Sudah tiga hari penuh aku dan Daniel menghabiskan hari musim dingin kami di luar. Kami mengelilingi kota Long Beach, Los Angeles, juga mengunjungi universitas tempat Daniel dan Danish menuntut ilmu. Daniel juga membawaku ke tempat wisata yang terbuka saat musim dingin. Ah ... aku bahagia. Setidaknya, jika di luar rumah aku bisa melupakan Bumi yang terus berkeliaran di dekat kami dengan sesekali menganggu kenyamananku. Akhir dari liburanku, rasanya bercampur aduk. Aku tidak yakin apakah aku berhasil melupakan kisahku dan Bumi. Entahlah! Semua ini butuh proses bukan?
Hari ini aku dan Daniel memutuskan untuk tetap di rumah. Karena kami pikir-pikir, kasihan juga Bumi yang datang jauh-jauh tapi kami tidak peduli dengannya. Awalnya aku menolak ide itu, tapi dengan segala bujukan dan rayuan ala Daniel, aku pun mengikutinya. Tidak banyak yang bisa kami lakukan. Hanya menonton televisi dan makan. Hanya itu. Tidak lebih.
Lama-lama seperti ini, aku menjadi bosan. Kulihat Bumi dan Daniel sangatlah akur. Yang kutahu, Daniel tidak suka pada pria bertipe seperti Bumi. Tapi aku salut dengan pria itu. Walaupun tidak suka dengan seseorang, tapi tidak menunjukkan langsung sehingga orang itu tidak tersinggung.
Aku melangkah ke arah kedua pria yang amat berarti di kehidupanku. Yang satu orang yang amat menyayangiku tanpa ada pamrih, ia baik dan selalu membantu. Sedangkan yang satu lagi, ah ... dia pria yang amat kucintai namun sangat tega melukai hatiku. Aku benci Bumi. Namun di benci itu, keselip rasa cinta yang amat besar. Semakin aku membencinya, aku semakin mencintainya.
Kupeluk leher Daniel dari belakang dan mengecup pipinya. Aku ingin bicara dengannya. Hanya berdua saja. Aku membisikkan kata-kata aku ingin mengobrol serius dengannya. Tentang kami berdua. Aku langsung melangkahkan kaki meninggalkannya yang kulirik sedang berpamitan pada Bumi. Kulihat Bumi terus melihat kami yang sedang menaiki tangga rumah. Aku berjalan ke arah perpusatakaan mini yang berada di dekat kamar Danish yang ditempati oleh Daniel. Aku duduk di kursi putar itu, dan Daniel duduk tepat di atas meja besar.
"Ada apa?" tanya Daniel begitu ia duduk di sana.
Aku tersenyum lebar. "Aku ingin kembali bertanya tentang perasaan padamu," jawabku dengan wajah yang berubah serius.
"Perasaan? Maksud kamu?"
"Aku pernah bertanya hal ini padamu. Tapi, aku ingin bertanya lagi," ujarku sebelum mulai bertanya. Daniel tidak menyahut perkataanku. Tapi, jelas sekali di wajahnya ia tampak kebingungan dan penasaran. "Apakah rasa kita masih sama? Aku jengah saat menyadari bahwa tak ada getaran di antara kita," tanyaku dan sedikit menjelaskan maksud petanyaan itu agar ia tak salah paham.
Kulihat Daniel tersenyum indah ke arahku. Ia mengelus rambutku dengan masih terus tersenyum. "Jangan paksakan rasa itu muncul, Bulan. Karena sampai saat ini, aku belum bisa mencintai kamu. Mungkin, kita ditakdirkan bertemu untuk saling menguatkan. Bukan untuk saling jatuh cinta. Sekarang, fokuskan dirimu untuk melupakan dia. Dan hadirlah di acara pernikahannya dengan senyuman yang sangat indah. Katakan padanya melalui batin, bahwa kamu baik-baik saja. Ingatlah, Bulan! Kamu diciptakan untuk menyinarinya dari kejauhan," jelas Daniel panjang lebar dengan tangan masih di atas kepalaku.
"Kamu baik sekali, Daniel. Apakah kamu masih mencintai dia?" tanyaku saat mengingat bahwa kisahku dan Daniel tidak ada bedanya.
Kulihat Daniel tersenyum kecut dan menganggukkan kepalanya. "Aku masih mencintainya. Sampai detik ini, cinta itu masih ada. Namun aku sadar, Tuhan menciptakan kami untuk sekedar kenal dan bersahabat. Tidak lebih dari itu," jawabnya yang tersirat kerinduan dan kemirisan di sana.
"Ajarkan aku setegar dirimu, Daniel," pintaku dengan wajah yang memohon.
"Hanya kamu sendiri yang bisa membuat dirimu tegar. Dirimu yang sekarang jauh lebih tegar dari aku yang dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend of Life and Death #Wattys2019
RomansaHidupku sangat menyedihkan. Aku tak tahu kapan happy ending menghampiriku. Awalnya sih, hidupku baik-baik saja bersama Bumi kekasihku. Ah! Lebih tepatnya cinta pertamaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku di Paris. Aku ke sana karena hendak...