1
MALAM Selasa Kliwon. Di dalam Puri Kesatu di Negeri Atap Langit, Ken Parantili benamkan wajah ke dada Pendekar 212, tangan merangkul pinggang, lalu perempuan muda ini angkat kepalanya. “Kita harus segera masuk ke dalam kamar di sebelah. Suara gamelan mulai terdengar perlahan. Pertanda Penguasa Atap Langit dalam perjalanan ke tempat ini. Aku harus sudah ada di atas tempat tidur ketika Penguasa Atap Langit datang. Apa yang harus kau lakukan nanti akan akan aku beri tahu.” Ken Parantili menarik tangan Wiro. Keduanya melangkah menembus dinding. Di luar Kawasan Atap Langit kembali terdengar suara teriakan. “Penguasa Atap Langit! Ada penyusup masuk ke Kawasan Atap Langit! Kau menghadapi bahaya besar!” Ini adalah teriakan yang kedua kali. Setelah gema teriakan lenyap dan keadaan sunyi sebentar, tiba-tiba menggelegar teriakan balasan. Udara bergetar. Hawa dingin terasa tambah mencucuk. “Makhluk yang berteriak! Aku Penguasa Atap Langit! Aku mengenali suaramu! Bukankah kau Sinuhun Merah Penghisap Arwah?!” “Benar sekali, Penguasa Atap Langit. Terima kasih kau mau menjawab.”
“Kau berani berada di Kawasan Atap Langit bukan pada hari yang yang ditentukan. Itu pelanggaran pertama. Pelanggaran kedua, kau datang membawa kabar seolah penghuni Negeri Atap Langit termasuk diriku adalah makhluk-makhluk tolol yang tidak tahu menjaga keamanan
Negeri! Apa maksudmu berteriak ada penyusup masuk ke Kawasan Atap Langit? Para pengawalku, Tiga Kelelawar Raksasa dan dua ratus Arwah Hitam Putih telah melakukan penyelidikan. Negeri dalam keadaan aman! Bagaimana kau bisa mengatakan ada penyusup! Apakah kau sengaja hendak berbaik budi menjilat untuk mendapatkan sesuatu? Apakah kau hendak memaksa agar aku memberi ilmu hingga kau bisa masuk ke dalam Ruang Segi Tiga
Nyawa?” “Penguasa Atap Langit! Keinginan untuk masuk ke Ruang Segi Tiga Nyawa sudah aku lupakan!” “Karena keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi sudah lenyap, sudah keduluan diambil orang! Dan kau hanya dapat keris palsu butut! Ha... ha... ha!” Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti terhenyak. “Dia tahu apa yang terjadi,” katanya dalam hati. Dia mendongak ke langit lalu menyahuti ucapan orang. “Penguasa Atap Langit! Aku datang bukan untuk menjilat tapi memang hendak berbaik budi! Kau telah banyak menolong diriku dan saudara kembar satu nyawa. Kau juga telah banyak membantu Ksatria Junjungan Dirga Purana. Apa salahnya kalau aku memberi tahu bahwa dirimu saat ini terancam bahaya besar?” Dari dalam Kawasan Atap Langit menggelegar tawa bergelak sang Penguasa. “Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aku peringatkan
dirimu! Lekas menjauh dari kawasan kekuasaanku! Kau baru boleh muncul lagi pada bulan purnama yang akan datang!” “Tapi Penguasa Atap Langit! Aku tidak bicara dusta. Aku
tidak mengarang cerita...” “Sinuhun Merah! Ini peringatan terakhir! Kau ingin aku menyuruh Tiga Kelelawar Raksasa membakar tubuhmu hingga leleh! Atau kau mau dua ratus makhluk Arwah Hitam Putih mengorek jantungmu yang ada di dalam rongga dada sebelah kanan?!” Ancaman Penguasa Atap Langit rupanya tidak tanggung-tanggung. “Penguasa Atap Langit. Aku minta maaf. Aku pergi sekarang! Aku hanya berusaha berbuat kebaikan...” “Aku tidak perlu kebaikan dari makhluk semacammu. Bukankah selama ini kau dan orang-orangmu yang selalu meminta kebaikan padaku?! Kebaikan dan ilmu yang aku berikan kerap kali kau salah gunakan! Bukankah aku sudah mengingatkan sebelumnya?!”
Di puncak Gunung Semeru yang gelap dan dingin, mengambang di atas satu gundukan batu, makhluk alam roh serba merah Sinuhun Merah Penghisap Arwah mendengus. Dalam hati dia menyumpah, “Makhluk congkak! Rohmu memang bisa amblas berkali-kali! Tapi sekali ini kau akan menyesal sampai ke liang neraka! Begitu kau mampus aku akan menguasai Kawasan Atap
Langit!”
Sinuhun Merah Penghisap Arwah meludah sampai tiga kali. Ludahnya berwarna merah. Lalu cepat dia berkelebat pergi.
“Tunggu!” Suara Penguasa Atap Langit menggelegar. Sinuhun Merah Penghisap Arwah tahan gerakan. “Sinuhun Merah, aku memberi perintah padamu! Saat ini juga harap kau segera menemui anak lelaki usia dua belas tahun bernama Dirga Purana. Katakan padanya sebelum tengah hari besok, dia harus sudah mengantarkan anak perempuan bernama Ni Gatri ke
hadapanku! ” Sesaat Sinuhun Merah tertegun mendengar ucapan Penguasa Atap Langit itu. Dalam hati dia membatin. “Aku punya dugaan, gadis cilik itu pasti akan dijadikan gundik baru.” Ucap Sinuhun Merah dalam hati. “Sang Junjungan sedang mabuk cinta dengan anak perempuan ayu bertubuh molek itu. Apa dia mau menyerahkan?”
“Sinuhun Merah! Kau mendengar apa yang aku katakan?!”
“Aku mendengar. Aku akan menemui Ksatria Junjungan Dirga Purana untuk menyampaikan pesanmu.”
“Bukan cuma disampaikan! Tapi juga untuk dilaksanakan!”
“Baik, perintahmu akan aku laksanakan! Aku sendiri yang akan membawa anak perempuan itu ke hadapanmu!”
“Tidak perlu kamu! Aku sudah bosan terlalu sering melihat tampang merahmu! Suruh makhluk lain yang bisa dipercaya! Kau mengerti?!”
“Aku mengerti,” jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah dengan menahan gelegak amarah. Sebelum meninggalkan tempat itu dia semburkan ludah merah dua kali. Kaki kanan digebrak hingga lereng batu yang menebingi bagian atas kawah Gunung Semeru hancur berantakan.
Ketika melayang dekat pinggiran kawah Gunung Semeru makhluk alam roh yang punya nyawa kembar dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa ini walau gelap kelam namun di bawah sana dia masih bisa melihat sosok empat orang mendekam kedinginan di depan perapian yang apinya telah padam. Orang-orang itu adalah Ratu Randang, Kunti Ambiri,
Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek. Seperti diceritakan sebelumnya mereka dilemparkan di tengah jalan oleh belahan batang pohon beringin sewaktu Pendekar 212 Wiro Sableng diterbangkan menuju Negeri Atap Langit. Sinuhun Merah Penghisap Arwah memperhatikan keadaan di puncak gunung. Menatap ke arah kawah yang gelap lalu mengendus dalam-dalam.
“Hemm...” Sinuhun Merah Penghisap Arwah bergumam sambil usap janggut merahnya. “Aku mencium baunya walau sudah jadi jerangkong! Makhluk bernama Lor Pengging Jumena itu masih mendekam di sekitar kawah. Agaknya tengah menjaga keempat orang itu. Sayang aku ada keperluan lebih penting. Kalau tidak apa susahnya mencelakai keempat orang itu! Ratu Randang, kau tunggu pembalasanku! Kau terlalu banyak menipu diriku dan nyawa kembarku! Aku akan betot semua ilmu yang pernah kuberikan padamu, sekalian dengan jantung, hati, limpa dan ginjalmu!” (Diceritakan sebelumnya makhluk bernama Lor Pengging Jumena itu adalah yang juga dikenal dengan panggilan Embah Buyut Kumara Gandamayana).
Sinuhun Merah Penghisap Arwah meludah lalu melesat ke timur. Saat itu memang ada yang merisaukan hatinya. Dia belum mengetahui apakah Empu Semirang Biru yang telah diracunnya berhasil menemukan Sri Maharaja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala di tempat persembunyiannya.
YOU ARE READING
DELAPAN POCONG MENARI - Wiro Sableng ( Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 )
Mystery / ThrillerCeita Silat Wiro Sableng Pendekatr Kapak Maut Naga Geni 212