1. Mereka yang datang

7 1 0
                                    

Antariksa memakukan pandangan pada seorang perempuan di tengah lapangan. Mata cokelatnya tidak bisa terlepas dari gerak-gerik perempuan itu yang begitu memukau dengan bola basketnya.

Dunia seolah-olah melambat dan hanya terfokus pada perempuan itu. Terutama pada bagian senyumnya. Senyum yang muncul karena berhasil memasukkan bola ke ring.

God, haruskah dirinya secantik itu? Apa aku bisa menghadirkan senyum malaikat itu? Pikiran Riksa terus berangan-angan.

Damn! Sadar akan dirimu Riksa, gerutu batin Riksa yang 'sadar'.

Riksa menghela napas frustrasi– sadar akan dirinya. Ia tak pantas untuknya. Bahkan untuk melihatnya pun, ia sudah tidak merasa pantas. Riksa menekuk wajahnya, menghilangkan tempat dimana senyumnya baru saja merekah.

"Kau tahu? Apapun hal yang nyata di dunia ini bisa terlihat hanya dari bayangannya. Jika kau tidak memilikinya, maka sama saja kau tidak hidup."

Kalimat itu tidak berhubungan sama sekali dengan keadaannya. Namun berhasil mengusik jiwa Riksa. Riksa menunduk, mengacak rambutnya. Ia bingung, sekaligus menafsirkan kata-kata sahabat seperjuangannya. Magenta menepuk pundak temannya prihatin.

"Yang terpenting, kau masih hidup. Pikirkan dulu dirimu sendiri," ujar Magenta. Lelaki itu menghela napas keras, memandang perempuan yang membuat temannya tergila-gila.

Pantas saja temannya frustrasi hanya karena merasa tidak berani mendekati perempuan itu. Perempuan itu begitu populer dengan kecantikan dan juga talentanya. Magenta sendiri juga menaruh perasaan suka padanya, walaupun hanya sesaat. Ia lebih mengalah kepada Antariksa dengan perjuangannya.

"Jika ia memang benar-benar nyata untukmu, dia akan datang dengan sendirinya. Jangan pernah membuat ilusi tentangnya jika kau tidak ingin menjadi gila," lanjut Magenta.

Benar juga. Dirinya harus melanjutkan hidup. Antariksa tidak boleh menyerah dengan mudah hanya karena seorang perempuan. Lelaki itu menegakkan kepala mantap kemudian beranjak meninggalkan lapangan. Ia hanya tidak ingin membuat Magenta khawatir berlebihan.

Magenta menyunggingkan senyum. Bangga sekaligus kesal dengan tingkah temannya. Dirinya bisa memaklumi karena kondisi Antariksa yang baru saja memasuki usia 18 tahun– usia menuju kedewasaan.

Magenta berlari menyusul Antariksa yang semakin menjauh. "Bagaimana kondisi hutan Brif?"

"Lumayan buruk. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa di era seperti ini masih banyak yang saling membunuh demi mendapat kepuasan?" ucap Riksa setengah bertanya. Ia sibuk memeriksa notifikasi di ponselnya semenjak kejadian mengerikan berakhir di hutan belakang rumahnya.

Banyak orang di luar kota maupun di daerah kota bertanya kejadian secara spesifik kepadanya. Riksa tinggal di daerah pedesaan yang sebenarnya.. tidak terlalu jauh dari kota. Tapi ya, rumahnya terlalu dekat dengan tempat kejadian.

Hutan Brif.

Sejujurnya, Riksa pun heran dengan kedua orangtuanya yang memilih tempat di dekat hutan untuk tinggal. Tidak ada yang menarik selain sisi gelap dibalik pohon-pohon yang menjulang tinggi. Riksa jarang melewati tempat itu kecuali ketika mengejar kucing miliknya yang bermain sampai ke dalam hutan.

Magenta terdiam– berpikir untuk menggunakan jawaban yang bagus. "Sebagian orang berpikir, kepuasan bisa didapat jika mereka membunuh seseorang. Dan ya, itu isi pikiran seorang psikopat," jelas Magenta sembari memperhatikan sekitarnya yang tiba-tiba ramai.

"Tapi, ada juga yang berpikir jika membunuh mampu menyelamatkan nyawa mereka. Maksudnya, mereka mencari aman dengan orang yang terkena skandal buruk olehnya. Padahal itu malah memperburuk keadaan," lanjut Magenta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dissapear ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang