09. Nyebelin

388 62 2
                                    

Siang ini, gue dan ke empat teman gue lagi nongki-nongki cantik di warungnya Bu Nur. Tumben. Biasanya mereka akan langsung pulang kalau bel udah bunyi, tapi hari ini malah mereka yang mutusin untuk tunggu gue di jemput sama Kak Dion.

Iya, hari ini gue pergi dengan Kak Dion untuk nepatin janji setelah dapet izin dari Koko.

Terharu banget sama mereka hari ini. Rayyan sampai mau ngabisin uang untuk beliin kita minum, dan Celine sampai mau untuk gak di jemput dan di antar pulang sama Mirza. Kalau Gitta sih, santai. Karena dia bawa kendaraan sendiri.

"Ray, coba lo chat Kak Dion lagi.. kali aja di bales." cuit Gitta.

Gue dan mereka memang udah nunggu Kak Dion lama. Mungkin sekitar satu jam, gue dan ke empat teman gue nunggu.

"Emang temen Koko lo itu, ada masalah apa lagi?" tanya Mirza yang duduk bersebelahan dengan Celine. Nempel terus, kata Celine, Mirza itu semacam jamur yang merugikan untuk dia. "Kenapa harus ngobrolnya sama lo? Bukannya yang slek itu Koko lo?"

Gitta yang berada di sebelah kiri Celine pun berdecak dan melempar kulit kacang Garuda yang sedang di makannya kepada Mirza.

"Kepo banget, lo!"

"Ck." decak Mirza, "Kenapa sih, lo sensi banget sama gue?"

"Karena lo bawel." balas Gitta.

"Bilang aja, karena gue ganteng." Mirza bergumam, tapi masih bisa di dengar Gitta.

"Cel, lo di kasih ramuan apa sama Mingho sampe mau jadi ceweknya?" tanya Gitta, menghadap Celine.

"Enak aja! Gue itu penuh perjuangan, gak level sama ramuan." Mirza balas melempar Gitta dengan kacang panggang Garuda.

"Heh! Berisik lo berdua!" Celine yang berada di tengah Gitta dan Mirza menggebrak meja pelan.

Buat kedua teman gue itu otomatis diam. Gue dan Rayyan yang duduk berhadapan dengan mereka pun tersenyum geli. Memang, Celine itu anggun, dan cantik. Tapi sekali dia sinis, kita semua akan diam. Otomatis, gak tau si Celine pakai cara apa.

"Kalau mau pulang duluan, gak apa-apa. Gue nunggu sendiri juga udah biasa." ucap gue, karena merasa gak enak sama mereka.

"Nunggu orang udah biasa, giliran di tungguin mal—ADAWWWW."

Gue, Rayyan dan Gitta sontak tertawa karena raut wajah Mirza yang aneh akibat cubitan maut Celine di pinggangnya. Kita semua pun tau, kemana arah ucapan Mirza itu.

"Usil sih lo!" Gitta ikut meledek dan kembali menatap gue, "Santai aja, kita free kok sekarang."

Rayyan yang di sebelah gue pun mengangguk, "Iya, minggu depan, kan, udah penilaian akhir semester. Jadi minggu ini, bimbel gue dan Celine libur."

Celine mengangguk menyetujui paparan Rayyan. Di antara kita berlima, cuma Mirza yang bimbel sendirian. Celine satu tempat bimbel sama Rayyan, sedangkan gue sama Gitta.

Miris, sih. Di mana-mana Mirza jarang kebagian partner.

"Bimbel lo lagi off juga?" tanya Mirza, mengarahkan kepala ke gue dan juga Gitta.

Gue mengangguk, membuat dia meringis kecil.

"Yaahh... berarti cuma gue sekarang yang bolos bimbel?"

"Lo bolos?" tanya gue, Mirza mengangguk. "Ngapain? Pergi sana, bimbel, belajar yang bener."

"Ngusir lo?" Mirza menghempaskan tubuhnya ke atas meja dan memasang wajah melas. "Jahat banget... Udah di tolak Celine, di lempar kulit kacang, sekarang di usir." curhatnya, "Habis ini lo mau ngapain gue, Yan?"

Rayyan menutup botol minum miliknya, "Dosa Ming, berburuk sangka sama orang."

Mirza kembali duduk tegak dan memakan kacang panggangnya lagi.

"Bukan berburuk sangka, Yan. Cuma antisipasi aja,"

Rayyan berdecak mendengar itu, lantas memukul pelan kepala Mirza dengan botol minum pertamanya yang sudah kosong tak tersisa.

"Anjrit!" Mirza mengusap kepalanya dan mendesis, "Apa gue bilang, kan. Kena semua kalau sama kalian mah."

Celine tertawa dan ikut mengusak kepala Mirza dengan cibiran.

"Habis, muka lo cocok banget jadi korban bully-an."

Mirza berdecak, menatap Celine "Tangan lo awas, deh. Sengaja banget, ngusek-ngusek kepala gue, bikin rambut gue gak berbentuk."

Celine tertawa dan malah menggenggam rambut Mirza dan menariknya. Gitta, gue dan Rayyan pun ikut tertawa. Di siksa seperti apapun oleh Celine, Mirza akan selalu ambil posisi di sampingnya.

"Ikhlas deh, kalau lo yang jambak. Sampe rontok pun gak apa-apa." helaan napas Mirza terdengar.

Dan sekali lagi itu buat gue dan yang lain tertawa kecil.

***

Gue turun dari motor Kak Dion dengan canggung, mengucapkan terima kasih dan mengiyakan ketika ia berpamitan untuk segera pulang ke rumah.

Akhirnya, tadi siang Kak Dion jadi jemput gue meskipun gue harus nunggu sedikit lama. Dan setelahnya gue dan Kak Dion pergi ke satu tempat dimana kak Dion membicarakan sesuatu yang gak pernah gue tahu kalau Kak Dion gak kasih tau.

Setelah kepergian Kak Dion, gue pun melangkah masuk dan berniat mencari Koko, meminta penjelasan lebih lanjut. Motor Koko ada di depan, jadi seharusnya dia ada di dalam rumah.

"Jia pulang..." ucap gue saat membuka pintu.

Mama berjalan dari dapur dan menghampiri, "Udah makan, dek?" tanyanya yang gue jawab dengan anggukan kepala. "Ke kamar sana, ganti baju dan bersih-bersih, habis itu istirahat."

Gue mengangguk dan berjalan menuju kamar, menghela napas sedikit lega saat ingat besok adalah hari jumat. Jadi gue bisa berleyeh-leyeh dan membujuk Ayah agar gue bolos sekolah besok. Gak tau kenapa, tapi gue kayak lagi males kemana-mana dan ngapa-ngapain. Jadi lebih baik dirumah dari pada harus ke sekolah dan ketemu pengrusuh gue.

Belum benar-benar masuk ke dalam kamar, gue memunculkan kepala gue dan menatap keberadaan Mama.

"Ma, Koko di kamar?" tanya gue.

"Koko keluar, beli martabak."

Gue mengerutkan alis, "Naik apa? Kok, motornya di depan?"

"Katanya dia mau mesraan sama skateboard."

Gue membalas ucapan Mama dengan menutup pintu kamar, "Dih, jomblo banget dia!"

Gue pun mengikuti ucapan Mama yang menyuruh gue untuk membersihkan diri, tapi gue gak kunjung merebahkan badan. Kepala gue terlalu penuh, dan gue harus bicara dengan Koko untuk meluruskan ini.

Gue memutuskan untuk keluar dari kamar dan mengetuk kamar Koko dengan keras. Karena saat gue sibuk di kamar tadi, gue mendengar suara berisik Koko, jadi tanpa ragu gue langsung ke kamarnya.

Dan benar aja, Koko membuka pintu lebar dengan satu alis terangkat. Gue menarik lengan Koko memasuki kamarnya dan menutup pintu, duduk berdampingan di atas kasur miliknya.

"Ko, kenapa lo gak ngomong sama gue?" gue langsung to the point, karena memang gue penasaran.

"Ngomong apaan?"

Gue mendesah pelan, membenarkan posisi duduk dan menatap Koko. "Kak Dion, dia cerita semua ke gue. Dari awal..." gue menarik napas, "Dia bilang, lebih baik ngejauh dari semuanya, siapa tau lebih cepat untuk sembuhin hatinya, gitu."

Koko menaikan kedua kakinya dan bersandar di kepala ranjang. "Dion ngomong dia suka sama lo?" tanyanya, gue mengangguk pelan, "Terus, yang di maksud untuk sembuhin hati, apa? Karena gue terlalu over protektif sama lo, dia jadi nyerah deketin lo?"

"YA MANA GUE TAU!"

"Dih, ngegas banget." Koko berdecak dan setelah itu keluar dari kamar dengan acuh, membuat gue merengek dan melempar bantal ke arahnya.

"KOKO NYEBELIN!!"

Possessive Bro • JaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang