1

623 21 0
                                    

Memasuki pertengahan bulan Juli, udara pada siang hari itu terasa sangat panas. Nabila tidak tahu pasti berapa suhu udara saat ini, yang pasti kipas angin yang berada di depannya tidak membantu mengurangi panasnya suhu udara. Bahkan ia harus mengibas-ngibaskan kipas tangan untuk membantu mengurangi keringatnya setelah duduk di depan laptop selama beberapa jam.

Kira-kira tiga tahun setengah kipas angin itu telah menemani Nabila dalam berjuang mengatasi udara panas. Sudah pasti benda tersebut tidak bisa bekerja secara maksimal seperti saat pertama kali beli. Syukur-syukur benda itu belum menjadi barang rongsokan.

Rumah mewah dengan dua lantai itu disekelilingi oleh dinding yang tinggi nan kokoh, menjadikannya tambah eklusif. Walaupun tertutup, namun balkonnya masih terlihat menghadap jalan. Pohon cemara menyembul dari halaman. Rumah itu tepat berada di depan rumah Nabila yang sederhana. Sebelumnya pemiliknya adalah pengusaha Tionghoa yang sukses namun sudah beberapa bulan rumah itu dijual.

Sering kali Nabila berandai-andai tinggal di rumah itu, di mana pastinya setiap kamar memiliki pendingin ruangan.

Pernah suatu kali Nabila menyatakan idenya kepada Bapak, " Pak gimana kalo rumah dan semua sawah kita dijual buat beli rumah di depan sana." Saat itu sekeluarga sedang berada di ruang keluarga menonton tayangan televisi favorit mereka yaitu On The Spot. Kecuali Nabila yang tidak terlalu suka dengan tayangan tersebut. Pastinya ia lebih suka drama korea yang syukur-syukur tayang di salah satu stasiun televisi Indonesia.

"Terus kamu mau makan apa kalo sawah kita dijual?" tanya Bapak tak sekali pun memalingkan wajahnya dari layar televisi.

"Ya Bapak kan kerja. Bisalah kalo beli makan sekeluarga."

"Sawah itu warisan dari Mbah Uti, Dek. Enggak mungkin sawah itu dijual," ujar Ibu.

"Weslah, enggak usah aneh-aneh to. Rumah yang kita tinggali ini udah lebih dari cukup." Kali ini ia memalingkan wajahnya dari televisi ke anak bungsunya karena memang sedang iklan.

Sejak saat itu Nabila sadar kalau memiliki rumah mewah adalah mimpi di siang bolong. Namun, Nabila masih memiliki harapan untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih baik di masa depan. Cewek itu percaya bahwa untuk bisa merubah nasib ia harus sekolah sampai kuliah dengan sungguh-sungguh dan memaksimalkan potensinya.

"Itu yang pindah orang mana Bu?" terlihat beberapa mobil boks terpakir di depan rumah mewah. Karena memang rumah Nabila dengan rumah mewah tersebut pas berhadapan maka semua aktivitas yang berada di depan dapat terlihat. Yah, kecuali yang berada di dalam pagar rumah mewah tersebut. Sedangkan rumah Nabila tidak berpagar dan hanya memiliki halaman yang sempit.

"Ibu denger-denger si dari kota sini dan punya anak yang seumuran kamu," ujar ibunya sembari menyisiri rambutnya yang memulai memutih dan ikut bergabung dengan Nabila yang baru saja duduk di depan teras rumah.

"Namanya siapa? Siapa tahu kenal."

"Kalo anaknya si Ibu engga tahu. Pokoknya keluarga itu bermarga Gultom." Tidak usah heran ketika Kaesi selalu tahu informasi sekitar kompleknya karena memang dia selalu bertukar informasi atau orang-orang menyebutnya bergosip dengan ibu-ibu yang membeli sayur saban pagi.

Nabila mengenal satu orang yang bermarga Gultom di sekolahnya dulu. Nama depannya adalah Dani, cowok yang selalu meraih ranking satu umum dan pernah menjabat menjadi ketua OSIS dulu ketika di SMP. Namun, orang yang bermarga Gultom tidak hanya keluarga Dani saja kan. Toh, banyak orang Batak yang tinggal di kota ini.

Seorang cowok yang memakai kacamata dengan ekspresi datar baru saja melihatnya. Lantas Nabila juga langsung melihatnya. Sekilas mereka bertatapan namun cowok itu memutus kontak mata sebelum Nabila tersenyum ke arahnya lalu langsung masuk ke gerbang yang kokoh yang berada di depan rumah Nabila. Cowok itu adalah Dani Rhogerry Gultom.

Tentang NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang