prologue

523 80 24
                                    

"Halo, Ma? Masih di kantor Papa? Pak Wisnu udah jalan kesini belum?" tanya seorang perempuan yang sedang berdiri di sebuah tempat yang dipenuhi mannequin. Perempuan tersebut menyelipkan handphone-nya diantara bahu dan telinganya. Tangannya sedang sibuk merapikan baju yang terpasang pada mannequin.


"Sayang, kayaknya Pak Wisnu nggak bisa kesana deh. Tadinya Mama, Tante Asha, sama Pak Wisnu mau langsung jemput kamu, sebelum ke rumah Tante Asha buat ambil oleh-oleh dari Bangkok kemarin. Tapi di kantor Papa ada karyawan yang kecelakaan deket kantor. Jadi Pak Wisnu tadi nganter ke rumah sakit." jawab ibu sang perempuan itu.


"Ya ampun! Kok bisa?" kening perempuan itu mengerut khawatir. Sambil terus merapikan mannequin, ia melirik ke samping dan melihat sahabatnya yang sedang membereskan barang-barangnya.


"Mama juga nggak tau deh, Ra. Kayanya tadi dia mau nyebrang ke kantor abis makan siang. Ada motor ngebut terus ketabrak sampe nggak sadarkan diri. Mama masih harus di kantor Papa nunggu kabar dari Pak Wisnu. Tante Asha juga jadinya belum pulang dan stay di sini dulu karena Om Danis ikut ke rumah sakit." jelas ibunya lagi. Perempuan itu memutar otak mendengar penjelasan ibunya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan dan ia harus meninggalkan tempat itu sesegera mungkin karena sahabatnya sudah bersiap untuk pulang.


"Ya udah kalau gitu... aku... pulang naik gojek aja, Ma." putus perempuan itu setelah berpikir. Sahabatnya langsung meliriknya tajam, memberi kesan bahwa ia tidak menyetujui keputusannya.


"Nggak! Nggak boleh! Jangan macem-macem, Aira!" larang ibunya keras. Perempuan bernama Aira itu sebenarnya sudah memprediksi bahwa ibunya tidak akan menyetujui ide tersebut. Namun ia tidak punya solusi lain.


"Terus gimana dong, Ma? Ini butik udah closing. Haura bentar lagi dijemput kakaknya. Nggak apa-apa deh Aira naik gojek." meski takut, ia tidak mempunyai pilihan.


"Kamu minta nebeng sama Kakaknya Haura aja. Minta anterin ke rumah Tante Asha." usul Ibunya.


"Ma, Kakaknya Haura itu naik motor. Mana bisa aku ikut bareng," Aira mulai lelah berdebat dengan ibunya.


"Haduh... gimana dong, Ra... pokoknya kamu nggak boleh naik gojek!" putus ibunya final. Tidak lama kemudian ia mendengar suara ibunya berbicara dengan orang lain di seberang sana. Aira menerka-nerka apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dengan orang tersebut.


"Ra, kamu tunggu di sana setengah jam sampai satu jam lagi, ya. Tante Asha udah suruh Javier jemput kamu." jelas ibunya. Sontak Aira membelalakkan matanya panik.


"Nggak usah, Ma! Bilang ke Tante Asha nggak perlu suruh Javier jemput aku! Aku bisa minta jemput Irena!" tolak Aira cepat dengan nada panik.


"Nggak ada penolakan. Pokoknya kamu dijemput Javier. Mama tunggu di rumah Tante Asha." Aira tahu ibunya tidak ingin dibantah.


"Iya, ya. Kenapa Mama nggak kepikiran. Kenapa juga kamu nggak minta Javier jemput kamu. Punya pacar kok nggak pernah dimanfaatkan. Aneh kamu ini." lanjut Ibunya lagi. Aira juga bisa mendengar tawa wanita yang ia terka sebagai Tante Asha di seberang sana, setelah mendengar pernyataan ibunya. "Udah. Pokoknya kamu tunggu. Javier kayanya udah jalan mau kesana."


Aira hanya bisa menghela nafas. Sementara di sana sahabatnya menatapnya cemas. "Jadinya di jemput Javier?"


Aira mengangguk pasrah, mendudukkan dirinya di sofa. "Hau, lo nggak keberatan kan kalau lo nunggu setengah jam lagi. Bang Wira udah deket?"


"Santai aja lah, Ra. Nanti Bang Wira bisa ikut nunggu dulu di sini. Slow aja. Lo kaya nggak kenal Bang Wira aja." ujar perempuan bernama Haura itu menenangkan. "Sorry banget ya, Ra... abisnya Bang Wira nggak cabut dari rumah. Kalau dia cabut dari rumah udah gue suruh bawa mobil."


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

efflorescenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang