6.Tentang Adhena

620 28 0
                                    

Dhena menatap pria berjaket kulit, beransel hitam yang berada diatas motornya memelas. Dia Arka, pria yang sedang sibuk membenarkan sarung tangan hitamnya.

"Gue gak tau kak, cara buat naik." ulang Dhena sekali lagi.

Gadis itu jujur bahwa dia memang bingung menaiki motor besar milik Arka. Bahkan, motor Arka dapat dikatakan lebih besar dari tubuhnya.

"Tinggal naik ajah ribet." gerutu Arka memutar bola matanya malas.

"Susah kak Arka," ulang Dhena memelas sekali lagi.

"Kalau gitu gue naik angkot ajah deh, kak." kesal Dhena.

Dia bersiap meninggalkan Arka dari parkiran itu, sebelum tangannya dicekal Arka. Pria itu berdecak lalu menarik tangan Dhena agar mendekat ke motornya.

"Lo bisa pegangan kepundak gue," titah Arka.

Dhena tersenyum kecil mendengar ucapan Arka. Gadis itu beranjak menaikki boncengan motor Arka sambil memegang pundak pria itu.

"Udah?" tanya Arka kemudian.

"Udah." jawab Dhena sekenanya.

Arka menutup helmnya, sebelum melajukan motornya dengan kecepatan rata rata.

Deru motornya memenuhi jalan raya yang sedikit renggang. Angin sore sedikit membuat Dhena mengigil kedinginan. Belum lagi dia tak tau harus berpegangan kemana.

Arka dapat melihat gelagat Dhena yang sedikit mengigil kedinginan dari kaca spionnya. Belum lagi langit yang sedikit mendung. Pria itu kasihan pada gadis bertubuh mungil diboncengannya.

"LO KEDINGINAN?" teriak Arka kencang, agar Dhena dapat mendengarnya.

"SEDIKIT KAK!" jawab Dhena sambil mencondongkan badannya kearah telinga Arka, agar pria itu dapat mendengarkannya.

Seperkian detik, cowok itu kemudian menarik salah satu tangan Dhena, lalu melingkarkan tangan kecil itu kepinggangnya. Dhena sedikit tersentak, tanpa alasan jantungnya berdegup kencang melihat perlakuan Arka yang terlalu tiba tiba.

"LO BISA MELUK GUE."

"TAPI-"

"GUE PAKE RANSEL, JADI GAK USAH TAKUT!"

Dhena tersenyum lima jari, sembari melingkarkan tangannya dipinggang Arka. Entah mengapa, udara yang tadinya begitu dingin, menyeruak begitu saja. Dhena senang.

Sedikit menimang, Dhena akhirnya menyandarkan kepalanya dibahu Arka, sembari menutup kedua matanya menikmati semilir angin sore itu.
Saat merasakan adanya pergerakkan dari Dhena, pria itu bersulih melihat keca spionnya. Dan dapat dia lihat gadis itu menyandar dibahunya. Senyum kecil ikut terukir diwajah pria itu.

.
.
.
Arka memetik senar gitarnya lembut, membiarkan alunan alunan nada beraturan  keluar dari bunyi senar yang bergesekan. Matanya ikut menutup menikmati sensasi dari melodi yang teralun indah.

Beginilah kehidupan Arka jika pria itu tak memiliki jadwal harian. Kalau tidak bermain basket, mungkin dia akan bergulat dengan gitar atau pianonya, mungkin juga berkumpul dengan teman temannya.

"Den!" seruan lembut dari seorang wanita paruh baya berdaster hijau, membuyarkan konsentrasi Arka. Cowok itu menghentikan petikkannya, lalu menatap wanita paruh baya itu bertanya.

"Iyah bi?" tanya Arka kemudian.

"Nonya besar nelpon bibi, nyuruh den Arka buat angkat telponnya." balas wanita itu.

Dia bi Galih, pembantu rumah tangga dirumah besar Arka yang sudah bekerja disana, dari mulai tuannya masih berada dalam kandungan.

"Iyah bi." Arka mendengus malas sembari mengambil benda pipih miliknya yang berada diatas meja.

Saat lelaki itu membuka kunci dari benda itu, dapat dia lihat 10 panggilan tidak terjawab dari bundanya. Dia sengaja membuat benda pipih itu dalam mode silent.

"Kalau gitu bibi permisi yah, den." pamit bi Galih sopan, seraya beranjak dari hadapan majikannya.

Setelah menjawab hanya dengan deheman, Arka bersulih menekan layar handphonenya, kemudian menempelkan benda itu ditelinga.

"......."

"Iyah bun..."

"........"

"Udah..."

"......."

"Hmmm oke."

Setelah panggilan dari seberang terputus, Arka melongos malas sembari memijit pelipisnya pelan. Lagi lagi moodnya hancur seketika.

Arka beranjak dari duduknya, hendak meninggalkan ruang tamunya. Namun, suara kelekson mobil dari luar rumah mencegat pria itu untuk sekedar berhenti sejenak.

"BI!" Arka berseru nyaring memanggil sang pembantu rumah tangga yang entah kemana.

Satu kali panggilan belum juga didengarkan oleh si empunya nama.

"BI!" untuk panggilan yang kedua kali, bi Galih akhirnya datang sedikit terbirit  menghampiri sang tuan.

"Kalau papa nanya aku dimana, jawab ajah nginap dirumah temen." titah Arka pada sang pembantu, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang tamu.

Bi Galih melongos melihat sikap tuannya, yang hanya dapat memberi titah tanpa mendengar tanggapannya.
.
.
.
Dhena menatap gadis bertubuh semampai dihadapannya sinis. Tak ada yang berubah dari MANTA kakak kelasnya itu.

"Lo jangan pernah buat gue jengkel! Kalau enggak, lo bakal ngersain akibatnya!" sinis gadis bertubuh semampai itu menatap Dhena tajam.

Ingin rasanya Dhena mencakar cakar wajah sok cantik gadis didepannya itu.

Disinilah sekarang Dhena berada, didepan caffe baru mamanya yang baru saja buka. Dhena terkejut bukan main saat mantan kakak kelasnya yang sekarang menjadi pacar mantanya, datang menemui dia hanya untuk membahas hal yang tak penting bagi Dhena.

"Siapa yang buat jengkel? Kak Lufti ajah yang cemburu karna Johan chat gue lagi, lagian gue gak ada niatan buat rebut Johan dari kakak!" papar Dhena tak kalah tajam.

Lagi lagi gadis bernama Lufti itu maju beberapa langkah kearah Dhena, seolah menggertak Dhena agar berjengit takut padanya.

"Lo yang kegatalan liatin dia pas lagi di Supermarket! Dan sekarang lo udah bisa make embel embel 'lo-gue' ternyata!" ketus Lufti tersenyum mengejek. Matanya nyalang menatap Dhena dengan pandangab membunuh.

"Gue peringatin, JANGAN JADI PELAKOR!" celutuk Lufti penuh penekanaan.

Dhena tertawa mengejek tak kalah nyalang menatap Lufti.

"Enak juga ngepelakorin hubungan pelakor  yang ngerebut pacar yang mau ngepelakorin lagi,"

Tangan Lufti mengepal marah, diikuti kilatan tajam dari matanya.

"Gak usah marah kak, lagian gue gak ada niatan buat jadi pelakor, barang bekas tempatnya ditong sampah, kan,?" Dhena lagi lagi tersenyum mengejek, berucap menyinggung Lufti.

"Lo mau bilang kalau gue tong sampah?"

"Gue gak pernah ngucapin itu, kak Lufti ajahkan yang ngerasa? Gue cabut dulu, panas lama lama dekat dekat sama pelakor." sinis Dhena.

Dia beranjak pergi dari hadapan Lufti yang benar benar kesal setengah mati melihat Dhena.

Kakinya dia hentakkan kasar dilantai trotoar jalan lalu mengacak rambutnya frustasi.

Namun, beberapa ide muncul diotak Lufti. Senyuman sinis tiba tiba terbit diwajahnya.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak😍😍😍








Tentang Adhena (Complete√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang