LUBANG, LAMBANG.

6 0 0
                                    

Sebuah lubang yang terpampang jelas di balik dada adalah bekas tamparan getar resonansi dari paru-parumu. Dibelai lembut angin laut yang membuat sayatannya terasa semakin membuat hidupku penuh kemelut. Lubang itu menjadi lambang bahwa kehadiranmu telah kupersiapkan. Tapi, mencampakanku menjadi pilihan yang akhirnya kau tetapkan.

Cerobong asap di ruang keluarga masih dihangatkan oleh namamu. Kepulan asap yang terbang ke angkasa menyampaikan pada bulan betapa aku merindukanmu. Aku menjelma kayu yang terbakar malam itu. Menyalakanmu dalam ingatan membuatku menjadi abu.

Jejak kakimu di selasar kuhapus dengan air mata. Sebab kepergianmu tak akan menghilang hanya dengan sebuah kain perca. Meja dan kursi sama-sama tertawa melihat aku yang menangis semalaman. Mereka begitu senang mengejekku karena tampak susah payah menghapus sebuah lambang kepergian yang kau ciptakan.

Setelah kau letakkan aku dalam sebuah ruang tunggu, akhirnya kau muncul dari balik pintu. Bak seorang dokter yang baru keluar ruang operasi, suasana terasa begitu mencekam bagiku saat itu. Harap-harap cemas mengalir melalui pipa-pipa kapiler menuju jantungku. Detak itu berhenti seiring dengan kalimat yang terbit dari balik barisan gigimu; "Maaf, aku tak bisa bersamamu."

Suara itu tak berupa. Tak berbentuk. Tapi mampu membuat luka yang membiru. Getar udara itu kini melukai katup hatiku yang selama ini begitu sabar menunggumu. Penantian memang tak selalu berbalas. Sebab kepergian juga bisa dianggap sebagai bayaran yang impas.

Aku terus menjilati bekas luka yang mendera di sekujur jiwaku. Katamu, aku akan segera sembuh dan kembali seperti sedia kala. Kau berbicara seperti itu seakan semua biasa saja. Padahal kehilanganmu serupa kiamat bagiku.

Sesudah itu, kita tak lagi pernah bertemu. Kalimat itu seakan membentuk sebuah palang panjang yang menutupi jalur menuju rumahmu. Aku kini tertahan di simpang jalan yang makna rambu-rambu dari hijau, kuning, merah, bukan jalan, hati-hati, dan berhenti. Tapi memaksa, balik arah, atau mati.

Tentu semua itu punya konsekuensinya sendiri-sendiri. Kalau aku memilih mati, artinya aku akan mati dengan situasi dikubur dalam rasa penasaran yang pasti gerayangi seluruh tubuhku dengan kegagalan. Kalau aku memilih balik arah, aku akan diganggu pertanyaan-pertanyaan, apakah aku bisa benar-benar melupakanmu? Atau malah menyakiti orang yang baru karena kepalaku masih berisi kamu? Kalau aku memilih memaksa untuk tetap melaju, mungkin saja aku kelak bisa mendapatkanmu. Tapi mungkin juga, aku akan ditabrak kendaraan yang berisi pernyataan-pernyataan tegas darimu tentang ketidaksediaanmu menerimaku.

Kesepian kini berdesakan dalam sebuah keramaian. Rindu yang menyeruak semakin terabaikan. Kau masih bisa memanen tawa bersama selusin degup jantung di ruang bumi. Sedang aku, tengah berada pada situasi yang membuatku terlalu sibuk memaksa kedua kakiku untuk mendaki dari tajamnya bebatuan jurang sepi.

Aku mendekam dalam kamar selama berhari-hari sejak kau tegaskan keputusanmu yang membuat warna langit tak lagi biru buatku. Bagiku, bumi menjadi tempat tergelap sejak saat itu. Senyummu menjadi harta karun yang terkubur entah di mana. Aku ingin mencarinya, tapi itu pasti sia-sia.

Aku mengaku salah karena mencintaimu terlalu pasrah. Sebab tali aksara yang kusiapkan belum sempat aku selesaikan. Padahal, aku sudah mengulum kata dalam mulutku untuk segera kukirimkan padamu. Tapi detik waktu memaksaku menelan kembali kata-kata itu.

Kita memang belum meresmikan sebuah hubungan. Tapi kebersamaan kita, kukira akan berlangsung selamanya.

Ah, dasar bodoh! Aku memang penggumam yang payah.

Persinggahanmmu tak pernah kukira sementara. Sebab kupikir, kau akan menjadi malaikat yang berada di sampingku dengan setia.

Ah, masih bodoh! Aku memang pelamun yang kelewat resah.

Ternyata aku salah. Ya! Aku salah. Aku hanyalah sebuah halte usang yang selalu mengharapkan bus kota untuk tinggal. Tapi nyatanya, bus kota selalu hanya mampir sejenak, lalu kembali bergerak.

Ah, super bodoh! Aku akan selalu menjadi bodoh dan bangga menjadi salah.

Lubang bekas sayatan kata-kata masih meneteskan cairan merah. Terus mengalir seiring dengan kesepian yang menghantamku tanpa lelah. Aku dibenturkan harapan-harapan yang miskomunikasi dengan keadaan. Tubuhku semakin penuh dengan lilitan perban penyesalan.

Perlahan-lahan kutambal lubang itu sendirian. Berharap itu menjadi sebuah ritual pemulihan sakit hati yang tepat. Biar saja bekas tambalan itu menjadi lambang yang membuktikan kalau pernah ada orang yang meninggalkan jejak di dalamnya. Barangkali nanti kau iseng melintas di depannya. Aku berharap kau melihatnya. Supaya kau juga tahu, aku dengan sengaja memamerkan kebahagiaanku denganmu.

Meski pada akhirnya, kau lebih memilih untuk meninggalkanku.

Meski pada akhirnya, kau lebih memilih untuk melukaiku.

Meski pada akhirnya, kau lebih memilih untuk membunuhku.

Aku tahu kalau kau pergi pasti karena sebuah alasan. Entah karena enggan menentukan aku sebagai sebuah pilihan yang kau putuskan, atau karena ada lelaki lain yang lebih mapan?

Apapun alasanmu, aku masih dan pasti akan selalu merindukan pertanyaan yang dulu seringkali kau lemparkan;

"Kapan main ke rumah?"

ge

Asmara, Amarah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang