Russell Smith menjemput Miranda dengan pakaian yang rapi. Jas, celana jeans, dan kemeja tanpa dasi. Dia selalu tampil memukau di setiap kencan yang mereka lakukan sehingga Miranda yang awalnya acuh dengan penampilannya sendiri merasa tidak enak hati dan mulai mengimbangi penampilan Russell. Pada kencan mereka malam ini Miranda mengenakan gaun panjang berwarna violet, sementara rambut pirangnya dia biarkan tergerai menyentuh bahunya yang terbuka.
"Kau sangat cantik" kata Russell begitu Miranda tiba di hadapannya. Efforts yang Russell tunjukan tak cukup dengan penampilan yang memukau dan pujian yang melunakkan hati, dia juga membawa karangan bunga peony dan magnolia yang membuat Miranda tergelak melihatnya, "Oh, Russel kau sangat lucu"
Russell menatapnya heran, "Apa? Aku salah pilih bunga lagi?" tanyanya.
Miranda mengangguk, "Tidakkah kau perhatikan warnanya, ini adalah karangan bunga untuk pengantin"
Russell menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Penjualnya bilang semua wanita akan menyukai bunga ini, jadi aku ambil saja" ucapnya sambil cengengesan.
Miranda menerima rangkaian bunga itu walaupun ia masih merasa geli. Russell kemudian membukakan pintu mobil untuk Miranda lalu dia masuk melalui sisi mobil yang lain. Mobil mulai melaju menuju ke restoran yang sudah Russell booking begitu dia berhasil memajukan jadwal operasi Miranda. Russell tidak pernah membawa Miranda ke tempat yang sama di setiap kencan yang mereka lakukan, pasti selalu tempat baru yang dia pesan. Dan malam ini dia membawa Miranda makan malam di sebuah Restoran yang berada di sekitar Sydney Harbour, dengan pemandangan laut yang indah dan juga Sydney Opera yang berada tepat di seberangnya.
Seperti biasa, tidak ada yang romantis dari kencan mereka. Mereka layaknya teman atau rekan kerja yang menikmati makan malam bersama di restoran mewah. Miranda dan Russell membahas tentang pekerjaan yang menjadi hal nomor satu di dalam hidup mereka sekarang. Ini yang membuat Miranda merasa nyaman menghabiskan waktu bersama lelaki itu, karena meskipun Russell menyukainya dia tidak pernah membebani Miranda dengan perasaannya. Russell mengerti Miranda beum bisa membuka hati sepenuhnya untuk menerima cintanya.
"Aku mengerti kau tidak nyaman untuk berbagi cerita kepada orang lain" topik perbincangan yang tiba-tiba saja Russell alihkan membuat Miranda terdiam, "Tapi kau tidak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut Miranda, kau butuh pertolongan Dokter O'Brien"
Miranda menghembuskan napas jengah, "Aku baik-baik saja Russell, kalian terlalu berlebiban"
"Chief Lee sering melihatmu termenung tiba-tiba saat kau sedang membedah, itu sangat berbahaya bagi keselamatan pasien" sahut Russell. Dia kemudian menggenggam tangan Miranda, "Kariermu sedang terancam, aku tidak mau izinmu dicabut karena hal ini"
"Sulit bagiku untuk terbuka pada diriku sendiri Russell, apalagi kepada orang lain"
"Kau bisa terbuka kepadaku"
Miranda mendengus sambil menggelengkan kepalanya, "Apa yang kuceritakan kepadamu itu belum seberapa Russell, kau tidak mengerti, Dr O'Brien ingin menggali lebih dalam daripada itu. Dia ingin menggali rasa sakitku"
"Dia ingin menolongmu Miranda-" dering ponsel yang berbunyi di saku jas Russell menyela perbincangan mereka. Sesaat Miranda mersa lega karena panggilan itu membuat Russell berhenti mendesaknya. Tapi kemudian, Miranda menjadi gelisah melihat wajah Russell yang berubah menjadi tegang dan serius begitu dia menerima panggilan masuk di ponselnya.
Russell meletakkan kembali ponselnya di saku jas setelah panggilan berakhir sambil berkata, "Aku harus pergi"
"Kemana?" tanya Miranda.
"Rumah sakit. Kecelakaan tunggal terjadi, korban mengalami luka di kepala"
Oh.
"Haruskah aku ikut? Kau mungkin membutuhkan bantuanku"
Russell tidak langsung menjawabnya, lelaki itu memanggil pelayan lalu membayar tagihan makanan yang telah mereka pesan. Dia kemudian memutari meja untuk mengecup dahi Miranda dan berkata, "Kau kembali lah ke rumah dan beristirahat. Maaf aku tidak bisa mengantarmu pulang"
Miranda mengangguk paham, sebagai seorang Dokter dia tahu kesalamatan pasien adalah yang utama, "Aku bisa pulang dengan taksi. Kau berhati-hatilah saat mengemudi" ucap Miranda yang tiba-tiba merasa gelisah tak karuan. Russell mengecup dahinya sekali lagi sebelum lelaki itu pergi meninggalkan restoran dengan terburu-buru.
Setelah Russell pergi, Miranda tidak langsung pulang. Dia duduk sebentar di restoran hingga jantungnya yang berdebar kencang berangsur tenang. Sejenak Miranda menikmati kesendiriannya di tengah keramaian orang-orang. Sambil memandangi lautan, Miranda menekuri hal apa yang membuatnya mendadak merasakan sesuatu yang janggal di dalam benaknya. Seperti firasat akan hal yang buruk sedang terjadi akan tetapi, Miranda sama sekali tidak mengerti penyebab dari munculnya firasat yang tak menyenangkan ini. Oh, semoga saja Russell sampai di rumah sakit dengan selamat.
Suara tepukan tangan yang terdengar membuat pikiran Miranda teralihkan. Dia memandang ke sekelilingnya dan mendapati seorang pengunjung baru saja melamar kekasihnya di tengah restoran. Lamaran itu diterima sehingga para pengunjung yang lain turut memeriahkan momen bahagia itu dengan sorakan dan temukan tangan. Sangat romantis, tapi juga tragis jika saja mereka tahu pernikahan tidak seindah yang mereka bayangkan.
Meraih tas tangannya, Miranda meninggalkan restoran dan langsung menyetop taksi. Dia berusaha mengenyahkan firasat buruk yang masih menyelimutinya. Miranda pikir itu terjadi hanya karena dia merasa lelah saja.
Namun begitu Mirand masuk ke dalam taksi, ponsel yang berada di dalam tas tangannya berdering. Muncul sebuah nama dari nomor yang sudah lama tidak menghubunginya. Miranda bergeming sebab dia merasa ragu untuk menjawab panggilan itu, sampai ibu jarinya bergerak sendiri untuk menekan tombol hijau lalu Miranda segera menempelkan layar ponsel pada teljnganya.
"Halo" ucapnya.
Sahutan dari seberang sana terdengar, bukan hanya sekedar membalas sapaan tapi juga memberitahukan kabar yang tak mengenakkan, kabar yang membuat jemari Miranda terasa dingin dan membeku, bersama kecemasan yang membuat perutnya seakan terlilit. Setetes air mata jatuh mengalir di pipi Miranda. Tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya, dia memutus panggilan begitu saja.
"Ke mana tujuan Anda, nona?" tanya sopir taksi yang sedari tadi menunggu Miranda selesai dengan ponselnya.
"Rumah sakit" jawab wanita itu dengan getaran halus di bawah tekanan napasnya yang tercekat.
- TBC -
Jangan lupa untuk vote dan comment, perhatian dan dukungan sekecil apa pun dari pembaca sangat berarti untuk penulis dalam berkarya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Us (Tamat)
RomanceWarning : Adult and explicit sensual content! Lima bulan telah berlalu sejak Miranda mengajukan gugatan cerai kepada suaminya yang kaya raya, Zacharias Lannion. Luka di hatinya masih belum sembuh tapi dia harus berlapang dada membantu lelaki itu men...