Mimpi 4. Babak Kedua di Pulau Bintan

35 3 0
                                    

Satu bulan lalu...


"Selamat datang di Pulau Bintan..."

Seorang bapak-bapak berusia tiga tahun di atas Bu Qia menyapa ramah, menyambut kedatangan mereka yang baru saja turun dari kapal. Bu Qia dan laki-laki itu berjabat tangan ramah.

"Pripun kabare, Pakde?" tanya Bu Qia.

(Bagaimana kabarnya, Pakde?)

"Alhamdulillah, Qi. Sehat," Dengan senyum sumringah. "Iki El?" Sambil menunjuk gadis di samping Bu Qia yang celingukan memperhatikan keramaian penumpang turun.

(Ini El?)

"Inggih, Pakde," jawab Bu Qia. "El... salim sama Pakde "

El menurut. Menyalami punggung tangan milik Pakde.

Pakde yang dibantu satu orang warga desa, mengangkat barang-barang Bu Qia dan El menuju mobil sewaan untuk menjemput saudara yang akan menjadi guru di kampung tempatnya tinggal.

Setelah perjalanan sudah cukup jauh, kegelapan serta kesepian hadir. Beberapa kali mobil mereka melewati jalanan gelap dengan hutan di kanan kiri. Di waktu yang sudah lewat tengah malam, tidak ada satu pun mobil yang melintas. Baik yang satu jalur atau yang berlawanan arah. Membuat pemikiran buruk singgah di kepala El.

Bagaimana jika di tempat sesepi ini tiba-tiba mobil mogok? Lalu tanpa diduga orang jahat melintas dan mereka semua dibunuh, lalu dibuang di hutan? Ah, sungguh pemikiran buruk itu tidak seharusnya hadir. Dilenyapkan pikiran itu, diganti dengan sebuah tanya, di belahan bumi bagian mana mereka berada sekarang?

"Masih jauh ya, Pakde?" tanya El. Nada bicaranya menggunakan bahasa Indonesia terdengar sangat medok.

"Kalau siang biasanya 1 jam lagi. Tapi karena ini malam, dan bawa mobilnya juga harus hati-hati, sekitar 2 jam lagi El. Pakde ndak berani ngebut kalau ngendarain mobil malam-malam," jelas Pakde.

"Kurang jelas ye Pakde penglihatan di malam hari?" Laki-laki di sebelah Pakde ikut nimbrung.

"Iya. Apalagi kondisi jalannya juga banyak berlubang. Kalau enggak hati-hati, sama aja kayak nyerahin nyawa."

Setelah melewati jembatan kelima, Pakde mengatakan kalau itu jembatan terakhir yang dilintasi. Sesekali menjumpai sebuah perkampungan. Lalu kembali berkendara diantara rimbunnya pepohonan.

Setelah dua jam perjalanan di kanan kiri hutan, kini mobil memasuki kawasan dengan banyak pohon kelapa. Tubuh El menegak. Matanya yang awas sedari tadi semakin dibuat penasaran dengan tempatnya berada sekarang.

Selamat Datang di Kampung Melayu.

Baca El dalam hati ketika mobil melintas di bawah gapura dengan nama itu. Sebuah kios bahan bakar langsung menyapa. Tidak ada seorang pun di depannya. Pintunya tertutup rapat. Hanya ada sebuah lampu dari minyak tanah yang menggantung di teras kios itu.

"Di sini belum ada listrik," kata Pakde.

"Listrik bukan yang utama, Pakde. Yang penting warganya ramah tamah, hehehe...." jawab Bu Qia.

"Kalau tu tak usah ditanye bu guru. Warge kat sini, dari anak kecik sampai yang tue, semuanye ramah tamah," kata laki-laki di sebelah Pakde.

"Pakde yakin kamu nyaman Qi di sini."

"Insya Allah, Pakde."

Setelah masuk sejauh 30 meter, mobil berhenti di sebuah rumah bercat coklat dengan satu ruangan kecil tapi halamannya luas—beberapa motor dan sepeda terparkir rapi di sana. Rumah itu juga berpenerangan dengan lampu minyak. Tiga orang menyalakan senter dan mendekati mobil.

Kartu Merah Untuk MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang