7. Puisi

197 29 34
                                    

 "Good morgen!"

"Rafael."

"Rangga."

Aku terdiam sembari menatapi Anggita dan Kanya secara bergantian. Maksud mereka apa sih. Pagi-pagi sudah membuat otaku berpikir keras.

"Sar, lo nggak nyebutin?" tanya Anggita.

"Nyebutin apa?"

"Ituloh kita kan lagi main nyebutin personil smash. Tuh si Sabina yang mulai. Lo nyebut siapa?"

Tanganku bertemu dahi. Rupanya telinga mereka tidak berfungsi dengan baik, aku bilang good morgen bukannya good morgan. Alih-alih menjelaskan aku memilih cuek lalu langsung duduk dibangkuku.

"Personil smash ya..." Ngapain juga sarah menanggapi dengan serius. "Siwon!"

"No,no, siwon itu member boyband korea," jelas kanya. Asli, ini perbincangan tambah ngawur.

"Lah terus anggota boyband smash siapa lagi? Gue nggak ngikutin mereka soalnya. Dulu gue Cuma ngikutin cherrybelle. Gue sampai hafal dancenya."

"Ada Bisma, Diki, terus siapa lagi ya gue lupa. Btw dulu itu gue fansgirlnya smash," jelas Anggita.

Bisa tidak sih mereka bahas sesuatu yang penting setiap kali berkumpul. Misalnya apakah bumi itu bulat atau datar. Kalau kumpul pasti bahas yang unfaedah. Apalagi kalau bahasnya Junedi si kerdus, itu sangat tidak berfaedah.

"Lihat puisi kalian dong."

"Jangan ah sar, malu gue," tolak Anggita.

"Nih baca punya acu. Dijamin pasti kamu suka."

Dahiku mengernyit. "Puisi apaan?"

"Ituloh tugas dari bu Lucinta Luna."

Pagi-pagi aku sudah menepuk jidat dua kali. Aku benar-benar tidak ingat tugas itu. Bu Lucinta Luna pasti marah besar, dia itu tidak kenal ampun. Anyway, Lucinta luna itu hanya julukan karena kata anak-anak perawakannya mirip seperti artis atau apalah itu yang biasa dipanggil Lucinta Luna. Nama aslinya sih Bu kokom.

"Jiah... si Sabina belum ngerjain tugas. Auto dihukum dengan sadis." Anggita memang hobi memojokan teman. Jadi jangan heran kalau suatu saat dia ditimpa azab yang kejam.

"Bantuin aku bikin dong. Aku nggak bisa buat puisi nih."

"Sorry Sab, bukannya gue nggak mau bantu. Tapi..." Aku menatap Sarah dengan bingung. "Puisi gue aja dibikinin orang."

"Gue mau bantu lo, secara gue kan ahli dalam hal ginian," ucap Kanya dengan sombong. "Tapi hari ini gue sibuk. Jam kedua, gue sama KM disuruh kumpul buat bahas sesuatu."

"Mulai jam kedua bakal bebas?" Tanya Anggita yang sudah terlihat girang.

"Kayaknya sih gitu. Denger-denger sih dibebasin sampe istirahat."

"Sab, mumpung banyak waktu lowong, lu manfaatin buat bikin puisi yang indah," kata Sarah.

Ku garuk kepalaku yang memang gatal. Masalahnya bukan Cuma waktu, masalahnya adalah kemampuanku. Seumur hidup aku pernah dua kali membuat puisi. Dan kedua puisi itu tidak mendapat sambutan yang baik. Oh Tuhan kenapa hidup penuh cobaan begini.

Treng... treng... Sawadikap...

"Oh guru piketnya pak Anto."

*****

Saat yang lain tengah berbahagia dengan waktu bebas. Aku justru harus berpusing-pusing ria memikirkan rangkaian bait yang harus kutuangkan dalam buku tugas bahasa indonesia. Aku menggigit pulpenku. Ini adalah pulpen pemberian Junedi waktu itu. Biarlah aku membenci Junedi, tapi tidak dengan pulpen gratisan ini.

𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜 ❝Chemistry❞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang