2. Jebakan Semesta

1.1K 90 15
                                    

"Sena, aku benci kamu." Dara bergumam pelan disela langkah yang sedang kesal pada bumi. Ini salahnya, datang ke kafe itu seorang diri hingga semesta mengirimkan Sena tiba-tiba. Sebenarnya, dia tidak butuh teman, hanya ada Tegar dan Aya yang melengkapi harinya diluar rumah saja sudah lebih dari cukup, selain itu, sepi.

"Dara!"

Langkahnya terhenti, tak sedikit pasang mata yang mengamatinya. Tak bisakah Sena mengerti bahwa Dara sangat tidak suka bila menjadi pusat perhatian?

Sena tiba di hadapan Dara, lalu tersenyum, "nggak sia-sia saya panggil kamu dengan suara keras." Katanya yang malah terdengar menjengkelkan.

Sejenak, manik Dara terpejam dengan tarikan napas dalam. Dia tidak bisa memaki Sena, karena itu sama sekali bukan perangainya. Lantas, langkah kaki membawa Dara berhenti dibalik pohon rindang yang menjulang. Setidaknya, para manusia itu tak lagi menjadikan Dara sebagai pusat perhatian.

"Kenapa kamu ajak saya kesini?" Sena bertanya.

"Kamu yang mengikutiku!"

Beralih tersenyum, seraya berkata, "karena saya mengerti kamu ingin saya ikuti."

Dara menghela napas kesal, orang ini...

"Aku nggak suka kamu," ungkap Dara penat.

"Saya nggak minta kamu jadi pacar, saya ingin kita berteman, tapi kalau bisa lebih dari sekadar itu."

Ya ampun.. demi langit dan bumi yang tak bisa menyatu, mimpi apa Dara semalam hingga bertemu lelaki seperti dia. Diantara beribu lelaki yang ada di bumi, mengapa harus Sena?

"Sena, kita baru pertama kali bertemu, dan sikapmu terlalu menyebalkan sebagai orang baru." Dara mengusap pangkal hidungnya.

Melihat itu, Sena tahu bahwa Dara tengah kesal. Tapi, hanya cara ini yang membuatnya bisa dekat dengan Dara, "saya hanya ingin mengenalmu."

"Aku tidak ingin dikenal siapapun, termasuk kamu."

"Sekalipun oleh bumi dan semesta?"

"Kalau mereka sudah mengerti tanpa ku beritahu."

"Benarkah?" Tanya Sena, "maka izinkan saya jadi yang ketiga setelah mereka, yang bisa mengenalmu tanpa bicara, yang bisa mengenalmu tanpa usaha."

Dara mendudukkan diri beralas permadani rumput, membiarkan Sena turut melakukan hal serupa disampingnya. "Namaku Damara Adara, mahasiswi semester satu jurusan ilmu budaya dengan kehidupan biasa saja, di planet ini, orang yang kukenal hanya Tegar dan Aya."

Sena menatap Dara lekat, semakin dia berbicara, semakin cantik pula wajahnya. Tak bisa saya bayangkan jika dia bicara selembut ini setiap hari, entah apa yang akan terjadi pada hati saya nanti.

"Aku sudah selesai memenuhi permintaanmu, yang katanya ingin mengenalku tanpa usaha. Dan sekarang, jangan berbicara denganku, karena seperti yang kamu bilang, kamu ingin mengenalku tanpa bicara." Dara bangkit, "kita selesai sampai disini."

Kata yang awalnya terdengar seperti pelangi setelah hujan, kini terdengar layaknya guntur beserta topan. Bukan seperti itu maksud Sena, dan Dara telah mengartikannya dengan sudut pandang berbeda.

Lantas dia berdiri dan menarik tas yang Dara kenakan seraya berkata, "tunggu."

Gadis itu memutar bola matanya malas.

"Setidaknya, izinkan saya membalas hutang budi kepadamu?"

"Aku tidak merasa kamu punya hutang budi, jadi-"

"Ini tentang kopi kemarin." Tak ingin mendengar kalimat yang bisa membuat hatinya memanas, Sena memotong kalimat Dara, "saya ingin membayarnya."

"Kalau itu hutang kopi, bukan hutang budi." Dara meralat malas. "Lagipula aku nggak akan nuntut kamu untuk bayar."

Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang