Prolog

938 20 1
                                    

Gadis berambut hitam sebahu itu menatap nanar sungai didepannya. Rambutnya berterbangan kecil terbawa angin. Udara dingin dengan jelas menusuk ke tulang-tulang membawa hawa yang menyeramkan baginya. Sudah cukup baginya semua tanda-tanda itu. Tanda-tanda yang ia sadari sejak awal adalah perceraian.

"Gue benci! Gue benci sama semua yang ada! Bisa gak sih hidup gue di edit jadi lebih simpel gitu?". Gadis itu mengambil kerikil-kerikil di sekitarnya lalu melemparnya jauh kedalam sungai.

Matanya memerah. Ia berusaha keras untuk menahan airmata nya jatuh. Tangannya yang menggenggam kerikil makin mengeras. Sampai akhirnya kerikil itu jatuh begitu saja dari genggamannya. Ia menelungkupkan wajahnya dibalik kedua kakinya. Menangis sebisanya disana. Berharap orang-orang disini dapat menulikan sementara telinga mereka untuk mendengar betapa kerasnya tangisannya.

Semua bodoh! semua menyebalkan! kalau sudah tau seperti ini, mungkin gadis ini akan menerima ajakan seorang pria kecil untuk pergi kebulan 10 tahun lalu di mimpinya.

"pergi! dan jangan ambil bonekaku! itu boneka milikku! pergi sana!". Gadis itu berteriak sambil berlari berusaha mengejar orang yang dengan tanpa dosa mengambil boneka beruangnya begitu saja.

"enggak aku gak ngambil bonekamu"

"terus, itu buktinya apa?"

Pria kecil itu berhenti tiba-tiba tepat diatas bukit membuat gadis kecil yang berlari di belakangnya harus mengerem mendadak akibat ulahnya.

"kamu maunya apasih? sini kembalikan bonekaku!"

pria kecil itu malah menatap langit penuh harap. Senyum kecil kini mengembang di wajahnya. "kamu mau kebulan gak?"

"apa?". Gadis itu kini beralih menatap langit, lebih tepatnya menatap bulan yang telah membulat sempurna. Gadis itu mengernyit, "bulan?"

"iya bulan. Aku juga dulu pernah punya boneka beruang tapi gak sebesar punya kamu. Kecil, segini. Warna coklat juga", katanya sambil menunjuk-nunjuk telapak tangan mungilnya. Gadis yang berdiri disamping hanya terus menatapnya dan lebih memilih memperhatikan dibanding harus meresponya.

"Aku gak ada niat ngambil boneka ini kok. Ini aku kembaliin", pria kecil itu mengambil tangan gadis itu dan memberikan bonekanya. "terus, apa maksud kamu ngambil boneka aku?". Gadis itu kini bertanya yang disambut senyuman dari pria kecil itu.

"Disana. Aku mau ngajak kamu sama boneka kamu pergi ke bulan. Boneka beruangku hilang. Dan aku yakin dia pasti pergi ke bulan. Mumpung kamu juga punya boneka beruang".

"Aku gak mau kebulan. Disana gak ada siapa-siapa", gadis itu menggeleng keras dan menoleh sebentar lalu kembali menatap bulan yang bersinal di langit.

"Dari pada di sini. Aku mau kebulan aja ah orang bumi jahat-jahat"

Gadis kecil itu menatap pria disampingnya sayu. Pelukannya makin erat di boneka beruangnya. Pikirannya berputar menimbang-nimbang kembali tawaran dari pria kecil itu.

"Emangnya di bulan enak?", tanya gadis itu lagi.

"Aku juga gak tau. Aku engak pernah kesana sebelumnya. Tapi, yang pasti disana gak ada orang jahat"

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Pandangnya masih tertuju pada bulan purnama itu. Kumpulan-kumpulan harapan kecil mulai terukir disana. Tapi, kan di bumi gaada yang jahat sama dia. Jadi, buat apa susah-susah ke bulan? Tapi, kenapa juga cowok ini bilang orang bumi jahat-jahat?

Gadis itu kembali mendongakan wajahnya menatap keadaan sekitar. Terbangun dari ingatannya tentang mimpi 10 tahun yang lalu. Matanya yang merah dan wajahnya yang membengkak menandakan seberapa kacaunya ia saat ini.

Ia menoleh ke samping kanannya dan melihat ke arah layar ponsel putihnya. 7 panggilan tak terjawab. Ia kembali menatap indahnya sungai didepannya sebelum ponselnya kembali berdering. Terlihat dengan jelas nama penelpon disana 'Gina'.

"Hhh", gadis itu mengambil ponselnya dan berniat ingin menjawab panggilan dari gadis yang notabennya adalah sahabatnya itu. Belum sempat ia menekan tombol hijau, ia sudah keburu di semprot dengan satu sms yabg tidak lain dan tidak bukan juga dari gadis itu-Gina.

"Lo dimana sih, Len?kok telpon dari gue gak diangkat-angkat?"

"terus kalo gue kasih tau gue ada di sini, emangnya lo mau kesini?. Lo sama aja ama mereka tau gak?!", gadis itu berteriak dan membanting ponselnya ke tanah. Ia memijat pelipisnya frustasi. Cairan-cairan bening itu kembali mengalir ke pipinya walaupun ia bersi keras untuk menahanya.

"Lena, jawab dong... Nyokap lo nyariin tuh. Dia nelpon gue terus nih. Gue harus jawab apa coba?"

Gadis itu kemudian memandangi SMS terbaru dari sahabatnya. Berusaha mencerna apa isi dari pesan itu. "Mama nyariin?", ia tersenyum sinis. Seperti sedang mencaci dirinya sendiri. "Bullshit! Itu semua fake, lo tau?"

"Bener ya. Gaada yang bisa ngertiin gue sekarang. Orang-orang bumi jahat-jahat", ia kembali menatap bulan diatas. "Bulan Purnama, cantik", gadis itu tersenyum dan berharap benar-benar bisa pergi dari bumi ini. Walaupun memang itu tidak mungkin.

"Len, duhhhh nyokap lo nelpon gue lagiiii. Jawab apa gueeeee?"

"Bilang aja gue udah mati, gampang kan? selesai..."

Ia mulai mengambil ponselnya dan membalas seadanya, "Terserah", lalu menekan tombol SEND.

Ia semakin membenci semuanya. Ibunya yang sok menanyai dia dimana dan sekarang Gina yang terus mendesaknya. Dimana ia harus mengadu? Ayah? He is only jerk person. Mungkin memang benar. Dunia ini kejam. Bahkan terlalu kejam bagi dirinya.

Dia melirik ponselnya. Belum ada pesan lagi dari Gina. Pandangannya terfokus pada wallpaper hp nya. Ada Ayahnya, dia, dan Ibunya... tersenyum. Ini memuakkan, asli.

"AAAAA! GUE BENCI SEMUA YANG ADA! GUE BENCI!"

Gadis itu berteriak dengan sisa tenaga yang ia miliki sambil membuang ponselnya ke sungai begitu saja. Dengan begitu, setidaknya beberapa kenangan yang tidak ingin ia ingat dapat musnah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang