Kalau dia memang seperti lelaki yang kau maksud, tak akan dia mempertanyakan hal-hal pribadi seperti itu. Kau mestinya pahami, dan mesti membangun dinding setinggi langit untuk menepis hal-hal yang tidak penting untuk dipertanyakan oleh orang yang kau anggap seperti itu, kepadamu. Kalau kau merasa paham betul statusnya apa, kau pasti tahu pertanyaan itu hanya basa-basi yang tak menjeratmu dalam kewajiban untuk menjawabnya. Kau sangat berhak untuk pergi.
Tapi sayang sekali. Dia selalu berhasil mengikatmu dalam perbincangan-perbincangan yang penuh dengan usahanya untuk meleburkanmu. Kau membiarkan itu terjadi 5 menit hari ini. Esok, kemungkinan jadi 15 menit. Dan kalau dibiarkan terus menerus, kau akan hanyut berjam-jam dalam buaiannya.
Kau mungkin biasa saja.
Tapi aku sungguh terluka.
Kau bercerita padaku kalau dia baru saja mengajakmu berbicara. Kau membuat aku menjadi telinga tanpa bertanya apakah aku bersedia atau tidak mendengarnya. Kau sudah terlalu asyik dengan ceritamu. Lalu kau bilang padaku kalau aku tak perlu khawatir. Sebab perbincangan kalian hanya berlangsung sekejap mata. Mungkin hanya lima menit.
Ketika kutanya mengapa kau tak menghindar, kau katakan padaku kalau kau tak bisa. Kau juga merasa harus meladeninya karena tahu statusnya seperti apa. Kau malah menjelaskan dia itu siapa. Dan mengapa kau mesti menjaga sikapmu padanya. Sampai kau harus menjawab setiap pertanyaan tidak pentingnya.
Tapi di sela-sela penjelasanmu yang menusuk telinga, aku langsung berdarah. Bukan karena tak terima. Tapi karena tak menyangka, kau akan membelanya sedemikian rupa. Kau tetap merasa yakin benar dengan keputusanmu. Bagimu, cemburuku tak masuk akal. Tapi, Bungaku, jelaskan padaku. Cemburu mana yang pernah masuk akal? Semua cemburu itu tak pernah masuk akal!
Kau mungkin biasa saja.
Tapi aku sungguh membara.
Ketika kau lebih memilih diam untuk menanggapi, artinya kau membuka lenganmu seluas samudera untuk menangkapnya. Kau mungkin tak akan pernah mengerti. Tapi aku paham betul karena aku dan orang itu, sama-sama laki-laki. Jadi, kau tak bisa mengelak meski hanya satu inci. Apalagi beranggapan kalau apa yang dia lakukan bukanlah sebuah masalah.
Aku paham betul, alasan-alasan yang kau jajarkan di depan mataku. Menurutmu itu hal biasa. Tapi yang menurutmu biasa, itu sering kulakukan sebagai cara untuk mencuri perhatian. Aku coba jelaskan padamu, tapi kau tak mau mengerti. Seakan kau yang paling tahu tindak tanduk seorang lelaki.
Dia itu sedang menggodamu. Kalau kau membiarkannya, sekokoh apapun pertahanan yang kau bangun, pasti akan runtuh juga. Sebab dia tak akan berhenti menggedor sampai dia berhasil merasuk ke dalam tubuhmu. Hindarilah sebelum itu terjadi. Atau, kalau kau memang ingin membunuhku, silakan kau teruskan.
Aku telah kehabisan air untuk menyirami kepalamu, bahkan juga untuk kepalaku sendiri. Jadi, kuserahkan saja pada langit yang baik hati. Semoga hujan turun hari ini. Supaya kita sama-sama padam. Tapi ketahuilah, aku sudah tak punya lagi wadah untuk menampung, atau bahkan mencari air.
Aku tak akan menjadi angin yang membuat bara dalam dadamu menjadi api. Karena aku sudah tidak bisa memadamkannya lagi. Kalau akhirnya alam memaksaku menjadi badai, aku akan menggiringnya untuk menghantamku saja. Sebab aku, bisa menolong diriku sendiri.
Kau tak pernah mengerti bagaimana rasanya terbakar api cemburu. Kau begitu karena kau tak punya pemantiknya. Serpihan bubuk mesiu itu cuma berkumpul di dadaku. Sedikit saja kau buat gesekan, aku pasti hangus terbakar.
Kau mungkin biasa saja.
Tapi aku sungguh kecewa.
Aku tak ingin membuatmu bersedih. Tapi kau paham betul aku tak pandai bersembunyi. Aku mungkin bisa saja menahan diriku untuk tak meledak. Tapi kau pasti sangat merasakan jiwaku yang terus berteriak.
Kita selalu tenggelam dalam api yang sama. Entah sudah berapa kali kita terjatuh di sana. Bodohnya, kita tak pernah mencoba belajar berenang. Kita malah asyik menikmati saat-saat oksigen kehabisan tempat di dada kita. Kita akhirnya hanya bisa tertolong oleh janji-janji dan ungkapan maaf yang meletup berulang kali.
Kau mungkin memang tak mencintaiku, tapi aku sudah kepalang jatuh dalam dirimu. Makanya aku paham betul kalau kau akan menjadi batu saat aku terbakar cemburu. Sebesar apapun api berkobar, batu akan tetap pada bentuknya. Tak akan berubah. Tetap kuat dan kokoh pada tubuhnya yang gagah.
Kita akhirnya padam. Atau lebih tepatnya, kau paksa aku untuk padam. Setelah kau jelaskan kalau mestinya kau aku buat bebas. Aku lantas sadar setelah kau muntahkan kalimat pamungkas;
"Kita tak punya hubungan apa-apa. Aku belum menjawab apa-apa. Mengapa kau merasa panas?"
Oh, iya. Aku lupa.
Maafkan aku, ya!
ge
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara, Amarah.
Teen Fictiontentang sebuah kisah yang patah. hati yang kesulitan menentukan pilihan, antara pasrah ataukah lanjut melangkah. asmara yang marah tak pernah pulang ke rumah.