Prolog

12 1 0
                                    

Aku tidak pernah ingin menuliskan kisah ini. Apalagi bila harus memulai ingatanku tentangmu lagi. Percayalah itu lebih aku takuti daripada harus terjun dari gedung tingkat 15. Bercanda.

Pernah mengenalmu bisa dibilang cukup menyenangkan. Memberikan rasa berbeda dari campuran kehidupanku yang sudah sulit untuk benar-benar dinikmati. Kamu hebat ternyata, menjadi guru yang mengajarkan bahwa mencintai bukan seperti mengerjakan soal matematika yang sudah ada rumusnya. Bahkan mencintai tidak ada yang bisa diketahui, kalau sudah begitu, bagaimana bisa menjawab?

Kamu menjawabnya dengan mencintaiku dan membuatku mencintaimu. Ini bukan tentang waktu dan tempat yang pas. Bukan juga tentang kata-kata penuh bualan tentang keindahan cinta. Tapi ini cukup sederhana terdengarnya. Tapi sangat rumit dalam penerapannya.

Semua ini hanya selalu tentang kita. Bukan mereka. Sekali lagi camkan, hanya kita.

"Merpati begitu indah bukan?"

Tian membuka tas kecil yang selalu ia tenteng kemanapun ia pergi. Kamera kesayangannya mulai beraksi di sore yang mendung itu.

"Kenapa foto? Langitnya mendung, jelek nanti hasilnya," aku mengikuti arah bidikan kamera.

"Jawabanmu selalu tidak seperti yang kumau."

"Iya, iya. Merpati itu setia. Itu yang selalu aku suka, selain indahnya juga sih."

Aku menyelonjorkan kakiku yang habis disiksa berdiri di angkutan umum demi ke tempat ini.

"Maaf ya, harus ikut aku jauh-jauh kesini."

"Tian..."

"Arun..."

Dia menghembuskan napas cukup panjang untuk kesekian kalinya.

"Arun, pulang yuk? " dia sudah merapikan kembali kameranya seperti semula.

"Sudah, begini saja? Kamu tidak ingin bercerita tentang sore ini?"

"Aku sudah tidak perlu bercerita padamu. Kamu yang membuatkan setiap cerita untukku."

Aku tersipu malu. Ini salah satu alasan kenapa sampai sekarang aku belum bisa berkata jujur padanya. Ia terlalu samar.

"Oh iya, bagaimana kuliahmu? Lancar saja kan?" aku mengalihkan topik agar bisa lebih lama menikmati sore yang begitu syahdu ini.

"Seperti itu saja. Entah kapan meja dan kursi yang kududuki bisa berbicara sendiri. Agar tak melulu dosen yang berpendapat tentang buruknya keadilan di negara ini."

Tian tertawa kecil dengan gurauannya. Aku menggeleng-geleng sambil tertawa dengan kebodohannya yang begitu cerdas itu.

"Kamu bagaimana? Apakah gurumu tetap seperti robot yang tak pernah paham perasaan para muridnya?" tanyanya dengan tingkat humor yang belum naik juga. Receh.

"Baik saja. Tapi tetap seperti biasa, semua ingin tahu siapa orang yang membuatku sebahagia ini."

Dia tersenyum.

"Bahagia itu relatif, Run. Dimana tempatmu, disana juga kamu bahagia. Mungkin juga aku bukan tempatmu, tapi setidaknya tempatmu untuk singgah," dia tersenyum kecil.

Aku tertegun untuk sesaat. Mendalami wajah yang selama ini sudah selalu ada. Warna yang selalu terlukis dalam kanvas hidupku.

"Aku selalu gagal saat mencoba jujur ke kamu, Tian. Andai kamu tahu itu," batinku.

"Sudah mulai malam. Ayo kita pulang, masih banyak tugas yang belum aku kerjakan untuk besok," ajaknya.

Aku bersiap berdiri dari tempat dudukku. "Kau benar-benar tahu bagaimana cara membuatku untuk mengikuti kemauanmu."

Kamipun melangkah pulang dengan perasaan yang tak sama. Karena pada dasarnya tiap manusia memiliki rasa yang berbeda. Hati yang berbeda. Dan kemauan yang berbeda pula.

DatatitayaWhere stories live. Discover now