10

908 147 7
                                    

"Nak, kenapa lagi?"

Sowon memandangi makanannya yang lezat itu. Namun dirinya tak selera. Ia mengaduk nasinya dengan wajah murung.

Taewoo menghela nafas dan mengambil satu ayam dengan sumpitnya dan meletakkannya pada piring Sowon.

Sowon memandangi ayahnya yang tersenyum manis padanya. Dirinya langsung menangis seketika. "Appa..." lirihnya.

"Omo, ada apa?"

"Mianhae..."

"Kenapa minta maaf?"

"Aku membuatmu sakit hati."

"Apa yang kau katakan, Sowon?"

"Aku tidak masalah dengan rumah kita sekarang. Aku tidak masalah dengan status ayah sebagai seorang duda. Aku juga tidak malu dengan status seorang anak piatu. Aku tidak malu dengan pekerjaan sederhanaku ini..."

Sowon menangis dan membiarkan air matanya keluar sejadi-jadinya. "Aku tidak mau membuat ayah sedih."

Hati Taewoo hancur melihat putrinya seperti itu. "Sowon, apa seseorang menghinamu?"

Sungguh, Ayah Sowon adalah ayah yang sangat peka. Itu semua karena Sowon bukan pertama kali menangis seperti ini. Saat SD, ia pernah diejek tidak punya ibu. Ia menangis seharian dan bilang tidak mau pergi ke sekolah esoknya. Untungnya sang aya dan kakak bisa meyakinkannya untuk datang ke sekolah dan memaafkan orang yang mengejeknya itu.

Saat SMP, ia juga pernah diejek karena sepatunya sudah koyak dan tak bisa dipakai. Namun karena kondisi ekonomi mereka saat itu sangatlah buruk, Sowon tidak punya uang untuk membeli sepatu baru. Di rumah juga Sowon murung terus hingga saat makan malam, Sowon menangis. Minseok langsung memeluknya dan menenangkannya.

Belakangan saat SMA dan kuliah, Sowon tidak menangis lagi, namun memendam semua dengan marah-marah. Baik kepada kakaknya maupun ayahnya. Ia pernah bilang kalau ia malu dan tidak mau menjadi anak Taewoo lagi. Minseok sampai-sampai harus menampar adiknya itu untuk menyadarkannya.

Kali ini, Taewoo mendengar kalau Sowon tidak malu akan semuanya. Namun, Taewoo merasa kalau anaknya menjawab semua olokan dari seseorang.

"Sowon!"

Sowon memandang ke luar. Ke arah ruang keluarga yang nantinya menembus ke pintu depan.

"Sowon aku minta maaf."

"Apakah dia yang menghinamu?"

Sowon diam. Ia berdiri dari meja makan dan naik ke atas, menuju kamarnya.

Taewoo terdiam sejenak, dan mendengar teriakan pemuda yang semakin menjadi-jadi. Meonji juga dari tadi menggonggong terus. Taewoo pun berjalan keluar, menghadap seorang yang tak lain adalah Seokjin.

"Ada yang bisa ku bantu, nak?"

"Ahjussi, apakah Sowon ada di dalam?"

Taewoo diam sejenak untuk berpikir. Kemudian dia menyangkal. "Tidak."

"Apa ahjussi tahu dia di mana?"

"Tidak..."

Seokjin menghela nafas dan menunduk. Beberapa butir air sudah turun dari atas langit menuju bumi.

"Gerimis, nak, lebih baik kau pulang."

Seokjin menggeleng. "Aku akan menunggu Sowon pulang. Aku harus minta maaf padanya, ahjussi."

"Minta maaf kenapa?"

Seokjin terdiam. Karena diamnya itu, Taewoo menggeleng dan menepuk pundak lebar Seokjin. "Pulanglah, nak. Sowon tidak ada di rumah."

sculpture | sowjin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang