Tak terasa, benar-benar tak terasa. Entah keajaiban Tuhan macam apa yang bisa membuat kita untuk merasakan semua momen indah berlalu begitu cepat padahal waktu masih sama, masih enam puluh detik, masih enam puluh menit, masih dua puluh empat jam. Tetapi semua itu terlalui seperti hanya dengan mengerlipkan mata.
Cerah, bersih, biru, Mei. Tak ada satupun awan menghalangi pandanganku dari kaca yang bergerak ini, dari kaca yang mengeluarkan suara-suara diesel. Istana berbentuk L dan berwarna cokelat itu baru saja berlalu dari pandanganku dengan duduk di kursi penumpang taksi berwarna hitam mengkilat dengan suaranya yang menggerum kasar. Mungkin sudah bosan karena hampir setiap hari diduduki oleh turis yang sama udiknya denganku. Ya, London. Tempat impianku sejak kecil, yang secara tak sengaja mulai menyukai salah seorang teman di kelas yang baru kala itu. Padahal tahun sebelumnya aku pernah berjanji untuk tidak lagi melirik kaum makhluk menyebalkan pemberi dosa itu. Belum ada tanah bergeser ketika kami mulai belajar bersama di kelas, aku melanggar sumpah yang kubuat untuk diriku sendiri. Aku yang terlanjur suka padanya tak lagi mengingat sumpah itu. Sayangnya….
Saat itu bel istirahat telah didengingkan seperti alarm pemadam kebakaran, hanya sedikit lebih semangat dari biasanya. Pertanda buruk. Tak kusadari, aku berjalan beriringan dengan dirinya. Ia tak melirikku sedikit-pun ketika aku dengan gugup menengok kearahnya, berusaha seperti yang ada di film-film, tapi gagal. Mungkin bukan rezekiku, gumamku.
Ketika di kantin kami berpisah untuk mencari sumber kehidupan setelah menghadapi sumber kematian selama satu setengah jam dengan pelajaran Geometri. Setelah menghabiskan seluruh sumber kehidupan di kantin, aku kembali ke kelas dengan beberapa oleh-oleh khas kantin Bu Murni. Sama sekali tidak ada kejanggalan ataupun pertanda ketika aku membuka pintu kelas dengan mendorong gagangnya membuat ia terjatuh. Kepalanya terbentur pintu yang kubuka dan membuat tumpukan kertasnya terjatuh dan berhamburan di lantai, sontak akupun kaget.
“Ya ampun, maaf banget ya,” Kataku memelas.
“Nggak apa-apa kok,” Balasnya sembari membereskan kertas-kertasnya.
“Ini apa?” Tanyaku sambil membantu merapikan kertas-kertasnya. Tatapan kami bertemu, tak dapat kusangkal aku kembali grogi.
“Sheet music. Aku nanti sore ada les musik.”
Aku melamun, tak tahu harus berkata dan berbuat apa.
“Hei, kamu kenapa?” Tanya-nya sambil menjentikkan jarinya didepan mataku setelah ada kekosongan sejenak diwajahku.
“Oh, nggak apa-apa kok. Oh iya, kita belum kenalan dari kemarin tahu,” sambutku dengan nada tawa.
“Aurelia Aurita,” Katanya dengan menjulurkan tangannya.
“Ge Mundi, tolong panggil Mundi aja. Soalnya belum seganteng Ge Pamungkas,” Sambutku dengan tawa kami berdua. Kami bersalaman.
“Oh ya, sejak kapan kamu jadi spesies ubur-ubur?” Tanyaku dengan nada bercanda.
Ia tersenyum.
***
Bulu mataku mengerjap-ngerjap cepat seiring dengan mataku yang menyipit dengan syahdu, rambutku mengayun-ayun dengan kompaknya ketika angin sejuk dari luar kaca yang kubuka menerpa wajahku, nafasku sedikit memburu karena menikmati angin musim semi dibulan Mei, suara-suara dari luar taksi menambah keramaian suasana yang biasanya hanya kuimpikan di kamar sewaktu kecil. Beberapa kumpulan daun yang jatuh satu per-satu tanpa beban yang terpendam membuat suasana kali ini terlihat berbeda, entahlah aku selalu memimpikannya hingga tak bisa berkata-kata ketika aku berhasil menginjakkan kaki ditanah impiannku.
