A(s)ku

8 0 0
                                    

Perkenalkan.

Aku perempuan, makhluk Tuhan hampir seksi(s).

Dua dekade umur lebih, kurang adalah hakikat manusia. 

Sebelum melacur dengan beberapa dariku, mereka hanyalah fiksi.

Fana, seperti kau dan aku.

Terimakasih.


Akhir-akhir ini aku bosan dengan budaya perspectif, menjadikan manusia bukan manusia. Mereka mulai kebingungan dengan konsep diri. Alih-alih mengapresiasi sebab fluktuasi sebab ambisi eksistensi. Kemudian kita mulai mengesamping dogma tata krama, yang akan gemar mengumbar segala skeptis. Aku tidak membenarkan peran manapun. Perempuan sama saja dengan laki-laki, omong kosong. Masing-masing mulai memersepsikan bahwa peran laki-laki adalah unggul daripada perempuan. Ataupum sebalik logika, bahwasannya perempuan sebab utama dalam pergerakan atas nama ego. Maka gambaran tersebut adalah perspektif. Kita akan merangkai logika untuk mencapai eksistensi, selepas esensi adalah pencapaian yang terkesan memaksa. 

Ah sebentar, aku Firdaos. Kitab yang menolak untuk menjadi suci. Kebetulan mencicipi era transisi, logika adalah Tuhan. Mengada ketiadaan, meniadakan yang ada. Beberapa kali adegan kemanusiaan melanggeng pada sisi perempuan. Menjadi pembicaraan yang semakin klise dan membosankan. Bahkan sempat beberapa saat mengumpat, sebab suara sebab harga. Ada yang mendeklamasikan diri, mengupas tuntas keperempuanan. Mengukur diri pada kecam sosial, mengembalikan fitrah perempuan kesemestinya. Ada yang kecewa, mempersetani takdir Tuhan. Berkutat pada akar -isme, sebuah keselarasan yang genap kali menuntut melalui pengikutnya. 

Hingga muncul tradisi labelisasi perempuan pada takar kejanggalan. Maraknya "overdosa kosakata" oleh beberapa umat Tuhan yang menyudutkan peran perempuan ataupun perilaku ataupun keperempuanan yang bahkan tanpa diadili pun akan tetap baik-baik saja. Kita, laki-laki dan perempuan, adalah arah mata angin yang saling membenarkan. Menjadikan diri sebagai pakem atas diri manusia lain. Ibu dari segala penjuru. 

Kali ini, kau tengadahkan tanganmu dan doakan mereka dan aku supaya baik-baik saja. Kau yang duduk-duduk santai penikmat kopi pagi dan seterik senja pada sebuah panjat sosial, beruntunglah. Setiap diri mempunyai jalan atasnya. Hanya perlu apresiasi. Tidak butuh kopi, rekah senja, maupun lirik sendu. Aku hanya butuh harga, ternominalkan. Tertuntaskan.


Sekian. Salam.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 24, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PerempoanWhere stories live. Discover now