JUNE 23th, 2019
Kaki Jungkook yang bersila terasa penuh. Seperdu helai karamel menggelitik paha, mengikuti lekuknya, mendorong pria itu untuk julurkan sebelah tangan demi sisiri surai yang ingatkan ia akan pepohonan lebat di tanah tersubur. Kepala Sora berbaring pada pangkuan Jungkook; itu rajanya, rumah kedua yang memutrikannya. Rumah ternyaman─setelah tahun-tahun berhantu ini, yang tidak pernah ia tinggali.
Mungkin mereka pendosa. Namun dosa mampu dua sejoli itu benarkan bila berarti ada untuk satu sama lain.
Sora mengedip. Petangnya sendu, dan suar hati bersinar. Ia menengadah kepada Jungkook, yang balas menatapnya sesudah bosan menghadap kebakaran langit.
Iris Jungkook sangat kelam. Terlebih kala fokusnya menetap ke bawah.
"Aku bingung, Jungkook."
"Hm?"
"Mengapa kau memilihku─di antara banyak pilihan lain?"
Kata terakhir Sora pecah dan Jungkook keterlaluan tahu, itu bukan pertanda baik. Lucutan napas terseret lembut, mengusir sekawanan partikel di sekitar.
"Seharusnya pertanyaan itu berbalik, Sora."
Kepala Sora terangkat sedikit, sebabkan ratu mekarnya bergerak lunglai. "Maksudmu?"
"Mengapa kau memilihku?"
Pertanyaan Jungkook dibiarkan terapung-apung, mengudara, berkonsiliasi dengan pikiran Sora yang terbang bebas dan berkelana. Sudah lama sekali ia tidak dikejutkan dengan kenyataan. Ternyata semendebarkan ini, ya?
Gelak Sora yang tertahan lucu─seperti cegukan satu sekon─menjelmai tawa sang dara rupawan tatkala kecil. "Ah," bisiknya samar, "benar juga. Kenapa, ya?"
Kemirisan dalam senyum Sora nyaris siletkan kulit bibir yang melebar. Sora kepusingan. Pertemuan pertama mereka terkenang ulang. Pergumulan, percakapan, hal-hal yang menyatukan mereka terasa tidak pernah sedekat ketika pertanyaan asli terlontar.
"Kau tak tahu jawabannya?"
Sora menggeleng.
"Kalau begitu, bukan kita yang memilih."
"Lantas?"
"Tuan Takdir."
Duo sabit Sora menipis. "Kau juga percaya takdir?"
Jungkook menyahut, terlalu lembut hingga Sora mengira-ngira siapa yang lebih rapuh di antara mereka. "Setelah menemuimu, ya."
Seharusnya Sora tersentuh. Akan tetapi pergerakannya justru tertahan. Ada ketidakpuasan dalam diri, ketika kau menemukan suatu jawaban, tetapi tidak tahu dari mana hal tersebut berasal.
"Aku bahagia, jika memang takdir yang ikut campur pada ikatan ini." Jemari Sora berhenti, bucu telunjuknya pegang hidung bangir si pria manis. "Namun apa kau bahagia pula, Kook, di saat selama ini bersamaku?"
Rupa-rupanya tak butuh interval berarti. "Tentu saja, Sora Sayang."
"Aku butuh bukti."
"Tindakan? Atau perkataan?"
"Sedang lelah, Kook," ucap Sora lirih. Badannya menggeliat. "Tolong ucapkan saja. Aku sedang ingin mendengar suara kapasmu."
Jari Jungkook kontan mengelus pelipis Sora yang berkeringat gelisah. Selalu seperti itu bila gadisnya kebanyakan mengaktifkan rasio, menerjemahkan batin, juga mendaurulangnya menjadi kata hati yang mesti dibisik-bisik lewat belaian rasa.
"Aku bahagia bersamamu, Sora. Kau mengajarkanku bahwa hidup terberat adalah hidup terbaik. Kau mengatakan kepadaku bahwa 'baik-baik saja' memang tak jauh beda dari kata permisi, tetapi itu yang paling dibutuhkan bagi orang-orang seperti dirimu. Sebab kalian butuh kamuflase. Dan kadang, berkamuflase bukanlah hal buruk jika itu demi melindungi diri."
Netra mereka saling menyorot.
"Suatu ketika─yang kulupakan karena waktu-waktu bersamamu di masa sekarang adalah yang terbaik─kau pernah menangis keras di pundakku. Kau mengaku ingin lebih menderita, supaya kau bisa dapat akhir yang lebih indah dibanding siapa pun. Namun aku menenangkanmu, dan kala itu aku baru bisa melihat perasaanmu adalah hal tercantik yang bisa kuraba. Kau selalu meninggalkan hatimu pada apa-apa yang kaulakukan, meskipun kau tidak menyadarinya. Hidupmu berharga, Sora. Namun kau tidak menyadarinya. Dan aku ingin menyadarimu. Aku ingin menjadi pria yang berperan dalam hidupmu, menciptakan bahagiamu, dan jika itu merupakan alasan di balik senyummu pada hari-hari esok, berikutnya, kau bisa menjamin kebahagiaanku."
Bulu mata Jungkook sungguh panjang, melengkung, mengawasinya teduh seiras payung pada hujan dengan rintik berkeping. Jungkook adalah pria dewasa, tetapi ia punya cara memandang yang penuh puja, mengamatinya persis anak kecil yang mengidolakan figur ibu.
Siapa yang lebih muda di sini? Sora bertanya-tanya.
"Jika kau bahagia bersamaku," Sora nyaris tersedak, "... tolong beri aku ciuman tulus. Sekarang juga."
Dengan itu, Jungkook merunduk. Dua labium berona merah menganga, diam-diam bergetar, saling mendekat sebelum salah satunya terdorong lebih maju. Jungkook telah lama paham cairan ceri kental akan meleleh dari bibir yang sudah jadi candu personal di hadapnya, memaju-mundurkan debar demi debar dari kotak jantung hingga yang terasa hanyalah keintiman antara sepasang daksa haus. Sora mengulum lebih dalam di tengah-tengah penyatuan, lantas mengalungkan sepasang lengan di leher jenjang Jungkook yang terekspos.
Sora tidak butuh definisi bahagia. Atau mengapa kebahagiaan acap kali meronta-ronta dan kabur dari hidup tak seberapa yang ia miliki.
Jungkook ada di sampingnya.
Itu yang ia butuhkan. Bukan begitu? [R]
KAMU SEDANG MEMBACA
remarking twinge
Fanfiction[convo fic #1] setiap petang anak dara itu bercakap dengan si adam yang memberinya pelipur lara.