"Halo, Miss Starlett Green," sapa pria berambut panjang dan berjenggot keperakan. Mulut Star berusaha keras menahan ledakan tawa. Tentu saja penampilan pria di depannya menggelikan. Sang pria mengenakan mantel oranye sebatas lutut dan celana lateks dan sepatu bot dengan warna senada. Wajahnya dipupur bedak beraroma lavendel dan mengenakan gincu ungu. Star melirik lengannya yang tersingkap. Ada satu tato besar bergambar matahari dengan lidah api berwarna jingga saat ia mengulurkan tangannya.
"Kau siapa?" tanya Star tanpa basi-basi. Bahkan ia sama sekali tak menyambut uluran tangan sang pria. Menurutnya tak perlu repot-repot beramah tamah dengan orang yang tak dikenal.
"Perkenalkan, namaku Nar," ujarnya ramah seakan-akan Star bersikap sopan dan manis padanya.
"Nar?" Star menyipitkan matanya. "Teman Theon tidak ada yang bernama Nar."
"Aku bukan teman kakakmu. Aku Anggota Pasukan Oranye." Nar mengaitkan jarinya di depan dada. "Sebagai Bangsa Penderghast yang baik, pasti kau tahu Pasukan Oranye bukan?"
"Tidak. Apa itu?"
Bibir Nar melengkung membentuk sebuah cibiran. Ada kilat penghinaan di matanya. "Oh, kau harusnya lebih memperhatikan pelajaran Profesor Nero, Star. "
Star naik pitam karena langsung disudutkan. Semua teori yang dikeluarkan Profesor Nero hanya sepintas masuk telinga kanan kemudian keluar dari telinga kiri. Karena ia tahu, semuanya bualan, jadi tak pernah ia simak baik-baik. Ia lebih memilih merencanakan hidup jauh-jauh dari Penderghast.
"Hei, kau tidak tahu apa-apa tentangku. Jangan langsung menghakimi, ya!"
"Kami tahu semuanya karena kami selalu mengawasi." Nar menunjuk kedua matanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Tak ada yang bisa disembunyikan Bangsa Penderghast dari kami."
"Apa buktinya?" Star menantang Nar. Jari telunjuk Star mengarah ke lubang hidungnya. Ya, jika ia menghadapi situasi yang membuatnya gelisah, Star langsung mengorek-ngorek lubang hidungnya. Terlepas di dalam hidungnya ada kotoran atau tidak.
Nar mengelus dagunya yang berjenggot dan pura-pura berpikir, yang sebenarnya mengulur waktu agar terlihat dramatis. "Makanan favoritmu? Roti lapis tuna dengan sedikit cengkih di lapisan atasnya. Cinta pertamamu? Oh, siapa yang tidak tergila-gila dengan Kei yang sekarang hanya bisa kau pandangi diam-diam di kelas Biologi dan Kimia? Atau siapa pengkhianat paling terbesar dalam hidupmu?"
Jari telunjuk Star tertancap dalam di lubang hidungnya. Perih hingga matanya berair. Berharap Nar tak perlu menjelaskan siapa yang paling ia benci saat ini.
"Ah, tentu saja sang pengkhianat itu Sando dan Myra. Tidak baik, lho, bersungut-sungut saat sahabatmu berbahagia." Nar mengakhiri kalimatnya dengan nada menggurui.
"Myra tak betul-betul jatuh cinta dengan Sando! Dia hanya memanfaatkan Sando." Star mencabut jarinya kasar dan mengusapnya ke dinding besi. Hatinya kebat-kebit saat bibirnya menyebut nama mereka berdua. Sando yang notabene sehabat terbaiknya dan Myra―mantan sahabat baiknya yang meninggalkannya dan memilih bergabung dengan Skuad Mawar Merah.
"Myra hanya ingin dirinya selamat," lanjut Star getir.
"Selamat? Semuanya ingin selamat Star Manis. Meskipun dengan cara kotor seperti itu. Misalnya berkencan hanya sepanjang Hari Penamaan ke-17 atau kontrak selama satu tahun. Tak ada yang ingin diasingkan dan menjadi Kaum Hermit. Semua ingin menjadi Yang Terpilih. Hanya Yang Terpilih yang berhak tinggal di Penderghast."
Star mundur selangkah. Rahangnya terkatup keras. "Tak ada yang berhak menentukan siapa yang tinggal di Penderghast hanya karena punya pasangan atau tidak. Itu urusan pribadi!"
"Oh, itu bukan urusan pribadi lagi, Star Manis. Jika tak mau diduduki Bangsa Void, Bangsa Penderghast harus memiliki pasangan dan wajib bereproduksi untuk mempertahankan kemurniannya. Tak ada yang namanya melajang seumur hidup atau bersumpah tidak akan menikah. Ya... kecuali jika kau memutuskan seperti kami. Pasukan Oranye yang tak boleh menikah, tak boleh punya anak, dan selalu setia mengabdi pada Jenderal Deus."
"Jenderal Deus diktator pembohong. Aku harap rezimnya membusuk di neraka. Keluarkan aku dari sini!" Dinding besi berkelontang karena beradu dengan kepalan tangan Star.
Nar menempelkan jari telunjuknya kurusnya di bibirnya. "Tarik ucapanmu atau kau akan menyesal, Star." Kemudian tangannya yang seputih susu, mengeluarkan jam berantai emas dari saku mantelnya. "Sudah waktunya pergi. Aku harus menyapa peserta The Cube yang lain."
"T—the Cube?" Star tergagap. Rupanya semuanya ada. Pasukan Oranye. The Cube. Semua kasak-kusuk dan desas desus itu nyata.
Nar mengangguk. "The Cube. Tidakkah kau menerima semua detailnya di surat elektronik?"
Star memicingkan matanya. Mengingat semua isi kotak masuk surelnya.
"The Cube. Program rahasia yang diperuntukkan bagi Bangsa Penderghast yang tak punya pasangan di Hari Penamaan ke-17. Ya, Jenderal Deus berbaik hati memberikan toleransi bagi warga berumur 17 tahun dan belum pernah berkencan. Jika kau melajang di usia 17 tahun padahal sebelumnya pernah berkencan, kau akan langsung dibuang ke Pulau Tartarus dan menjadi Kaum Hermit yang tak boleh menginjakkan kaki lagi di Penderghast," cerocos Nar tak sabar.
Mata abu-abu Star melotot. "Omong kosong."
Nar mendelik dan memilih mengabaikan tuduhan Star. "Oh, ya, omong-omong kami punya hadiah kecil di Hari Penamaaanmu. Semuanya ada di kotak itu." Nar mengedikkan matanya ke kotak menjijikan di sudut ruangan.
"Apa isinya? Aku tak takut!"
"Bergegaslah membukanya. Lampu akan dimatikan lima menit lagi supaya para peserta bisa tidur selelap bayi. Ingat! Besok adalah hari pertamamu di The Cube. Bergembiralah sedikit, Star! Kau pasti mendapatkan pasangan di sini asal wajahmu tak kurang tidur. Oh, ya, ada beberapa potong pakaian dalam lemari, jadi kau tak usah tampil dengan baju yang itu-itu saja."
"Aku tak butuh pasangan. Aku punya Mom, Dad, dan Theon yang selalu menyayangiku tanpa syarat." Star meremas jinsnya.
Bibir Nar menyunggingkan senyum ganjil. "Sepertinya kau harus meralatnya setelah kau melihat kotak itu."
BUM! BUM! BUM! PROK! PROK!
Nar menginjak lantai tiga kali sembari bertepuk tangan riuh. Pintu geser berderit terbuka dan ujung mantelnya Nar bergerak anggun saat ia berteriak, "jangan coba-coba melarikan diri, Star." Pintu besi kemudian tertutup sekejap kedipan mata.
Star tersentak. Ia tergesa melintasi ruangan dan berjongkok di depan kotak. Mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk membukanya. Tenggorokan Star tersekat. Perutnya menggelinjang saat matanya bersirobok dengan enam pasang mata abu-abu bernaungkan sepasang alis merah. Tak ada kebahagiaan dalam keenam mata itu. Hanya ada penderitaan dan kesakitan. Dadanya meletup-letup.
"AAARGGGHH!" Star menjerit dan menggedor pintu membabi buta. Semakin keras gedorannya, semakin legam lebam deretan buku-buku jarinya. Namun, Star sudah benar-benar tak peduli. Yang ia inginkan hanya keluar dan membalaskan dendamnya pada Jenderal Deus. Bersamaan dengan lolongan tangisnya, cahaya lampu meredup kemudian mati. Star kembali bernapas dalam pekatnya ruangan. Kali ini bersimbah peluh dan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cube
RandomStarlett Green tiba-tiba mendapati dirinya terbangun di sebuah kamar sendirian. Di manakah dia? Akankah ia menemukan pelakunya? One of Winner Pagelaran Karya Once Upon Time in STARRAWS