Meleleh dalam Bingkaian Takdir yang Menyapa

9 0 0
                                    

Hidup dalam lingkungan pesantren merupakan impianku sejak aku masih duduk dibangku SD. Keindahan adab dan pesona santri kerap kali mencuri hatiku untuk turut bersama mereka. Bagaimana tidak, sebagian besar pemuda-pemudi di desaku kerap kali merantau di pondok pesantren pilihan mereka, dan ketika liburan menyapa, dengan bahagia dan bangga orang tua mereka menyambut kehadiran pahlawan yang dinanti setelah sekian lama tak jumpa,


Bagi masyarakat dikampung halamanku, orang tua yang berhasil membawa putra putri mereka ke pesantren merupakan keberhasilan dan kemuliaan, ada kebanggaan tersendiri yang berselimut dibalik tirai kebahagiaan. Ada mahkota terindah yang mereka dapatkan tatkala melihat penampilan buah hatinya berubah dari yang berpakaian bercelana bolong menjadi berpeci dan bersarung dengan gagah, sedangkan santri putri yang awalnya memakai pakaian yang modis, serba kebuka tanpa ada cela, memakai baju yang ketat dengan rok mini andalannya kini berubah menjadi bidadari bermata jeli dan anggun mempesona. Serta keindahan tutur kata dan perangai mereka yang kerap kali mencuri masyarakat untuk memanggiilnya dengan sebutan "Santri Alim".


Namun, diriku tak seberuntung mereka yang dengan mudahnya merantau lintas kota bahkan sampai lintas provinsi demi mengembara ilmu ke pesantren terindah pilihan mereka. Aku hanyalah gadis desa terlahir dari keluarga sederhana yang senantiasa berada dalam tempurung ayah dan bunda. Bukan karena diri terlalu manja, namun ekonomi yang tak bersahabat dengan keluarga.


"Bapak, izinkan aku mengembara ilmu di pesantren seperti teman-teman sella lainnya." Rengekku kepada bapak dan ibu


"Bukannya bapak tidak mau melepasmu nduk, tapi biaya untuk mendaftarkanmu ke pesantren itu tidak murah, biaya pendaftaran awalnya mahal, belum lagi biaya keseharianmu di pesantren. Kamu tahu senidiri bapak hanya seorang buruh tani, dan saat ini masih musih tanam masih panjang untuk memanennya." ungkap Bapak, memelas dan iba melihat nasib putrinya


"Sekolah dimana saja itu sama saja nduk asal rajin & telaten, walaupun kamu ndak ke pesntren, kalau kamu mengamalkan apa yang diajarkan guru & kamu rajin, itu sama saja dengan di pesantren, bedanya kalau di pesantren kamu jauh dari bapak & ibu, jauh dari keluarga. Dan saat ini, ekonomi keluarga juga lagi tidak bersahabat. Kamu tahu sendiri kan hutang keluarga menumpuk, dan usaha toko ibu sekarang juga lagi menurun, lihat saja tokonya yamg hampir habis, ibu belum bisa mengisinya. Entahlah gimana nasib usaha toko ibu ini. Jangankan untuk beli perlengkapan yang akan dijual, untuk bisa makan sehari-hari saja sudah alhamdulillah. Apalagi untuk membiayai kamu ke pesantren nduk, uang dari mana lagi, belum hutang keluarga per bulannya saja harus membayar lebih dari 500.000,- sementara pemasukan per bulannya saja ndak ada." Sambung ibu menjelaskan secara detail perkembangan ekonomi keluarga.

***

Prakkkk....!!! Hancur sudah hatiku, serasa mendapat tamparan yang teramat sangat keras hingga membuat hati dan jiwaku perih, bahkan lebih peris dari sayatan pedang yang menghunus. Penjealasan bapak dan ibu dengan nada yang iba melihat kondisiku sekarang benar-benar membuat sanubariku hancur & melenyapkan impianku, menghapus mimpi yang telah lama aku ukir dalam sanubari, memecahkan impian yang telah lama aku rangkai dan bangun sejak masih berusia 10 tahun. Dan penjelasan sengit ini telah melumpuhkan tekadku untuk menjadi Muslimah yang taat dengan mengenakan hijab. Bagaimana mungkin hijab akan mengulurkan dikepala dan dadaku bila sebentar saja aku tak mencicipi dunia pesantren? Bagi masyarakat awam pedesaanku wanita yang pantas mengenakan hijab adalah mereka yang telah merantau ke pesantren meski itu sekedar mencicinya. Sedangkan aku? Aku tak seberuntung mereka, yang dengan mudahnya mengenakan hijab meski alakadarnya. Ternyata mimpi ini tak seindah yang aku bayangkan, tak semudah mengedipkan mata ataupun membalikkan telapak tangan. Namun impian yang telah tertanam dalam sanubari ternyata mengundang angin yang kerap kali menggoncangkannya hingga ia menjadi semakin tumbuh kuat ataukah menjadi rapuh dan tumbang.

Berselimut TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang