Sedan tua yang kukendarai melaju membelah jalanan perbukitan, udara dingin dan segar menyambut kulit pipiku. Aku mengalihkan pandangan pada Kanaya yang kini duduk di sampingku. Ya, aku mengajaknya ke kebun kakek di Lembang, sekalian kakek menyuruhku mengirim uang untuk mang Usep.
"Kamu sering kesini?" Tanyanya mengisi suasana yang semula lengang.
Aku mengangguk.
"Nganter kakek. Sebenarnya gak sering sih, cuma beberapa kali.""Enak ya udaranya, seger." Dia melongokkan kepalanya keluar.
"Pemandangannya juga bagus." Wajahnya sumringah membuatku hatiku tenang dan bahagia."Gimana kalau nanti kita bikin rumah disini? Kamu mau?" Tanyaku sambil mencuri-curi pandang antara dirinya dan jalanan. Ini mobil tua, aku cukup kesulitan mengemudikannya.
"Kalau udah nikah?"
Aku mengangguk dan menyengir.
"Boleh, aku suka."
Kami berdua tertawa, sungguh menyenangkan bisa bercakap seperti ini dengannya. Rambutnya tergerai panjang tertiup angin saat tertawa, ya Tuhan cantiknya.
"Ngomong-ngomong kapan ya kita nikah?"
Aku kembali mencuri-curi pandang."Kapan-kapan lah."
Apa maksudnya kapan-kapan? Dahiku berkerut.
Dia tertawa.
"Ya nanti lah... beberapa tahun lagi. Kita lulus SMA, lulus kuliah, kerja, sukses dulu pokoknya.""Lama ya."
Dia memandangku lama, kemudian tersenyum.
"Walaupun lama, jangan kemana-mana ya! Kamu harus sama aku terus."Tangan kiriku menggenggam tangannya, mengecupnya dan menggenggamnya lama sepanjang perjalanan. Seberapa lama pun aku harus menunggu, aku akan tetap setia sampai waktu bahagia itu tiba hingga akhirnya kita hidup berdua selamanya.
"Oh iya, ngomong-ngomong apa sih yang membuat kamu pindah ke Bandung?"
Aku sempat terkejut karena akhirnya dia bertanya tentang itu. Selama ini Kanaya tidak pernah menanyakannya. Kuhela napas mencoba untuk biasa saja.
"Mamaku sudah lama meninggal, Papa di penjara, rumahku disita, dan aku tidak punya apa-apa lagi." Ya, tidak ada yang harus ditutup-tutupi, dia perlu tahu kalau aku adalah anak seorang napi.
"Orang-orang membenciku, mereka memanggilku anak dari tukang tipu. Sebenernya masih ada oma dan tanteku disana. Tapi aku lebih memilih pergi kesini, tinggal sama nenek sama kakek."
Aku melepaskan genggaman dari tangannya. Sekarang terserah jika dia turut membenciku seperti mereka, aku hanya berusaha jujur.Suasana kembali lengang. Kanaya terdiam seolah disibukkan pikirannya, sementara aku fokus menyetir.
"Yang sabar ya." Dia menyentuh pundakku.
"Aku akan terus nemenin kamu," katanya menenangkan yang hanya kubalas dengam senyum getir.Handphoneku berdering, aku merogoh saku jaket untuk mengambilnya. Nama Fina terpampang disana, Kanaya melongokkan kepalanya ingin tahu, kami saling tatap.
"Fina ya?" Tanyanya.Aku mengangguk, tanpa pikir panjang aku kembali menjejalkan benda itu kedalam saku jaket tanpa mengangkatnya.
"Loh kok gak diangkat?"
"Biarin aja, paling dia mau curhat." Sebenarnya hatiku khawatir, Fina kenapa? Semenjak mengantarnya ke rumah Arya Fina tidak pernah memberiku kabar lagi. Aku melihat Kanaya yang sekarang menatapku dengan ekspresi tanya.
"Kan sekarang aku lagi sama kamu. Aku gak akan ngebiarin siapapun mengganggu waktu kita.""Gak apa-apa kok, kamu angkat aja. Aku gak melarang kamu mengobrol dengan Fina, aku cuma gak mau kamu main rahasia-rahasiaan sama Fina di belakang aku."
"Aku sudah janji sama kamu, Nay."
Telepon genggamku berdering lagi dengan panggilan dari orang yang sama.
"Angkat aja, gak apa-apa kok," katanya, aku memandangnya skeptis, barangkali Kanaya tidak benar-benar ingin aku mengangkatnya. Bukankah perempuan selalu begitu? mulut dan hatinya selalu berlainan. Kanaya mengangguk meyakinkan.
Baiklah, kuangkat saja.
"Hallo, Fin?""Ar, lo bisa ke rumah gue sekarang gak?"
Suaranya sangat pelan, aku hampir tidak mendengarnya seandainya tak menambah volume telepon. Aku juga mendengarnya terisak.Jujur aku sangat khawatir. Sekarang apa lagi yang terjadi? Bola mataku bergulir pada Kanaya yang nampak berusaha mencuri-curi percakapan kami.
"Mm... sorry ya, Fin. Gue lagi sibuk, lagi di Lembang sekarang.""Kalo gitu nanti malam aja, lo bisa gak?"
"Gak tahu, Fin. Kayaknya gue juga bakalan pulang malem, lihat nanti aja deh. Sorry ya." Kututup telepon dengan cepat. Hatiku bergemuruh, rasanya benar-benar membingungkan, pikiranku kacau diterpa kekhawatiran.
_
Mang Usep menyambut kami yang baru saja tiba. Raut wajahnya sumringah, ekspresi yang selalu tercetak di usia yang sudah tidak muda lagi itu. Orangnya menyenangkan.
"Tumben gak sama kakek."
"Sengaja... biar Arkan bisa ngajak Kanaya."
"Kanaya? Ini yang namanya Kanaya?" Dia menunjuk gadis di sampingku yang sedari tadi hanya diam.
"Geulis pisan... saha eta teh? Kabogoh?" (Cantik sekali, dia itu siapa? Pacar?)Aku mengangguk.
Kami memasuki rumahnya untuk beristirahat sebentar sebelum nanti aku melihat-lihat kebun.
"Eh mang, kakek nitip ini buat mamang." Aku mengeluarkan sebuah amplop coklat dan memberikannya ke mang Usep, aku hampir saja melupakannya.Dengan senang dia menerimanya.
"Makasih ya. Sampaikan ucapan terima kasih mamang sama pak Ramlan.""Iya."
"Ya sudah kalian ngobrol aja dulu, mamang mau ngasih makan ternak." Ditinggalkannya kami bersama beberapa jenis kue dan teh di atas meja.
"Mang Usep itu orang kepercayaan kakek kamu ya?"
Aku mengangguk sambil membuka toples keripik talas, memangkunya dan menyodorkannya pada Kanaya. Dia memakannya dan katanya enak.
"Hampir sore, gimana kalau kita jalan-jalan ke kebun sekarang? Berhubung kebun sayuran kakek di atas bukit, kita bisa lihat sunset.""Oh ya?" Tanyannya antusias.
"Iya." Walau sebenarnya aku juga belum pernah kesana. Tapi kata kakek memang matahari terbenam itu terlihat dari sana, tak apa lah biar nanti ku ajak mang Usep untuk menunjukkannya.
_
"Nah disini nih kalau mau lihat matahari terbenam." Mang Usep menuruni tiga petak tanah untuk menuju posisi terbaik ketika melihat sunset, aku dan Kanaya dibelakang hanya mengikutinya. Sungguh indah, dari sini aku bisa melihat pemukiman, jalanan, dan mobil-mobil yang nampak lebih kecil. Ternyata tempatnya tidak terlalu jauh dari rumah mang Usep, kuputuskan untuk menyuruh mang Usep pulang saja, tidak usah menunggu kami. Mang Usep menuruti dengan pesan "kade siah tong berbuat macem-macem!" (Awas loh jangan berbuat macam-macam!) Membuat kami tertawa dan menanggapinya dengan gestur oke.
Aku dan Kanaya duduk di pematang. Perlahan bintang besar itu mulai merangkak turun, sinar jingganya mendominasi warna di langit. Burung-burung bersahutan terbang bergerombol untuk berpulang ke sarangnya masing-masing. Menakjubkan.
Aku memandang wajah Kanaya dari samping, wajahnya berseri-seri bermandikan warna oranye. Tiada sepatah pun kami ucapkan, jemari kami bertautan. Pikiranku dipenuhi tentang mimpi-mimpi indah masa depan, semoga kita bisa terus seperti ini, Nay. Aku tak berhenti memandangnya sementara yang dipandang tak menyadari. Aku mencium pipinya, membuatnya menoleh terkejut, kemudian menundukan pandangannya malu-malu. Aku terkekeh dan menyandarkan kepalanya dipundakku. Betapa aku menggilai karya Tuhan yang satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Bidadari
Teen FictionKupikir kau adalah satu-satunya yang nyata diantara perempuan- perempuan yang mendiami dunia khayalku, namun ternyata kau juga salah satu bagian dari mereka. Baiklah, kubiarkan kau hidup bahagia bersama orang lain, tapi bukan berarti aku menyerah. A...