Eun Kyung kini kembali duduk di atas motor tua bersama Sehun. Melihat langit jingga yang datang menjelang senja. Merasakan angin sore yang tengah menerpa kulit. Terasa sampai ke tulang. Sejuk. Dedaunan kering berjatuhan. Menumpuk di pinggir jalan. Satu-dua berterbangan, mengikuti arah terpaan angin. Pergi entah ke mana.
“Hun,” panggil Eun Kyung dengan nada pelan. Memasang wajah ragu, namun sebuah perasaan kuat mendorongnya untuk memanggil nama Sehun.
“Kenapa, Kyung?”
“Saya turun di sini aja.”
Sehun semakin memperlambat lajunya, kemudian menepi. Bingung. Padahal, jarak ke arah rumahnya masih cukup jauh.
“Kenapa? Kan masih jauh dari rumahmu.” Eun Kyung terdiam sejenak, menunduk. Mencoba mencari-cari alasan, agar bisa menghindar dan pergi secepatnya.
“Emmm... Saya nggak mau pulang dulu, Hun.” Sehun terdiam. Matanya terpejam. Wajahnya seperti tengah menimang-nimang sesuatu. Dan seketika kelopak matanya terbuka. Senyumannya kembali tergurat di wajahnya. Seperti ada pancaran dalam dirinya, tiba-tiba wajahnya bersinar.
“Mau aku temenin, nggak?”
“Heh?”
Matanya terbelalak kaget. Dia pikir Sehun akan kembali bertanya yang aneh-aneh. Atau akan menerka-nerka sesuatu yang berada di luar dugaan Eun Kyung. Namun, nyatanya tidak sama sekali.
Eun Kyung terdiam sejenak. Memikirkan tawaran Sehun. Kemudian, tak lama ia mengangguk perlahan, mengiyakan. Senyum Sehun merekah. Rasa senang itu muncul begitu saja dalam dirinya. Sehun langsung menaiki motornya, dan menyuruh Eun Kyung duduk di belakangnya. Mereka kembali melaju dengan kecepatan yang tidak begitu cepat, tidak juga begitu lambat. Sedang. Biasa-biasa saja.
Lima belas menit berlalu. Sehun membawa Eun Kyung ke sebuah bukit kecil yang tak jauh dari rumah Eun Kyung. Bahkan, Eun Kyung sendiri tak tahu ada tempat seperti ini di dekat rumahnya.
Sehun memakirkan motornya ke tepi. Kemudian, mereka duduk di rerumputan hijau yang begitu asri. Polos. Tanpa karpet. Tanpa alas. Benar-benar di atas rumput hijau asli.
Eun Kyung tiba-tiba merebahkan dirinya begitu saja di sana. kedua tangannya terlipat di belakang kepalanya. Matanya terpejam. Sehun menatapnya. Kemudian, dia mengikuti Eun Kyung. Rebahan di sampingnya sambil memandang langit yang sama.
Eun Kyung membuka matanya perlahan, lalu menghela napasnya kasar. Mengeluarkan semua beban-beban yang ada dalam benaknya.
Tiba-tiba tangannya tergerak, mengikuti arah angin. Jari telunjuknya bergerak seolah sedang menulis sesuatu. Membuat sebuah kata.“I-M-I-S-S-U.” Sehun mencoba mengejanya. Eun Kyung mengangguk, membenarkan.
“Who?”
“Bunda saya,” jawab Eun Kyung singkat.
Sehun terdiam. Memahami apa yang dirasakan Eun Kyung. Pasti begitu menyesakkan. Harus tinggal tanpa sesosok Ibu. Dengan berat hati menahan rindu. Rindu yang tak akan pernah terbayarkan.
“Kyung, aku mau nanya.” Sehun mencoba mengalihkan pembicaraan. Membuka topik baru.
“Tanya saja.”
“Kemarin, dekat rumahmu aku dengar ada orang teriak-teriak, ada apa?”
Eun Kyung terdiam seribu bahasa. Skakmat. Pertanyaan itu bagaikan sebuah tombak yang menghujam ke ubun-ubun kepala. Menghantam sampai ke dalam.
“Oh. Itu mungkin kamu salah dengar. Saya nggak dengar apa-apa kemarin,” bohong Eun Kyung. Menampakkan wajah yang seolah tak terjadi apa-apa. Jelas-jelas teriakan itu suara ayahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Girl
Fanfiction"Kalaupun kalian merasa hidup kalian bahagia, atau tidak pernah mendapatkan masalah. Itu berarti kalian bukan tidak pernah mendapatkan masalah. Hanya saja, kalian hanya belum mendapatkannya." ーJung Eun Kyung