Bundaran Trafalgar Square baru saja kulalui ketika aku memberhentikan taksi dengan suara remnya yang mendecit dan turun disebelah patung Sir Henry Havelock yang masih dengan gagahnya berdiri memandang dunia. Sudah jelas ia tak tahu apa-apa mengenai keadaan dibalik keindahan kota tempatnya berdiri ini, tapi sudahlah ia cuma patung.
Kakiku baru melangkah lima petak ketika ponsel genggamku berdering. Ada SMS,
“Dear Mr. Mundi, welcome to London! We need your presence two days later in our office for debriefing following the new scholarship recipients, and don’t forget your British accent. It will be used. Take care, thank you.” Ya, aku mendapatkan beasiswa kesini. Tidak mudah memang, tapi yang namanya kekuatan mimpi selalu membuat kita tercengang. Tak ada yang bisa mengalahinya, kekuatan yang selalu kudapatkan ketika orang-orang mencoba menghalauku untuk mendapatkan semua ini, ketika aku harus membuktikan kepada orangtuaku bahwa aku bukan anak cengeng yang selalu ingin dimanja mereka. Dan disinilah aku, merantau jauh-jauh dari Jakarta ke London hanya untuk menemui mimpiku, sebuah skenario yang tak terlupakan. Yang sudah kusiapkan matang-matang sejak bertahun-tahun lamanya. Walaupun begitu tujuanku kesini bukan hanya untuk pendidikan, ada yang jauh lebih penting dari itu. Janji. Janjiku pada seseorang yang sudah lama tak kujumpai atau mungkin sudah mulai kulupa suara dan wajahnya.
Perkenalan tak sengajaku dengannya membuat kami jadi akrab setelahnya, setelah akrab aku suka padanya dan berharap ia merasakan hal yang sama, walaupun mustahil rasanya. Lagipula, aku belum punya keberanian untuk menyinggunya dengan perkataan cinta yang muluk. Aku tidak akan melakukannya. Kurasa. Ketika itu kami sedang mengobrol di kantin sembari ditemani dua gelas plastik milo, didepannya hanyalah gorengan khas kantin, tempe dan bakwan. Ia memulai percakapan,
“Kamu tahu nggak sih kalau langit yang sekarang ini bakal sama sepuluh tahun kedepan?” Itulah kebiasaannya, menghayal tingkat tinggi tanpa jelas apa maksudnya tetapi tetap kunikmati.
“Kamu tahu nggak sih milo-mu tadi kuminum sedikit?”
Aku digebuk.
“Kira-kira kita bisa minum milo di tempat lain nggak ya,”
“Maksudnya?”
“Iya, jadi kita nggak cuma begini-begini aja. Pengin sesuatu yang nggak biasa.” Katanya menatapku.
“Inggris? Sepuluh tahun lagi, dilangit bulan Mei.” Balasku dengan nada menantang. Sejujurnya aku juga tak tahu mengapa berkata begitu. Ia menaikkan alisnya,
“Oke… deal.” Katanya tak kalah meyakinkan sambil menjulurkan kelingkingnya.
Kami mengaitkan kelingking satu sama lain, menyatakan janji.
Ia tersenyum untuk yang kesekian kalinya.
***
Aku duduk di pelataran Trafalgar Square seraya melihat sana-sini mencari pemandangan, didepanku hanyalah sebuah tugu ditengah altar, yang kemudian menghadap kejalan yang dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan saling berlalu-lalang. Burung-burung mematuk-matuki makanannya yang diberikan oleh orang-orang yang membawa bungkusan. Mereka hanya dating dan pergi dengan kesibukannya masing-masing, ada yang berbicara sendiri dengan sesuatu menempel pada telinganya, berjalan menunduk, berjualan, berseni dipinggir altar.
Aku yang duduk ditemani musik dari earphone-ku sembari mengunyah kacang menatap langit sore diatas London. Langit yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu atau mungkin kurang lebih begitu, Aku tak tahu.
“Tumben sore-sore begini adem ya,” Katanya sembari melihat langit yang memantulkan sinar matahari kewajahnya.
“hmm… mungkin suasananya lagi mendukung,” Jawabku sekenanya masih menikmati pantulan sinar itu.
Kami hanya terdiam sembari berjalan menggendong tas keluar sekolah, menikmati angin sore ditengah keramaian murid-murid sekolah yang sedang berbondong-bondong keluar dengan tujuanya masing-masing. Ada yang langsung pulang, nongkrong, nonton film, dan lain sebagainya. Hanya saja, mereka tidak merasakan apa yang kami rasakan. Nada-nada piano mengalir lembut dibenakku.
“Momen kayak gini kalau difilm pasti sorot sinar matahari mantul diantara wajah kita, terus ada suara nada-nada piano. Ah, romantis banget!” Serunya dengan tawa.
“Aku juga lagi mikir tentang suara piano, tiba-tiba ada suara-suara itu dipikiranku. Keren deh,” Timpalku.
“Eh, kita bisa sepikiran gitu ya,”
“Kebetulan,” Jawabku dengan perkataan yang akan kusesali setelah mengucapkannya, kenapa kalimat itu yang harus keluar, batinku dalam hati.
Volvo hijau itu telah menunggu sedari tadi untuk menjemput Aurel. Ia menepuk pundakku dengan keras dan melambai seraya berlari kearah mobilnya, aku balas melambai dan ia pergi. Aku merutuki diriku dengan perkataan tadi, seharusnya aku bisa lebih mengimprovisasi kalimatku lebih baik lagi. Aku kembali membatin dalam hati.
Dua minggu kemudian kami pulang bersama lagi, wajahnya menampilkan senyum yang tak biasanya, riang bercampur dengan sedih.
“I’ve got a present for you!” Katanya dengan tangan dikebelakangkan.
“Ah, kayak anak kecil aja,” Balasku dengan tawa.
“Ih apaan sih, dikasih juga masa nggak mau,” Ucapnya dengan manyun. Namun tetap ia berikan sebungkus kadonya kepadaku. Tetapi aku tak langsung mengambil, karena aku tidak pernah meminta apa-apa padanya. Aku tidak menuntutnya untuk seperti ini dan seperti itu, hanya menjadi dirinya sendiri sudah membuatku senang. Aku menolak hadiahnya dengan sopan. Tetapi ia tidak meresponku seperti apa yang kupikirkan.
“Ambil, itung-itung kenang-kenangan.”Katanya mulai mendingin.
“Simpen yang baik aja, aku jalan sama kamu kayak gini aja udah seneng kok,”
Matanya mulai sembap, pertanda akan turun hujan dari matanya yang indah.
“Kamu… kenapa kok nangis?” Tanyaku sembari menepuk pundaknya berusaha menenangkannya. Tetapi ia hanya menggeleng sambil menutupi wajahnya dan berlari kearah mobilnya, dan beranjak begitu saja meninggalkan asap knalpotnya kearah wajahku. Aku bingung, terdiam. Seketika tak ada yang kupikirkan, kosong. Hanya melihat mobilnya yang kemudian menghilang di pertigaan jalan. Aku yang masih kebingungan melanjutkan perjalanan kerumah dan akan sangat menyesali kejadian tadi.
Esok harinya saat disekolah, aku tak melihatnya. Bangkunya kosong, bahkan dibuku absen namanya sudah dihapus. Aku bertanya pada teman sebangku Aurel,
“Dri, Aurel kemana kok nggak masuk?”
“Kan dia udah pindah ke Malaysia, emang lo nggak dikasih tau,” Kata Indri, teman sebangku Aurel.
