja. Lagian kata abang rumah kakak sama nenek satu arah." 

Sabella terdiam, ia tak berkutik. Sedangkan Decan sudah berhenti dan menatapnya dengan tatapan yang susah di artikan.

"Ayo sayang, kamu baru saja sembuh, gak sebaiknya kamu pulang sendiri." Ucap Nenek.

Sabella menatap nenek. Tatapan wanita itu hangat, ia sampai teringat ibunya.

Aleesha menggandeng Sabella, lalu kembali menuntun Sabella untuk berjalan menuju parkiran.

Di perjalanan Sabella lebih banyak diam, saat ditanya ia hanya mengangguk atau bergumam. Ia sesekali melihat kaca spion, bertemu pandang dengan Decan.

Mereka sampai dirumah Sabella ketika jam menujukkan pukul tiga sore.

"Terimakasih, saya duluan." Pamit Sabella.

The Last Psycho's SlaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang