Kita adalah takdir pertemuan yang aku inginkan. Meski tak pernah direncanakan, menemukanmu masih menjadi hal yang sangat aku banggakan. Aku begitu bahagia kala ujung mataku merekam rupamu dengan tepat. Tapi sebagaimana yang tertera pada kalimat pertama, pertemuan ini hanya menjadi kebahagiaan yang dirasakan oleh satu orang; Aku.
Kau menerimaku dengan sangat baik ketika itu. Hal itu tentu saja membuatku berpikir kalau kau telah membuka pintu selebar dunia untuk menyambutku. Sebagai tamu yang baik, terang saja aku membawakan banyak hal untuk membuatmu tertarik. Tapi akhirnya aku sadar, bahwa pikiranku pada paragraf pertama sungguh benar; Aku datang hanya sebagai tamu.
Kau menjadi tuan rumah yang begitu menyenangkan. Kau membukakan pintu, mempersilakanku menempati kursi di ruang tamu, tapi tak meletakkan cangkir beserta isinya di meja sebelahku. Aku tak terlalu mempermasalahkan itu, karena kau menjadi hal yang lebih penting dari hanya sekadar jamuan untuk seorang tamu. Tapi setelah kupelajari lebih dalam, ternyata itu merupakan sebuah kode rahasia darimu; Kau tak mengharapkan aku datang untuk bertamu.
Aku baru menyadari kalau selama ini kita sama-sama bersembunyi. Aku bersembunyi dari takutnya menghadapi kenyataan, kau bersembunyi dari rumitnya menentukan sebuah keputusan. Aku sebenarnya telah menyadari bahwa kau sebenarnya ingin aku pergi. Tapi aku juga sangat memahami bahwa kau telah berusaha begitu keras mencari padanan kata yang baik untuk membuatku segera menyadari. Sepintas, aku merasa kau begitu licik. Sebab kau ingin mengusirku, tapi tak ingin mengotori lidahmu. Sedangkan aku yang menanti kepastian darimu, celingukan karena tak juga mengerti apa yang sebenarnya kau mau. Kau; Tuan rumah yang ambigu.
Kau memintaku untuk memberikanmu waktu. Sebab katamu, mencintaiku tak bisa semudah itu. Aku menyadari dengan baik bagaimana ruang gerak seorang tamu. Maka dari itu, aku putuskan untuk mengiyakan semua permintaanmu. Aku hanya berusaha menerka-nerka apa yang membuatmu begitu ragu untuk menyediakan secangkir kopi untukku. Kucoba arahkan kepalaku untuk menyisir setiap sudut ruang demi menemukan apa yang aku pertanyakan. Ah, akhirnya aku sadar; Pintu rumahmu masih terbuka lebar.
Aku baru selesai menyadari setelah menghabiskan puluhan gelas kopi di rumahku sendiri. Sepertinya, kau masih menunggu tamu-tamu yang lain untuk membunuh sepimu pada malam hari. Kau dengan sengaja menyisakan kursi-kursi yang belum sempat terisi. Kursi-kursi itu berjajar rapi berdampingan dengan harapan-harapan yang sejak lama kau gantungkan di sebelah lemari. Kesadaranku menjalar dari dada menuju kepala dengan hati-hati; Aku adalah tamu yang tak lolos proses seleksi.
Wajar memang kalau kau pilih-pilih perihal tamu yang kelak akan kau permanenkan posisinya sebagai tamu pribadi. Karena kau pasti akan memilih tamu yang sesuai dengan kriteria terbaik versi nalarmu sendiri. Untungnya aku masih tahu diri. Sehingga, aku tak akan menggedor pintu rumahmu secara paksa saat nanti kau tak membukakan pintu rumahmu untukku lagi. Kepekaanku mulai merasuk sambangi hati; Aku harus segera pergi.
Aku sudah menghabiskan waktu bertamu di rumahmu hingga jutaan detik. Tapi itu justru membuat perasaanku semakin tercabik-cabik. Kau membiarkanku berada dalam persimpangan waktu yang membuatku hanya bisa merajut kecemasan hingga menjadi pakaian anti panik. Meminta waktu, bagiku hanya alasan klasik untuk menolak dengan cara yang dianggap lebih baik. Padahal, penolakan justru lebih terasa sakit saat penantian sudah terasa semakin mencekik. Keabu-abuanmu harus segera diperjelas agar tak menambah panjang cacatan kronik; terima dengan manis atau tolak dengan sadis.
Tamu yang baik adalah tamu yang tahu diri atas keinginan tuan rumahnya. Tapi kepekaan setiap manusia adalah sesuatu yang abstrak dan belum tentu seragam. Tentu lebih baik bagi tuan rumah bila mengatakan tak ingin dijumpai ketimbang memberi duduk, namun kemudian membuat sang tamu tersedak oleh air mata ketidakjelasan yang disajikan. Kita bisa saja mengira-ngira, tapi tentu mengira-ngira juga malah bisa jadi salah kira. Kombinasi yang tepat bagi kisah ini adalah; Tamu yang tahu diri, tuan rumah yang peka situasi.
Kita adalah takdir pertemuan yang tak pernah kau inginkan. Pertemuanmu denganku adalah musibah terbesar bagimu. Meski bagiku, kau adalah pertemuan yang memberikan pelajaran hidup terbaik untukku. Pertemuan kita adalah pertemuan seorang tuan rumah dengan seorang tamu. Dan sebagaimana tata krama seorang tamu; kunjungan harus segera dihentikan setelah tuan rumah menutup pintu.
ge
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara, Amarah.
Novela Juveniltentang sebuah kisah yang patah. hati yang kesulitan menentukan pilihan, antara pasrah ataukah lanjut melangkah. asmara yang marah tak pernah pulang ke rumah.