Chapter 12

4.8K 194 0
                                    

Dian mengikuti saran Iyan. Keesokan harinya Iyan dan Kayla berangkat pulang ke kampung halaman Dian. Sebelumnya ia telah terlebih dahulu memberi tahu ibunya agar tidak kaget dengan kedatangan Kayla. Supaya Dian lebih tenang, ibunya bercerita akan membawa Kayla untuk tinggal sementara dengan uwaknya di Kota Hujan. Dian lebih lega. Iyan juga berjanji akan mengantar Kayla dan neneknya hingga sampai tujuan. Dian hanya perlu fokus untuk menyelesaikan masalahnya dengan Arya.

Dian kembali menghubungi pengacaranya, Mas Agus. Namun, Dian kembali harus kecewa. Saat di telepon, Mas Agus yang sudah berjanji akan membantunya malah ingin memutuskan angkat tangan atas masalah Dian.

"Maaf, Mbak Dian. Sepertinya kerja sama kita cukup sampai disini. Saya nggak bisa membantu Mbak lagi," ujarnya saat Dian memaksa bertemu.

"Loh, kok begitu, Mas? Boleh saya tau alasannya?" tanya Dian bingung. Karena terakhir diskusi mereka semua berjalan lancar. Rasanya tidak ada tindakan Dian yang menyalahi prosedur.

"Maaf, ya, Mbak. Sekali lagi saya mohon maaf, tapi saya ada urusan mendesak ke luar kota. Nanti saya limpahin kasus Mbak ke teman yang lain," jelasnya. Suara pria itu terdengar sedang tergesa-gesa.

"Boleh saya ingin bertemu Mas Agus?"

Ia ingin memastikan, kenapa pengacaranya itu tiba-tiba menyatakan ketidak sanggupannya membantu Dian.

Setelah berdiskusi dengan alot, akhirnya Mas Agus bersedia juga ditemui oleh Dian. Wanita itu segera mendatangi Agus di kantornya

Benar saja, terlihat pria itu sedang mengemasi kantornya, rupanya ia tidak bohong soal kepindahannya

"Assalamualaikum, Mas Agus," sapa Dian setelah mengamati lelaki yang berada di ruangan itu.

"Walaikumsalam. Mari Mbak Dian, silahkan masuk," jawabnya ramah. "Maaf kantor saya berantakan."

"Ada apa sebenarnya Mas? k
Kenapa mendadak sekali?"

Dian memperhatikan Agus yang sedang memasukkan barang-barangnya kes sebuah kotak kardus. Agus menghentikan kegiatannya, lalu menatap Dian. Pria itu terlihat menghela napas.

"Sepertinya saya berurusan dengan orang yang salah. Suami Anda ... entah bagaimana dia melakukannya, tapi izin saya di LBH ini dicabut. Pimpinan LBH menyarankan saya untuk pindah, kebetulan ada kantor notaris di daerah itu sedang mencari partner. Jadi, saya lebih baik pindah dulu," jelasnya.

"Astagfirullah," ucap Dian kaget. Tak menyangka ini semua karena membantu dirinya. "Maafkan saya, Mas. Saya nggak menyangka dia akan segila ini."

Dian merasa bersalah. Ia merasa malu karena telah menyeret banyak orang dalam masalahnya. Setelah Kayla, Iyan, dan Tifa, sekarang pengacaranya– Agus– menjadi sasaran berikutnya. Pengacara muda itu harus kena getah akibat membantunya. Arya sudah cukup jauh berbuat. Jika dibiarkan, Dian akan kehilangan orang-orang yang bersedia membantunya.

"Nggak apa-apa, Mbak. Bukan salah Mbak, Mbak juga korban. Saya sudah menyiapkan semuanya, yang jelas Mbak harus kuat dan siap melawan."

Pria berwajah tenang itu tersenyum ke arah Dian. Lalu ia mengambil bundel berkas dari atas meja kerjanya dan menyerahkannya pada wanita di hadapannya.

"Saya sudah merangkumnya di sini Tolong dibaca dulu! Ini sudah saya perbaharui dengan bukti foto yang terakhir Mbak kirim."

Dian menerima file map yang diberikan Agus. Lalu membaca dengan cepat semua laporan beserta bukti untuk keperluan sidang.

"Lusa adalah jadwal mediasi pertama. Saya belun dapat suratnya, apa benar jika saya berhalangan di sidang pertama, maka pemanggilan kedua nanti langsung ketok palu?" tanyanya penasaran.

"Biasanya akan ada pemanggilan saksi dari penggugat dulu, Mbak. Jika memang sesuai laporan ya ketok palu."

Dian mendengarkan penjelasan Agus dengan seksama. Pengetahuannya mengenai hukum memang sangat dangkal. Apalagi masalah perceraian seperti yang dihadapinya saat ini.

"Soal hak asuh anak bagaimana?" tanyanya lagi.

Agus menghentikan aktivitasnya dan duduk di hadapan Dian. "Hmm ... biasanya anak yang belum baligh hak asuh di ibunya. Kecuali si ibu dianggap tidak mampu," jelasnya.

"Itu yang saya maksud, Mas. Saya takut dibuat tidak mampu. Dan sepertinya saya sengaja dibuat tidak dapat hadir di sidang nanti. Sehingga saya khawatir hakim akan menganggap saya tidak menginginkan hak asuh anak."

Dian tertunduk lemas. Selama ini hal itulah yang menjadi kekhawatirannya. Ia takut Arya merekayasa semua ini untuk membuat Dian gagal mendapatkan hak asuh Kayla. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya sesak. Air mata kini mulai menganak sungai di sudut matanya. Ia tidak dapat membayangkan jika Kayla lepas dari tangannya.

Siapa yang akan mengasuh anak itu? Ibu Arya? Wanita tua itu bahkan tak pernah menyayangi cucunya, batinnya.

***

Hari persidangan kedua memang terlewatkan begitu saja. Dian tiba-tiba saja dipanggil oleh pihak dinas kesehatan hari itu. Kasusnya meninggalkan pustu mendapat teguran keras, sehingga ia tidak daoat hadir di sidang pertamanya.

Dian tidak putus asa, Dian kini menunggu giliran di pengadilan agama. Melalui seorang teman yang dikenal Lastri ia akhirnya memperoleh jadwal sidang ke dua. Surat pemanggilan memang tak pernah mampir ke alamatnya. Untunglah selalu ada saja orang baik yang datang menolong.

Kali ini Dian hadir satu jam lebih awal. Arya belum terlihat. Kemungkinan hari ini ia akan datang dengan membawa saksi. Entah siapa yang akan ia bawa untuk meyakinkan hakim atas laporan palsunya. Yang jelas itu pasti akan memberatkan Dian.

Dian juga sudah menghubungi Lastri dan Tifa. Dua sahabatnya itu bersedia menjadi saksi dari pihaknya. Ia memang tak memiliki sanak saudara di kota ini. Kesaksian para teman-temannya lah yang diharapkan bisa menolong.

Hingga kemudian tiba gilirannya. Nama Dian dan Arya dipanggil melalui pengeras suara. Dian sempat melihat Arya yang datang bersama ibu dan seorang wanita berkerudung.
Setelah duduk di ruangan, barulah Dian menyadari, ternyata wanita itu Ratih, wanita yang pernah bekerja dengannya. Jelas saja ia akan membela Arya. Toh, hubungan mereka lebih dari sekedar pembantu dan majikan. Dian menghela napas dengan kasar. Ia sekarang tahu orang macam apa yang akan dihadapinya.

Sidang berlangsung cukup alot. Dua orang saksi yang dihadirkan Arya mengarang cerita sesuai skenario yang telah diciptakannya. Dian tak henti-hentinya berurai air mata. Ia tak masalah kalau mertuanya dan Ratih mengarang cerita tentang perselingkuhannya. Namun, ia tak dapat menahan emosi saat mereka memalsukan cerita tentang lalainya Dian sebagai seorang ibu.

Berkali-kali wanita itu bangkit dari kursinya membantah cerita bohong kedua orang itu. Sumpah di atas kitab suci rupanya tak membuat mereka takut menceritakan kebohongan. Dian terlihat geram. Berkali-kali ia meremas jemarinya hingga buku-buku tangannya memutih.

Untunglah Sang Hakim bersikap cukup netral. Rupanya Arya tak punya kuasa menutup mulut hakim di pengadilan agama. Atau mungkin do'a Dian yang makbul.

Sidang kemudian ditunda hingga dua pekan depan. Dian diminta mendatangkan saksi yang lebih dekat dari pihak keluarga. Mau tak mau Ibu Dian harus datang sebagai saksi. Belum lagi masalah kekerasan fisik yang memang harus disertai bukti forensik dan laporan kepolisian. Dian mulai gentar. Semua laporan itu pernah dimentahkan oleh Arya. Ia ragu apa semua itu masih bisa dibawanya sebagai bukti. Ia harus punya senjata kuat untuk melawan.

Enough! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang