PEDANG, PANDANG.

19 0 0
                                    

Aku sudah mulai bosan menulis cerita tentang patah hati. Tapi mau bagaimana lagi? Patah hati sudah seperti menjadi slogan hidup. Tanpa patah hati, orang tak akan jadi orang. Sebab katanya, pedang yang tajam pun perlu ditempa berkali-kali. Tapi tahu nggak? Pedang yang ditempa berkali-kali itu, akan digunakan untuk melukai orang lain. Menurutmu, apa aku akan menjadi seperti pedang setelah kau tempa berkali-kali? Kalau memang iya—aku pada akhirnya akan menjadi pedang, aku rasa lebih baik mulai hari ini, aku pergi menghilang.

Ketahuilah, kekasihku. Aku tak mengapa kau lukai sedemikian rupa. Karena memang sepertinya, lelaki kuat memang mesti tumbuh dengan tubuh penuh luka. Jadi, tak apa kalau kau yang melukaiku. Asal jangan aku yang melakukan itu padamu. Karena itu sama saja dengan membunuh diriku sendiri. Sebab, jangankan melihatmu terluka olehku, kau murung sebab orang lain pun aku sudah menderita. Tentu kau tahu betul bagaimana jadinya aku kalau justru malah aku yang membuatmu cemberut sampai berlarut-larut.

Aku lebih suka memandangimu ketimbang melukaimu. Aku tahu, itu terdengar seperti lelaki cengeng yang menyerah pada bodohnya dunia percintaan. Tapi aku lebih baik menjadi bodoh di mata orang-orang di sekelilingku, tapi pandai perihal melayani kebahagiaanmu. Ah, kau pasti tahu aku bukan tipe orang yang peduli dengan cibiran yang mendobrak gendang telingaku. Sebab setiap hari, aku tak pernah bosan berteriak di depan wajahmu dengan kalimat aku akan memperjuangkanmu.

Manusia pada akhirnya akan hidup dan menjadi tua dengan pasangannya. Itulah mengapa, aku lebih menitikberatkan hidupku padamu ketimbang orang-orang yang dengan sok tahu menilai kita. Mereka kadang-kadang memang begitu. Suka sombong. Menilai-nilai kita seakan mereka tak pernah terluka. Padahal, siapa yang tahu, kan? Siapa tahu malah hidupnya lebih menderita daripada kita. Bukan berarti aku tidak butuh teman. Tapi, toh, pada akhirnya, yang akan menemaniku sampai tua itu, kan, kamu. Betul tidak? Tapi. Itu pun kalau kamu mau. Kalau kamu tidak mau, ya akan aku paksa supaya kamu mau.

Ngomong-ngomong soal menderita, memangnya siapa yang menderita? Tenang, bukan aku, kok. Aku tidak menderita sama sekali. Bekas cakarmu di sekujur tubuhku masih bisa kuatasi. Jadi kau tak perlu merasa bersalah. Biasa saja. Sayangku padamu takkan tanggal begitu saja. Percaya, deh. Aku itu kuat.

Cara menikmati cinta bukan cuma dengan bermandi hujan bahagia. Sakit-sakit sedikit karena cinta juga patut diperhitungkan. Sadar atau tidak, bertengkarnya kita justru membuat kita semakin kuat. Jadi jangan takut terluka. Sebab, asal kita pandai mengolahnya, luka itu rasanya nikmat.

Pandang tepat di kedua bola mataku, Sayang. Tidakkah kau lihat betapa aku sungguh berusaha membuatmu utuh? Kau boleh ragu, tapi tak boleh pergi jauh. Sakiti aku kalau memang itu perlu untuk melegakan hatimu. Hidupku takkan bisa menjadi hidup kalau tak mampu menjadi apa-apa untukmu. Kalau memang suatu saat nanti aku benar-benar menjadi pedang, aku akan menggunakan pedang itu untuk menghunus dadaku sendiri. Setelah aku mati, baru lah kamu bisa menakar, sebesar apa cintamu padaku. Penyesalan selalu datang terlambat, bukan? Makanya, datang lebih pagi!

ge

Asmara, Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang