Harusnya aku tak mengundang, jika akhirnya kau membuatku meradang. Harusnya kau tak datang, bila hanya sejenak lalu pamit pulang. Harusnya aku tak mengizinkanmu mampir, kalau aku tahu kau akan membuatku terkubur dalam getir.
Aku terus saja menyalahkan kedua tanganku. Memaki diri sendiri atas luka yang telah membiru. Aku harusnya tak membuka pintu selebar itu. Kamu cuma tamu. Harusnya aku tahu. Kini aku terbelenggu. Pada harap yang semakin tabu. Kamu pergi menjauh. Aku tenggelam dalam peluh. Karena mengejarmu takkan pernah semudah itu.
Rumah yang tak berpenghuni kini semakin sepi. Merindukan suara yang sudah tak terdengar lagi. Orang-orang di seberang pagar halaman hanya lewat tanpa permisi. Menandakan rumah yang mungkin tak akan pernah lagi terisi.
Rumah yang kosong tak pernah meminta tolong. Dia menjahit mulutnya sendiri agar tak menggonggong. Karena dia tahu, menggonggong hanya akan membuatnya semakin dibenci. Atau mungkin, akan membuatnya dihujani ribuan caci.
Rumah yang kesepian kelak akan kau butuhkan. Saat kau lewat ketika hujan. Membawamu berteduh dalam gelapnya kesunyian. Menyembunyikanmu dari pekatnya kehidupan. Melindungimu dari basahnya kepedihan. Ketika badai telah usai, sejumput ucapan kucari tak kudapatkan. Karena kau pergi tanpa merindukan.
Rumah tetap tersenyum dengan indah. Takkan lebur meski tak berpenghuni, kosong, dan sepi.
Aku terluka dan kau telah lupa. Sebilah pisau yang kau bawa ketika itu masih tertanam di dadaku. Aku merekam dengan jelas saat kau menghunuskannya tepat di antara paru-paru. Aku terlelap dalam haru, lalu terbangun dalam pilu.
Aku lemah dan remah. Kau menghancurkanku dengan mudah. Aku terburai di atas tanah. Kau pergi dengan senyum semringah. Aku marah. Namun lemah.
Kedua matamu membekukan hasrat liarku untuk menyerangmu. Menyayangimu menjadi cita-citaku. Menghancurkanmu tak ada dalam kamusku. Hingga kini, meski luka telah terpatri, aku tetap mengagumi dalam perih.
Hal terberat dalam hidupku adalah meninggalkanmu. Hal termudah dalam hidupmu adalah meninggalkanku. Kita berdua menuju dua arah yang berbeda. Kau menuju jalan yang benar. Aku menuju jalan yang membuatku tersesat.
Kita sempat berada dalam koridor yang sama. Berbagi cerita di dalamnya. Namun ketika kita sampai pada ujung jalan yang bercabang, kau memintaku untuk pergi ke arah yang berbeda denganmu.
Aku sempat meminta untuk tetap berjalan berdua. Namun kau mengingatkanku pada tubuhku yang ketika itu penuh dengan merah. Merah yang kau ciptakan semasa perjalanan. Membuatmu berikan komando untuk segera berpisah arah. Membuatku terbalut oleh resah. Aku menerima keputusanmu dengan pasrah. Berharap suatu saat kembali bertemu dalam situasi yang sah.
Aku remah. Kau yang gagah. Mengajari aku pentingnya memelihara sebuah luka. Semakin ia membiru, semakin membuatku menjadi tahu bahwa dilukai olehmu kelak akan membuatku tangguh.
Namun menjadi tangguh bukan perkara mudah. Fase-fase penuh darah dan air mata menjadi hal yang mesti aku sambut dengan ramah. Jelas saja itu susah. Teori penyembuhan sakit hati telah aku pelajari setiap hari. Tapi, semakin hari malah membuatku semakin ingin mati.
Membunuh kenangan menjadi hal yang menyakitkan. Menyimpanmu dalam ingatan menjadi hal yang sangat ingin aku lakukan. Aku tak pernah mengira luka yang kau tanamkan begitu hebat. Membuatku tak pernah bisa menang berdebat saat teman-temanku mengatakan bahwa kaulah orang yang paling jahat.
Kau memang membuat hatiku rengat. Tapi kau akan selalu kuingat. Karena kau orang yang paling hebat. Perihal membawa cinta, juga menanam luka.
Cerialah selalu. Meski terasa ngilu, hatiku masih bersedia berdansa dengan tanganmu. Jangan khawatir, gerakkan tanganmu tanpa banyak pikir. Aku akan menyambutnya dengan pesta dan sebotol bir.
Kau tenang saja, Kasih. Aku masih sanggup menerima luka yang kau bawa. Aku akan dengan senang hati tenggelam dalam kubangan kepedihan. Asalkan itu masih tanganmu yang ciptakan.
Meski remah, aku akan tetap menjadi rumah. Untuk anak dan cucu kita berkemah.
ge
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara, Amarah.
Teen Fictiontentang sebuah kisah yang patah. hati yang kesulitan menentukan pilihan, antara pasrah ataukah lanjut melangkah. asmara yang marah tak pernah pulang ke rumah.