Aku terdiam berusaha berpikir apa yang telah terjadi. Aku beranjak dari meja Indri dan menuruti langkah kakiku.
Aku hanya terdiam dikantin sembari ditemani milo dingin yang kali ini hanya satu gelas. Sepi ditengah keramaian, seolah-olah sebagian jiwaku tak berfungsi. Aku kembali teringat kejadian kemarin, matanya yang tadinya riang tiba-tiba menjadi sembap. Aku seharusnya menyadari kalau kemarin itu adalah salam perpisahannya denganku. Aku kembali merutuki diriku sendiri, aku tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Kemanapun ia pergi rasanya Tuhan tak ingin kami bertemu kembali. Akupun sadar, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Aku menyeruput miloku yang kini rasanya hambar, sehambar suasana kali ini. Kini aku hanya berjalan pulang sendiri, tertunduk lesu. Aku mencoba mengirim e-mail padanya, namun tak satupun pernah dibalas olehnya. Percuma meneleponnya atau bahkan mengiriminya SMS, ia sudah diluar jangkauan.
Tak ada yang bisa kulakukan selain hanya membiarkannya pergi sejauh-jauhnya. Selama-lamanya.
***
Aku masih mendengarkan Leaving On A Jetplane-nya Aerosmith, sembari mengunyah kacang. Awan putih sedikit meneduhkan yang ada dibawahnya setelah sekian lamanya kami tersoroti sinar matahari di sore ini. Mataku kembali melihat sana-sini, dan tertambat ketika bus merah terang menyilaukan mata berhenti di bus stop Trafalgar Square. Beberapa kelompok lansia, pekerja kantoran, turis turun dari bus, dan yang terakhir wanita berwajah asia turun dari bus dengan menggendong tas ransel, mantel dan syalnya tertiup angin. Aku terus menatapnya, ia tak tahu jika sedang kuperhatikan. Karena aku baru saja sadar wajahnya cukup familiar, seperti pernah melihatnya tapi lupa dimana. Ah, sudahlah tak begitu penting untuk kupikirkan. Aku kembali menyibukkan diri dengan membaca setumpuk kertas beasiswaku untuk besok, sembari mungkin Aurelia mengingat janji kami waktu itu, jika saja aku menerima kadonya, mungkin tak akan sesulit ini keadaannya. Atau mungkin hanya aku yang membuatnya semakin sulit, batinku.
Hari ini tepat sepuluh tahun sesudah kami berikrar untuk bertemu disini, setelah tiga jam hanya menikmati senja rasanya aku mulai menyadari bahwa ia telah melupakan ikrar kami waktu itu, aku hanya bisa meminta maaf tanpa bisa ia dengar. Apa boleh daya ini berkutik, semakin senja mulai menghilang aku semakin merasa bosan dan akan beranjak ke flat yang sudah dipesankan pengirim beasiswaku. Aku mendengus dan berjalan beberapa langkah sembari menunduk lesu, tetapi tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku.
“MUNDI!...MUNDII!!!” Suaranya begitu parau sekaligus nyaring membuat telingaku agak penging. Ketika aku membalikkan badan seorang perempuan asia terengah-engah berlari kearahku,
“Masih inget nggak?” Tanyanya ketika kami berhadapan.
Aku mengernyitkan kening.
Lama aku hanya diam saja tidak menjawab pertanyaannya, ia tersenyum. Tetapi aku langsung membelalakkan mata dibalik kacamata ini ketika teringat akan senyumannya, senyuman yang sepuluh tahun lalu sempat singgah mengisi hatiku tanpa sempat terucap dan kini kembali. Kami tertawa bersama dibawah langit senja bulan Mei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama Hujan (COMPLETED)
Storie breviHujan kala itu membawamu kembali padaku. Menelusuri setapak demi setapak jalanan yang berliku. Saling bercerita perihal apapun mengenai rindu. Bagaimana mereka dapat merajut kepercayaan yang dulu sempat runtuh. Mewarnai hari-hari yang sempat kelabu...