Kelas selesai lumayan cepat, dua mahasiswi ilmu budaya ini berjalan dengan langkah tepat menuruni tangga. Si gadis manis dengan jepit di kepala itu tersenyum lepas, senang saja jika pada akhirnya bumi mau memberikan kesempatan untuk lepas dari yang namanya ruang kelas.
"Ayo, Ra. Hari ini, kita akan senang-senang," ajak Aya, jika ada yang paling bahagia jika kelas bubar lebih awal, maka dia lah orangnya.
Dara menghela napas, "nggak hanya hari ini, aku selalu senang setiap hari," ujarnya menolak, "aku langsung pulang saja, ya?"
Lantas gadis berponi itu berbalik badan, "kamu yakin setiap hari sudah senang?" Dara anggukkan kepala dengan penuh keyakinan. "Kalau begitu mengapa kamu susah sekali senyum? Dara, kunci bahagia itu tersenyum dan tertawa."
"Aku hanya senang, bukan bahagia," Dara menentang kalimatnya.
Bagiku, senang dan bahagia adalah dua definisi berbeda, senang itu kalau aku mampu melakukan apa yang aku mau, tidak terikat dengan peraturan yang berlaku, pokoknya ya.. bebas lah. Kalau bahagia beda lagi, menurutku tujuh huruf itu akan terwujud apabila bumi memberi segala yang aku mau, menggariskan takdirku dengan baik tanpa campur tangan pilu. Dan satu lagi, jika semesta tidak mencipta awan kelabu sedang yang ku butuhkan adalah matahari bersama sinarnya, aku yakin bahwa aku telah bahagia sejak dulu, pikirnya sambil mengekor langkah Aya.
"Memang senang sama bahagia itu punya definisi berbeda?" Gadis poni itu membingungkan kalimat Dara, maklum, Aya tidak terlalu paham kalimat sederhana yang sulit akan makna, "sudahlah, yang penting ayo kita bahagia dan senang-senang."
Mereka berdua telah sampai pada kafe yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus. Perihal meja, keduanya tidak perlu ambil pusing, lantaran meja dekat jendela akan selalu jadi tempat khusus yang hanya boleh ditempati oleh keduanya.
Aya bertanya kepada Dara, "mau pesan apa?"
Dia menggeleng, lalu mengeluarkan laptop dari tasnya. "Kamu saja, aku kenyang."
"Aku nggak minta kamu makan,"
Susah sekali bicara dengan gadis macam Aya, "aku kenyang, jadi aku nggak butuh makan atau minum," tegas Dara, lalu menatap layar laptop yang menyala.
Aya mengibas tangannya, "ya sudah," sepertinya dia menyerah, "ternyata susah sekali membujukmu," Dara benar, dia menyerah.
Kemudian Aya memanggil si barista, memesan kopi favoritnya yang entah apa itu namanya, Dara tidak tahu, karena dia tidak suka kopi.
Mereka berdua sering menghabiskan waktu disini, baik sebelum maupun sesudah kelas dimulai, atau bahkan saat kelas dibatalkan. Tempat ini menjadi pelarian yang paling sempurna, hanya dengan melihat wajah segar para kaum Adam yang rata-rata seangkatan maupun kakak tingkat, itulah kira-kira definisi kesenangan bagi Aya.
Tetapi, Dara bukan Aya. Dia tidak suka memperhatikan mereka layaknya Aya, tapi yang dilakukannya hanyalah menatap laptop berisi beberapa kata yang akan dirangkai menjadi sebuah cerita.
"Ra," Dara mendongak, melihat wajah Aya mendadak muram, seperti matahari tiba-tiba tertutupi awan kelabu. Dia mengemasi tasnya dengan tergesa, Dara tahu, ada sesuatu buruk yang tak diharapkan untuk terjadi, sesuatu yang sudah berani mengambil kata 'senang-senang' untuk hari ini.
"Maaf ya, hari ini aku tinggal kamu disini sendiri. Mendadak Mama kirim aku pesan, katanya nenek lagi sakit." Papar Aya dengan wajah cemas yang ia timbun sedemikian rupa, mungkin ia berpikir agar semesta tidak perlu melihat kesedihannya, agar semesta tidak perlu merasa cemas untuknya, agar semesta masih berpikir bahwa manusia satu ini baik-baik saja.
Yang Dara tahu, Aya sangat menyayangi neneknya, "apa aku perlu ikut? Aku ikut, ya?"
Aya tersenyum seraya menggeleng, "kamu nikmati saja waktu yang tersisa disini, kamu harus senang-senang seperti yang aku bilang. Ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]
Teen FictionSemesta punya beribu cara agar mampu mengembalikan tawa Dara yang telah lama sirna. Dan salah satu diantara seribu, ada satu yang tak pernah sia-sia, yakni dengan mengirim salah satu manusia bernama Sena. ©2019 dorafatunisa