Arka menghembuskan nafasnya kasar, sembari mendudukkan tubuhnya diatas kursi panjang usang, yang diikuti Dhena bersulih duduk disamping Arka, lalu menyandarkan tubuhnya malas.
"Kita gak bakal kena marah, kerooftop bangunan besar gini?" Dhena angkat bicara sambil menatap Arka sekilas.
"Perusahaannya punya bokap gue," jawab Arka sekenanya.
Pria itu kemudian menengadah menatap gumpalan awan awan putih, yang tampak bergerak pelan mengikuti arah angin berhembus pelan.
"Ohh" gumam Dhena.
Selanjutnya, keheningan mulai menyelimuti kedua sejoli itu.Dhena asyik bergulat dengan pemikirannya, kemudian menatap Arka sesekali. Sedangkan Arka sibuk dengan lamunannya, bertahan diam tak ingin berkutik.
"Kak Arka ada masalah?" Dhena, mulai bersuara, membuyarkan lamunan Arka yang langsung menatap gadis itu dengan alis menyatu.
"Lo ingat permintaan gue tentang jangan kepokan?" balas Arka sembari mengalihkan arah pandangnya dari tatapan Dhena.
"Terserah, deh, tapi awas ajah kalau kak Arka tiba tiba nangis terus minta dipeluk." ceplos Dhena. Arka sedikit terkekeh mendengar kata kata ngelantur Dhena, apalagi saat gadis itu memasang tampang kesal andalannya.
"Gue gak cengeng kayak lo."
"Gue gak cengeng, tau." gerutu Dhena tak terima.
"Kemarin siapa, tuh yang nangis dicaffe cuman karna dibercandain?" sindir Arka menghardik ucapan Dhena yang langsung mati kutu sesaat.
"Itu kan karena kak Arka ngeselin pake bgt," lanjut Dhena masih tetap membela dirinya.
"Iyain ajah supaya cepat,"
"By the way kak Arka mau tau sesuatu gak?"
Dhena mencondongkan tubuhnya kearah wajah Arka, kemudian terdiam sesaat. Tatapan Dhena intens memandang bola mata hitam legam milik Arka. Sementara, orang yang ditatap, tak mampu bergerak barang sebentar pun.
"Abang gue pernah ngucapin ini ke gue 'hati bisa membohongi, ucapan apalagi, gerakan dimungkini, tapi sorot mata mustahil' artinya, hati bisa mengelak membohongi diri sendiri, terutama ucapan, tapi sorot mata seseorang gak bakal bisa ngelak tentang apa yang dia rasa." papar Dhena penuh makna.
Arka menjinjitkan alisnya mendengar penuturan Dhena, lalu beralih mendorong dahi gadis itu pelan, agar segera menjauh darinya.
"Jangan sok bijaksana, gak cocok sama kepribadian bar bar lo." ejek Arka, mampu membuat Dhena lagi lagi kesal.
"Gue cuman ngungkapin apa yang sekarang gue lihat, kok." lanjut Dhena memberengut.
"Emang sekarang lo liat apa?" tanya Arka.
"Liat bukti dari ucapan abang gue."
Arka membeku mendengar kata kata Dhena. Dia hanya dapat terus terdiam tak ada tanda untuk segera buka suara.
"Gue kira abang gue cuman tau ngucapin hal hal konyol yang buat kesal. Ternyata ada juga ucapan dia yang benar." papar Dhena tertawa kecil mengingat sikap tengil minta ampun abangnya.
"Mata kak Arka gak bisa bohongin gue, kalau kak Arka baik baik ajah." ucap Dhena penuh arti.
"Ini bonus ke kak Arka, karna gue sekarang lagi baik." ucap Dhena sambil tersenyum simpul.
Gadis itu bersulih beranjak berdiri dihadapan Arka yang masih setia duduk diatas kursi. Pandangan matanya bertanya tanya apa yang akan dilakukan gadis itu.
Tanpa pikir panjang, Dhena memeluk leher Arka lembut membiarkan pria itu bersandar dibahunya. Dhena tahu bahwa Arka bergerak kaku dalam pelukkannya. Tapi dia tak mempermasalahkan hal itu. Karena dia tahu bahwa saat ini Arka butuh tempat sandaran barang hanya pelukan.
Di sisi lain, sorot mata Arka terpampang jelas bahwa dia berada dalam fase Sed. Pria itu hanya berusaha menyembunyikannya dalam sebuah senyuman fake.
"Bahagia itu hanya bonus, sementara kesedihan adalah konsekuensi." ujar Dhena.
.
.
.
"Emang siapa?" tanya Dhena menatap Gatama yang malah tak berminat untuk menjawab.Tanpa banyak berfikir, perihal siapa yang datang larut malam mencari dirinya, Dhena langsung saja keluar menuju halaman depan rumahnya.
Dan tepat setelahnya, gadis itu terpaku menatap seorang pria jangkun yang selalu datang hanya untuk sekedar menghunus hatinya, kemudian meninggalkan luka, tanpa ada niat mengobati.
Pria itu tersenyum nanar pada Dhena yang terus memandangnya tajam. Ada semburat rasa sedih pada tatapan gadis itu.
"Nana,"
"Jangan panggil gue dengan sebutan itu," pinta Dhena memasang tampang datar andalannya.
"Gue salah ninggalin lo," penuturan pria itu mampu membuat Dhena tersenyum sinis, sembari melipat tangannya didepan dada.
"Setelah sekian lama, baru sekarang lo nyadar kalau lo salah buat ninggalin gue?" Dhena berdecih.
"Na, gue udah putus sama Lufti. Gue tahu kalau dia gak pernah tulus buat jadi pacar gue." papar pria itu terus menatap Dhena memohon.
"Setelah lo ninggalin dia, terus lo bisa balik ke gue? Lo kira gue itu tempat pelarian?" Dhena berdecak memandang remeh lawan bicaranya.
"Kasih gue kesempatan kedua Na," lanjut pria itu bersikukuh untuk terus memohon.
"Johan, lo pria berengsek!" bentak Dhena kasar.
Matanya sedikit berkaca kaca, sementara senyumannya berubah sendu. Dhena tahu, bahkan Tuhanpun tahu, bahwa masih ada rasa yang ditempati pria itu dihatinya. Hanya saja, luka yang pria itu torehkan sama besarnya dengan rasa yang Dhena punya.
"Gue tahu gue pria berengsek! Dan pria berengsek ini lagi memohon sama lo, plis kasih gue kesempatan Na," ujar Johan kembali.
"Lo Jahat! Lo jahat ninggalin gue," air mata menetes jatuh kepipi Dhena, memukuli dada Johan dengan gerakan membabi buta. Alih alih menghentikan perbuatan gadis itu, Johan malah membiarkan Dhena berbuat sesukanya.
"Lo bisa terus mukul gue, tapi tolong kasih gue kesempatan Na." jelas Johan.
Dhena menghentikan pukulannya pada dada pria itu. Dia berdecak remeh sambil menatap Johan penuh amarah.
"Gak terhitung berapa kali gue ngasih kesempatan buat lo, dan hasilnya selalu sama, lo terus sia siain kesempatan yang ada, dan kemudian norehin luka sebelum luka yang ada terobati." papar Dhena menampik rasa percaya diri Johan.
Pria itu menatap Dhena nanar sambil menghembuskan nafasnya pasrah.
"Gue tau lo punya rasa yang masih sama kayak yang gue rasain Na," lirih Johan berucap parau.
"Gue gak minta lo maafin gue Na,"
"Tapi..."
"Jangan pernah nangis hanya karna pria brengsek kayak gue,"
Tangan Johan terangkat, menyentuh lembut pipi Dhena yang basah dengan air matanya. Menghapus jejak jejak air mata itu dengan punggung tangannya.
"Gue selalu sayang sama lo Na, bahkan saat dimana gue punya Lufti." jelas Johan kembali.
Tangannya masih terus menyentuh lembut pipi gadis itu. Berusaha menyalurkan kasih sayang hanya dengan sentuhan.
Sedangkan Dhena, dia tak tahu harus berbuat apa. Disatu sisi, hatinya menghangat mendengar tiap ucapan Johan yang selalu berhasil menjadi racun baginya. Tapi, disisi lain dia takut rasa sakit yang sama akan pria itu torehkan untuk kesekian kalinya.
"Jadi jangan nangisi gue, tahan air mata lo buat seseorang yang lebih pantas untuk air mata lo Na." lanjut pria itu.
"Gue rela Na, kalau gue cuman jadi pelarian lo dilain hari. Tapi jangan pernah lupain gue yang selalu ada disisi lo."
.
.
.
Oke, mungkin reader baru gak bakal tau siapa itu Johan. Tapi kalau kalian mau tau, baca ajah cerita aku yang judulnya Er-Len.
Daru sana, kalian pasti bakal tau siapa itu Johan.Oke jangan lupa kasih vote kalau kalian suka, dan kasih komen kalau ada typo bertebaran.
Terimakasih😍
Sarangheyoooo
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Adhena (Complete√)
Ficção Adolescente"Seharusnya gue tau Na, kalau lo itu hanya sebatas rubik, sulit buat ditebak. Kadang, semampu apapun kita buat susunan rubik itu jadi, tak berarti apapun. Malah rubik itu bisa makin berantakan." ucap pria itu dengan nada yang terdengar sedikit lirih...