Teror Dari Hutan Pinus: Tiga

124 3 2
                                    

Matahari rasanya enggan untuk muncul. Dan malam terus merajai. Aku duduk di depan perapian, sedangkan Clara tengah menyantap mie instant rasa ayam bawang. Aku tau betul selera gadis cebol itu.

Aku sesekali menyeruput kopi manisku ini agar terus berjaga semalaman. Dan aku harap, ini hanyalah mimpi buruk saja yang akan berakhir. Diriku hanya sedang terlelap di atas kasur empukku dan dibalik selimut.

"Ri," panggil Heri lirih. Tangannya menggenggam kopi hangatnya, sama sepertiku.

Aku hanya noleh, bungkam.

Dia menunduk sebentar, dan kembali mendongak menatapku. "Aku melihat makhluk aneh di tengah hutan tadi" desis Heri.

Aku masih dalam keadaan diamku. Sedangkan Clara memilih untuk terus memakan mie-nya yang tinggal sedikit.

"Seperti manusia namun berbulu loreng" ia terdiam sejenak. "Matanya merah, larinya secepat bayangan. Aku melihatnya sedang memakan sesuatu, dan itu alasanku menarik langan Clara untuk keluar dari hutan. Dan akhirnya kita bertemu dengan kamu disini, Ri" ucapnya menunduk sambil memainkan kayu di perapian.

"Kamu melihatnya, Clar?" ,tanyaku.

Clara menyeruput kuah mie-nya yang kini tinggal sedikit, kemudian disusul gelengan lemah. "Aku tak tau maksud dia menyuruhku untuk lari sekuat itu" desisnya.

Aku sedikit berdeham, menormalkan detak yang entah kenapa semakin membuatku nggak enak.

"Kurasa.. salah satu dari kita akan menjadi korban. Atau semuanya tak akan kembali. Ah.. kenapa otakku makin kacau seperti ini??" ,ucap Heri kesal kemudian melirikku.

"Tutup mulut, lo. Kita pasti akan pergi dari hutan terkutuk ini. Jadi jangan coba berfikir aneh-aneh. Gue yakin Sam akan menolong kita" ucapku.

"Kak.." panggil Clara. "Jangan sekali-kali telunjuk kakak menuding orang lain di Kota-ku" ingatnya menyadarkanku.

Aku mengangguk. Kemudian.. "Sam takut soal kepergian Caca, dan kuharap dia mencari bantuan warga atau keluarga kita" lanjutku.

Clara melirikku melalui sudut matanya, "jadi dia tak hilang? Dia meninggalkan kita di sini?"

"Dia mencari bantuan, jelasnya"

Setelahnya hening tercipta. Sejak tadi aku dan Heri menjaga perapian agar tetap menyala, sedangkan Clara tertidur di atas tumpukan daun yang ia kumpulkan untuk alas tidurnya. Sesekali kulirik Clara yang tengah menggigil karena dingin, sehingga kubuka tas besarku dan menemukan sleeping bag. Kututupi tubuh Clara menggunakan sleeping bag tersebut.

"Kamu suka sama Clara?" ,ucap Heri.

Aku kembali duduk ditempatku semula, "kenapa elo mikir kaya gitu?"

Dia melirikku dan tatapannya kembali pada perapian, "aku hanya bertanya. Iya, atau tidak?" ,ucapnya mencoba menyudutkanku.

Aku berusaha bersikap tenang, "tidak.." ucapku disertai gelengan ringan.

"Aku dan teman-temanku sangat mengenal Clara, Rio"

Aku hanya manggut-manggut, "tidur duluan sana, gue yang jaga dulu" suruhku.

Ia melirikku melalui sudut matanya, kemudian tersenyum tipis. "Baiklah"

***

Pagi.

Benarkah jika sekarang sudah pagi?

Suara ayam berkokok, lesung yang dipukul, anak-anak kecil menangis. Ah.. benar, menangis. Bukan tertawa.

Aku menggoyangkan tubuh Clara dan Heri bergantian hingga mereka terbangun.

"Clar, Her. Kalian harus tau sesuatu. Kita selamat!!" ,ucapku antusias.

"Apa!! Kita selamat?" ,ucap Clara girang sambil berdiri dan loncat-loncat.

"Kalian dengar suara pemukiman penduduk tak jauh dari sini" ,ucapku menunjuk ke arah Utara.

Heri tersenyum lega, kemudian ia memimpin kita menuju desa itu.

.

.

.

Kulihat, perkampungan di tengah hutan ini tidak terlalu ramai penduduk. Dan mungkin karena saking jauhnya mereka dari kota, baju adat era 30 an ini tak berganti dengan tren fashion sekarang. Terlebih anak-anak kecil yang telanjang. Benar-benar telanjang. Sedangkan untuk anak diatas umur 10 tahun sudah dikenakan kemben dengan bawahan jarit.

"Kak Rio, aku ga pernah mikir jika di sini ada perkampungan" bisik Clara.

Kami bertiga berjalan melewati jalan setapak. Dan langkah kami tercegat oleh kuda hitam legam dengan seorang penunggang lelaki tampan di atasnya. Baju batik yang sangat indah. Kurasa ia adalah bangsawan di desa ini.

Dia mengangguk, kemudian melengos memacu kudanya.

"Kukira dia melihat kita dengan kostum yang aneh" ucap Heri melirikku.

"Aku merasa aneh dengan perkampungan ini," desis Clara berjalan melihat sekitar. "Kurasa bangsawan tadi bukan menghentikan kita. Namun anak perempuan tadi, dia adiknya"

"Ah!!"

"Yang benar saja?" ,pekikku membuat Heri membungkam mulutku.

"Diam-lah!"

"Tadi kalian nggak liat, anak kecil yang persis dibelakang kita tadi? Dia adiknya!" ,tebak Clara sambil menuding kereta kuda yang baru jalan menembus kita.

"Kita mati??" ,pekik Heri sambil menatap kedua tangannya.

Aku menampar pipi kiri Heri sehingga ia meringis sakit, "sakit?"

Dia mengangguk.

"Jadi mereka lama telah tiada.." desis Clara merapatkan jaraknya padaku dan Heri.

"Mungkin. Dan kita terjebak di sini," ucapku mundur.

Clara pun juga ikut mundur, kami membentuk lingkaran dengan saling membelakangi. Seperti akan dijebak atau terkepung oleh sesuatu, namun kami tak tau bahaya apa yang akan mengancam.

Dan, semua gambaran penduduk desa itu lenyap menyisakan hutan pinus yang masih saja gelap.

Damn!! Kami terjebak dalam hutan ini.












***




Yogyakarta, 30 Juli 2019

TEROR JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang