feast.

192 28 4
                                    

disclaimer: tidak ada keuntungan finansial yang diambil dari pembuatan karya ini, yang dibuat untuk kepentingan hiburan semata.

.

.

.

.

.

they said fairytale is about roses and music and sparkling spring,

he thinks it's true,

because he knows how it is when the city falls in love with a princess, when the roses adore a woman, and how the time gives life for the best moments of it.

.

Junmyeon selalu suka latar belakang yang bagus; ia senang sekali mengamati seberapa cocok dirinya dengan suatu tempat. Tak mesti hanya tentang visual. Apakah ia senang berada di suatu kota? Apakah keramaiannya menarik? Apakah kehidupan sosialnya membuatnya tertarik? Apakah seni suatu kota cocok dengan seleranya?

Selalu tentang dirinya dan suatu tempat.

Namun, semenjak memiliki Juhyun, (bukan cuma lirikan-lirikan malu dari sudut panggung atau sapaan singkat yang terasa begitu berarti), hidup bersamanya, semua itu bukan lagi tentang dirinya. Tapi, bagaimana sebuah tempat cocok atau tidak dengan Juhyun. Atau, apakah suatu kota mencintai Juhyun seperti Juhyun mencintai tempat tersebut? Apakah lingkungannya seindah Juhyun? Apakah keindahannya cocok diabadikan bersama Juhyun?

Di sini, Paris, Kota Mawar-mawar dan Kota Cinta, Junmyeon mempelajarinya.

. . .

Junmyeon langsung mengetahui bahwa ia akan menyukai perjalanan ini di kali pertama mereka menginjakkan kaki di kamar di lantai dua puluh dua tersebut. Penyadaran pertama tentang Juhyun dan dunia di sekelilingnya, dan bergantinya sudut pandang Junmyeon yang sebelumnya hanya tentang kota dan dirinya.

Salah satu hadiah pertama untuk mereka dari hotel tersebut adalah dua tangkai mawar Prancis, merah jambu pucat, yang diletakkan di atas tempat tidur. Juhyun mengambilnya, menghidunya sambil tersenyum, lalu meletakkannya di dalam vas di atas meja kecil di sudut ruangan, berseberangan dengan tempat tidur, tepat di samping bingkai jendela besar.

Warna putih gading baju Juhyun sama seperti warna dinding, dan hanya setingkat lebih cerah daripada warna vas tersebut. Junmyeon secara kebetulan menoleh ke arah sana dan ia menghentikan pekerjaannya lantas melupakannya.

"Stop," ucapnya pelan, "tetap begitu."

Juhyun mengangkat pandangan dengan heran, Junmyeon telah mengarahkan kamera padanya. Secara naluriah dia tersenyum seperti sedang berada di tengah-tengah pemotretan. Junmyeon tampak puas sekali memandang hasil fotonya.

. . .

Junmyeon sengaja tak mematikan musik jazz yang menemani mereka malam itu meski Juhyun telah mengganti penerangan menjadi lampu tidur yang redup, dan menarik selimut hingga ke lehernya. Perempuan itu belum tidur juga, masih memandangi layar ponselnya yang meredup. Tak begitu lama, dia menaruh ponselnya dan mengambil mawar yang dia dapatkan dari ruang makan di lantai dasar—seorang pelayan diam-diam memberinya izin untuk mengambil benda itu dari meja makan.

Lagu itu berganti, menjadi lagu kesukaan Juhyun yang membuatnya bernyanyi sambil menyusuri kelopak beledu mawar pastel itu.

Junmyeon bukannya tak suka lagu ini, ia hanya menyesali lagu favoritnya berakhir di waktu yang tidak tepat. Ia memandangi Juhyun yang tak sadar dirinya ditatap seolah-olah hanya dirinyalah satu-satunya hal yang tersisa untuk Junmyeon di muka bumi ini. Lagu yang sebelumnya benar-benar tepat untuk Juhyun.

cityWhere stories live. Discover now