Chapter 13

4.8K 202 1
                                    

Sepulang sidang Dian dan Lastri tak lantas bubar. Mereka kemudian menuju kantor pengacara yang ditunjuk Agus sebagai pengganti. Pria itu sudah menjamin kalau pengacaranya kali ini lebih kuat dan yang paling penting bersedia membantu Dian sepenuhnya. Agus yakin kalau Dian akan berada pada orang yang tepat kali ini.

Mobil bermerek honda milik Lastri memasuki sebuah komplek perkantoran yang cukup bonafid. Kantor sang pengacara berada di bagian tengah komplek. Bangunan bercat merah bata itu seakan menegaskan kalau sang pemilik adalah seorang wanita. Sebuah papan nama terpampang cukup mencolok.

"Safitri," baca Dian.

Begitulah nama yang tertera di papan besar itu. Setelah membuat janji dengan sekretaris, mereka pun akhirnya diizinkan masuk. Seorang wanita berpenampilan elegan menyambut mereka dan mempersilahkan duduk. Sofa besar bahan kulit berwarna hitam membuat ruangan itu semakin terkesan mewah.

Wanita berpostur tinggi itu mengenakan safari hitam dengan celana panjang berwarna senada. Membuat penampilannya cukup anggun sekaligus terkesan angkuh. Namun, senyum mengembang di bibirnya berhasil meruntuhkan hipotesa itu. Ia ternyata cukup ramah.

"Silahkan duduk, Mbak Dian dan Mbak Lastri," ujarnya.

"Terima kasih, Bu safitri," jawab Dian sungkan.

"Safitri saja, sepertinya usia kita juga tidak terlalu jauh," gelaknya ramah.

"Baik, Safitri," sahut Dian lagi.

"Mas Agus sudah cerita banyak tentang Kamu, juga suamimu yang katanya punya akses orang nomer satu di kota ini. Jangan takut, Kamu sekarang di tangan yang tepat."

Safitri tersenyum dengan percaya diri. Dian lega, akhirnya ada yang bisa membuatnya kembali yakin kalau ia bisa melawan Arya.

"Terima kasih, Safitri."

"Tenang saja, semua file sudah ditransfer Agus ke email saya. Saya sudah membaca sebagian. Memang hanya butuh beberapa dokumen pendukung saja. Oh, iya, apa ibu Anda sudah dikabari tentang kesediaannya sebagai saksi?" tanya Safitri to the point.

"Em, sudah. Secepatnya Ibu saya akan datang," jawab Dian.

Lastri yang sejak tadi diam menyikut tangan Dian memberi kode.

"Oh iya, maaf Safitri. Ada yang ingin saya tanyakan. Em, itu ... mengenai biayanya."

Dian merasa canggung langsung bertanya to the point. Melihat gaya dan perawakan Safitri ia yakin kalau wanita ini bukan pengacara kelas bawah. Pasti tarif konsultasinya juga cukup mahal. Sejauh ini keuangan Dian memang sedang tidak baik. Gajinya harus ia bagi antara biaya hidup dan kuliahnya yang sudah memasuki tahap akhir. Beasiswa yang ia dapat tentu saja tak sepenuhnya menutupi. Ia harus mulai mengorek tabungannya. Apalagi sejak tidak menerima pasien, pendapatannya berkurang drastis.

"Ha-ha-ha, Kamu ini. Untung kita baru kenal, ya. Kalau tidak pasti sudah kutendang ke luar," ujarnya sambil tertawa.

Dian langsung merasa tidak enak. Kata-kata Safitri terdengar dingin.

"Maaf, saya ...."

"Ah, sudahlah jangan kaku kalau sama aku. Kita upayakan saja lelaki busuk itu segera minggat dari kehidupanmu." Safitri mendekat dan menepuk bahu Dian.

Ada sedikit kengerian yang dirasakan Dian saat menatap mata dingin Safitri. Wanita itu memang tertawa, tapi ada hal dari tatapannya yang membuat Dian bergidik. Namun, segera ia tepis. Ia bersyukur saat seperti ini ada yang mau membantunya agar segera keluar dari masalah dan lepas dari Arya. Dian yakin Safitri adalah orang yang tepat.

***
Esoknya, Dian dan Safitri mendatangi kantor perlindungan wanita dan anak. Dian yang awalnya ragu dengan kesungguhan Safitri kini dibuat yakin oleh wanita itu. Ia sudah menyusun skenario perlindungan untuk Dian. Tak lupa mereka juga mengumpulkan kembali bukti-bukti laporan tindak kekerasan yang pernah dilakukan oleh Arya. Ternyata menurut Safitri bukti-bukti itu cukup kuat. Hanya saja selama ini Dian tidak memiliki pengetahuan untuk mempertahankan masalah ini di kepolisian. Bahkan menurut Safitri, Arya juga bisa dibuat hengkang dari kesatuannya dengan bukti tersebut.

Setelah urusan hari ini kelar, Dian pun mengajak Safitri makan malam. Ia merasa tidak enak karena Safitri enggan membicarakan pembayaran. Mereka pun semakin akrab. Safitri ternyata cukup menyenangkan. Mereka memesan menu ala laut di sebuah restauran yang menghadirkan pemandangan laut di rooftopnya. Dian memang berencana mentraktir pengacaranya itu. Setidaknya ia cukup tahu diri dengan mengajak orang yang menemaninya sejak pagi itu untuk makan.

Sambil menunggu pesanan datang mereka bercerita tentang kehidupan masing-masing. Sesekali terdengar tawa renyah dari kedua wanita itu. Mereka seperti sahabat lama yang bertemu kembali.

"Sebenarnya, aku pernah berada di posisimu," ujar Safitri tiba-tiba.

Dian memang membatasi diri untuk tidak bertanya tentang kehidupan pribadi pengacaranya itu. Ia tak ingin terkesan lancang dan suka mencampuri urusan pribadi orang. Ternyata keakraban mereka akhirnya memancing Safitri menceritakan tentang dirinya. Dian duduk diam mendengarkan.

"Bajingan itu bahkan lebih parah. Sejak menikah, ia tak pernah berlaku baik padaku. Yah, mungkin salahku memaksanya menikah, karena saat itu aku sedang hamil anaknya." Safitri bercerita dengan suara yang terdengar berat.

Dian merasa kalau wanita di hadapannya ini juga memiliki luka yang cukup dalam. Safitri memandang jauh ke arah lautan. Membayangkan kehidupan masa lalunya yang sekelam langit malam.

"Waktu itu aku masih semester empat. Aku sampai diusir orang tuaku ketika mereka tau anaknya membuat malu keluarga. Makanya aku pasrah dengan apa yang dilakukannya kepadaku. Sampai akhirnya ia menendang perutku." Safitri berhenti.

"Astagfirullah," ucap Dian spontan. Ia tak menyangka kalau kehidupan Safitri begitu menyakitkan.

"Janin itu sudah hampir 9 bulan. Setidaknya ia butuh beberapa hari lagi untuk dapat hidup di dunia, tapi lelaki itu membunuhnya."

Safitri yang sebelumnya terlihat tegar dan angkuh, kini terlihat begitu rapuh. Air mata mengalir dari wajahnya yang terdiam menatap kejauhan. Tangannya meremas kuat serbet yang ada di meja.

Dian merangkul pundak Safitri. Namun, wanita itu tentu saja sudah tegar menghadapi itu semu.

"It's okey, Dee. Aku cuma sedang teringat masa itu saja. Tapi, kesedihanku tentu saja telah lenyap,"ujarnya.

Meski sebenarnya Dian masih bisa melihat luka itu, tergambar dari tatapan Safitri. Ia sendiri tak dapat membayangkan dirinya jika harus kehilangan Kayla. Sebagai ibu pasti hal itu seperti pukulan berat. Ternyata apa yang dialami Safitri lebih parah dari pada perlakuan Arya padanya. Setidaknya Arya memberi kesempatan Kayla untuk hidup.

"Aku masih bisa mengingat tangan kecilnya. Aku menyesal tidak bisa menyelamatkannya. Kalau saja sejak awal aku meninggalkan pria itu, pasti bayi kecilku masih hidup," ujarnya lagi.

Dian memeluk tubuh Safitri yang rapuh. Bahunya kemudian bergoncang hebat seiring tangisnya yang lepas. Tangis mereka berakhir saat seorang pelayan datang menghantarkan pesanan mereka. Namun, makanan di piring yang menggugah selera tadi kini menjadi tidak menarik lagi. Kedua wanita itu hanya terdiam mendengarkan deburan suara ombak yang terdengar dari pantai.

***

Penasaran dengan kelanjutannya? Kuy pantengin di KBMapp ❤️❤️

Enough! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang