Surakarta, April 2016...
El menegakkan tubuhnya saat pintu kamarnya diketuk. Potongan kejadian itu berakhir. Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat dan penuh kehampaan. Tanpa ayahnya, cita-citanya percuma. Tidak ada yang memberi perhatian lebih untuk kegemarannya itu. Sekalipun lima bulan terakhir gadis itu bergabung dengan klub sepak bola wanita yang ada di Surakarta. Dan besok adalah debut pertamanya dalam dunia sepak bola.
El tersenyum kecut. Semua itu percuma, batin El seraya bangkit dari duduknya, menuju pintu.
"Dahar, yuk? Mumpung sego kaleh lauke taseh hangat," ajak Bu Qia.
(Makan, yuk? Mumpung nasi sama lauknya masih hangat.)
Putrinya itu mengangguk, dan melangkah menuju ruang makan.
Hidup dalam tekanan agar mencapai satu titik tertentu bukan hal mudah untuk El. Dia bukan tipe orang yang suka dikekang. Tapi bukan berarti dia ingin bebas. Hanya ingin, peraturan yang diberikan sedikit dilonggarkan. Bagaimanapun juga, seorang anak harus diberi jalan serta kesempatan untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Menjalani apa yang dipilihkan orangtuanya hanya membuat proses pengasahan tidak berjalan. Belum tentu yang orangtuanya pilihkan disukai oleh sang anak. Berikan wadah tersendiri untuk seorang anak mengembangkan potensinya.
"Wulan ngarep uwis UN." Bu Qia membuka obrolan.
(Bulan depan sudah UN.)
El memelankan kunyahan di mulut. Sejak perceraian orangtuanya satu tahun lalu, hubungan keduanya cukup renggang. El yang mencipta jarak. Walau ibunya berusaha untuk mengakrabkan diri dengan gadis itu.
"Ibu harap, wektu sinau awakmu neng omah ditambah meneh. Sereng-sereng bahas soal kaleh konco-konco seng liyo. Ojo mung dolanan orak jelas." Terdengar helaan napas berat dari guru cantik itu. "Orak ono sijipun ibu seng nggelem dicap gagal."
(Ibu harap, waktu belajar kamu di runah ditambah lagi. Sering-sering bahas soal sama teman-teman yang lain. Jangan cuma mainan enggak jelas.)
(Enggak ada satupun ibu yang mau dicap gagal.)
"Dan orak ono, seorang anak seng seneng uripe dikekang," balas El lirih.
(Dan enggak ada, seorang anak yang senang hidupnya dikekang.)
"Ibu dudu ngekang kamu, cumo arep kamu luwih giat meneh sinaune. Gawe kamu juga kok hasile. Nek nilai neng ijazah kamu duwur, sopo seng bangga? Kamu juga."
(Ibu bukan ngekang kamu, cuma mau kamu lebih giat lagi belajarnya. Untuk kamu juga kok hasilnya. Kalau nilai diijazah kamu tinggu, siapa yang bangga? Kamu juga.)
Guru cantik itu meraih gelas dan menandaskan isinya dalam sekali tegukkan.
"Ibu cumo arep seng terapik gawe kamu."Matanya menatap lembut.
(Ibu cuma mau yang baik buat kamu.)
"Seng terapik gawe El, dudu seng terapik menurut ibu. El duwe pilihan dewe. Mergo cumo diri kita seng ngerti opo seng apik gawe diri sendiri."
(Yang terbaik buat El, bukan yang terbaik menurut ibu. El punya pilihan sendiri. Karena cuma diri kita yang ngerti apa yang baik buat diri sendiri.)
"Mbok dirongokke El, kalau ibumu ngei masukan. Ojo terus ngedepanke egomu."
(Didengarin El, kalau ibumu ngasih masukan. Jangan terus ngedepanin egomu.)
"El orak ngedepanke ego El kok."
(El enggak ngedepanin ego El kok.)
"Tapi cumo mikirino awake dewe."
(Tapi cuma mikirin diri sendiri.)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kartu Merah Untuk Mimpi
Ficção GeralIni kisah tentang seorang wanita berhijab bernama Adiba yang gemar bermain sepak bola. Cita-citanya juga tidak tanggung-tanggung. Dia ingin masuk Timnas Putri Indonesia, atau bahkan bisa bermain di luar negeri. Tapi sejak perceraian kedua orangtuany...