Aku melihat kau begitu khusyu dalam mengeja kata pulang. Membuatmu semakin terkubur di antara dedaunan yang gugur tadi sore. Lamunan melahap kedua bola matamu yang begitu rajin menyantap pikiranku setiap waktu. Sayang sekali, aku merindu pada kau yang semakin membisu.
Kata per kata kau tasbihkan di atas meja. Keyakinan yang masih berserakan mulai kau susun pelan-pelan. Gelas-gelas itu kau jajarkan dengan rapi. Setelahnya, kau tuangkan ingatan yang mendekam dalam kepalamu secara paksa agar mereka segera pergi.
Rindu itu kini kabur lewat ventilasi hatimu yang tak kau tutup rapat. Senja di pelupuk matamu tenggelam lebih cepat. Pelukan hangat darimu waktu itu semakin membuat kerongkonganku tercekat. Aku ingin kembali memelukmu erat, namun kau menghindar dengan cepat.
Cinta yang meluap kini malah menguap. Menghilang ditelan keraguan yang dengan gagah menyerang. Hidupmu kini dipenuhi kebimbangan yang teramat sangat. Hidupku kini dipenuhi kesiagaan menghadapi situasi yang gawat.
Keresahan masih sibuk bolak-balik mengetuk pintu tepat di sela paru. Langit bumi tak lagi terlihat biru. Aroma kepergian itu mampir tepat di atas bibir. Aku yang disekap getir, semakin ketar-ketir.
Gelap malam kau rajut dengan rapi. Hingga kelam tak kau rasakan lagi. Kau yang ditampar udara dari desah napasku tak juga siuman. Aku rasa, sebentar lagi aku yang pingsan.
Kau sudah menalikan sepatumu dengan segenap keyakinan. Noda penyesalan yang melekat sepertinya sudah kau singkirkan. Kau semakin siap melesat pulang. Meninggalkan aku yang masih belum lapang.
Kepulangan bagimu, kepergian bagiku. Sebab saat kau katakan ingin pulang, aku tahu tujuanmu bukan aku. Seperti lembayung yang meninggalkan garis pantai, aku akan berusaha menikmati kepergianmu yang terlihat begitu indah. Meski setelah itu, aku pulang dengan hati yang patah.
Keinginanmu untuk pulang seketika membuat palung dalam hati berbisik risau. Dia begitu galau khawatir tak menemukan lagi pengisi yang tepat. Jiwaku kini dipenuhi banyak lubang. Ditinggalkan kau yang begitu ingin pergi menghilang.
Derai-derai itu jatuh tepat di atas kepalamu. Malam yang memeluk erat tubuhmu semakin membuatku tak rela melepasmu. Kau masih berdiam di atas tanah yang penuh dengan kecemasan. Ragamu hampir tumpah saat kakimu mulai melangkah.
Aku tahu persis hatimu masih belum kuat. Kau masih khawatir emosimu yang meledak-ledak itu kelak akan menghanguskanmu dalam penyesalan yang begitu berat. Percayalah, seluruh jiwamu hanya cocok menempati palung hatiku yang menganga karena luka yang kau buat. Urungkan niatmu, kembali padaku.
Kau semakin terlihat bimbang. Mengacak-acak langit yang masih terang pendar bintang. Padahal, kau tak perlu sibuk ingin pulang. Sebab sebenarnya, kau telah berada dalam rumahmu paling tenang;
Aku.
ge
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara, Amarah.
Fiksi Remajatentang sebuah kisah yang patah. hati yang kesulitan menentukan pilihan, antara pasrah ataukah lanjut melangkah. asmara yang marah tak pernah pulang ke rumah.