[Faisal]-Perjalanan

103 23 0
                                    

Aku selalu suka yang namanya perjalanan. Entah itu perjalanan untuk pergi, ataupun untuk kembali. Karena menurutku, di setiap perjalanan selalu ada hal baru yang aku temukan. Entah itu kejadian, atau hanya pikiran-pikiran yang melintas sebentar.

Begitu juga saat ini. Aku sedang berada di tengah perjalanan. Perjalanan untuk pulang lebih tepatnya. Duduk sendiri di dalam sebuah bis yang melaju tak begitu kencang di atas karpet hitam, sudah biasa bagiku ketika akhir pekan. Seperti saat ini, Sabtu sore ketika aku memutuskan untuk pulang.

“Kuliah?” Pertayaan dari kondektur ketika aku mengulurkan selembar uang berwarna hijau. Aku tetap mengangguk, meskipun pertanyaan itu tak berhubungan apa-apa denga tarif perjalananku. Karena meski si Bapak kondektur tahu kalau aku mahasiswa, tarifku tak disamakan dengan pelajar berseragam.

Setelah si Bapak kondektur beralih ke penumpang lain, aku menolehkan pandanganku pada jendela yang berada tepat di sampingku. Perumahan, pertokoan, pematang sawah, taman bermain, menjadi pemandangan yang biasa menemaniku ketika perjalanan. Seperti potongan-potongan film yang silih berganti.

“Iya, ini aku masih di jalan.” Kali ini suara berasal dari seseorang yang duduk di kursi depanku yang berhasil mengalihkan perhatianku. Aku sedikit melirik ke pantulan bayangan dari jendela di sebelahnya. Seorang perempuan dan sedang berbicara ditelepon.

“Tadi masih ada kegiatan, baru bisa balik sore.” Aku masih menangkap obrolannya dengan seseorang di seberang teleponnya.

“Iya..iya. Besok-besok  pulang pagi.” Setelah itu, aku tak mendengar lagi suaranya.

Tanpa sadar aku tersenyum mendengar sedikit obrolan itu. Bukan, aku bukan orang yang suka menguping pembicaraan orang lain. Hanya saja, aku suka memperhatikan apa saja yang mampir ke indraku. Salah satunya ya obrolan telepon perempuan tadi. Salah satu hal yang membuatku menyukai perjalanan.

Obrolan perempuan di depanku membawaku ke bayangan seseorang. Mungkin lawan bicara perempuan tadi, sama seperti seseorang yang aku kenal. Seseorang yang selalu memintaku untuk pulang pagi hari.

“Besok pulang pagi ya?” Permintaan yang selalu sama ketika aku menelponnya malam sebelum aku pulang. Aku hanya meresponnya dengan tawa.

“Kok ketawa sih? Pokoknya besok harus pulang pagi ya Saudara Faisal?”Ada nada sebal di suaranya.

“Hei, Ardhisya?!” Aku selalu suka namanya. Sesering apapun aku memanggilnya, seperti tak pernah puas.

“Hm.”

“Kamu tau kan, aku nggak bisa pulang pagi.” Jawabku malam itu.

“Meskipun demi aku?”

“Dhis…” Aku hanya berakhir dengan menyebut namanya. Dia tahu, demi apapun aku tidak bisa pulang pagi hari, termasuk Sabtu pagi.

“Huuh..terserah, Sal, terserah. Tapi jangan harap besok aku mau jemput kamu.” Ucapnya yang justru membuatku tertawa. Karena aku tahu, kalimat itu yang selalu diucapkannya ketika permintaannya tak bisa aku iyakan. Dan aku tahu, dia tidak serius dengan ucapannya itu.

Ketika aku menyukai sebuah perjalanan, ada banyak alasan di belakangnya. Perjalanan kembali, aku akan segera bertemu dengan teman-temanku dan juga kesibukanku. Perjalanan pulang, aku akan bertemu seseorang. Dia, Ardhisya, seseorang yang sudah mau menjadi alasan untuk perjalanan pulang seorang Faisal Charros Anggarda.

Mungkin ketika orang lain, lebih memilih pulang secepatnya untuk waktu yang lebih lama di rumah, aku tidak. Meski aku punya seseorang yang hanya bisa ku temui ketika akhir pekan, aku tetap tidak bisa menuruti permintaannya untuk pulang Sabtu pagi.

“Jadi selama ini alasan lo pulang cuma karena Disya, gitu?” Tanya Bintang, salah satu temanku ketika kita sedang mengobrol di teras kos beberapa hari yang lalu.

“Hm.”

“Parah. Durhaka lo, Sal.” Ucapnya dengan tawa. “Sekali-kali pulang buat ketemu orang tua gitu, Sal.” Imbuhnya dengan nasehat ringan seperti biasanya. Bintang salah satu dari temanku yang sangat tahu kenapa aku selalu pulang Sabtu sore.

Aku dulu pernah melakukan apa yang dikatakan Bintang. Pulang untuk bertemu orang tuaku. Yang memang sudah seharusnya seperti itu. Tapi, ketika aku pulang dan menemukan rumah kosong diSabtu pagi, alasan itu sudah hilang begitu saja.

Setelah kejadian itu, daripada aku hanya menemukan rumah kosong dipagi hari, aku memutuskan untuk kepulangan selanjutnya sore hari. Waktu dimana aku bisa mendapatkan sambutan kepulangan oleh seseorang yang bisa ku temui sampai saat ini, Ardhisya. Sekarang alasanku pulang hanya itu, mungkin ketika suatu saat bisa bertemu orang tuaku, itu bonus. Aku selalu menolak pulang pagi bukan karena aku tidak bisa, tapi karena memang aku tak mau. Karena buat apa pulang, ketika yang menyambut hanya bangunan kosong.

Aku kembali memfokuskan pandanganku pada luar jendela. Ternyata langit sudah mulai menggelap. Pencahayaan sudah diambil alih oleh deretan lampu jalan. Melihat kolaborasi semua pencahayaan ketika menyambut petang, membuatku tak pernah menyesal tentang keputusan untuk perjalanan pulangku.

Seperti halnya perjalanan pulangku yang ada alasan dan tujuan, begitu juga dengan perjalanan hidup. Setiap orang punya perjalanannya hidupnya sendiri-sendiri, dengan alasan dan tujuan yang berbeda-beda tentunya. Meski kita punya perjalanan sendiri-sendiri, kita tidak bisa mengubah alur perjalanan yang sudah ditentukan, seperti halnya aku yang tidak bisa meminta sopir bis untuk merubah alur perjalanan pulangku. Kita hanya bisa melakukan dua hal, menikmati setiap perjalanan atau melewatkannya begitu saja. Dan aku memilih menikmati setiap perjalanan.

‘Aku hampir sampai. Sampai ketemu nanti.’ Pesan yang ku kirim kepada seseorang. Ketika perjalanan pulangku sudah hampir berakhir.

---

Deadline sedang banyak-banyaknya meski sudah di penghujung semester.

Tapi sesibuk apapun itu, kesehatan harus tetep nomer satu. Kalau udah nge-drop semua rencana berantakan. Dan berharap post cerita ini sebagai upaya kesembuhan baik secara fisik, batin maupun pikiran.

Terima kasih yang sudah mau mengikuti cerita mereka sampi saat ini.

-Na.

Cerita MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang