Empatpuluh Delapan

1.7K 101 3
                                    

3 hari kemudian....

Desiva dan Ilma melangkah pelan menuju taman kota untuk menunggu angkutan kota. Desiva sesekali duduk dan meneguk es lemon dalam botol tupperware yang dibawanya. Ilma melihatnya geli dan mendekat padanya.

"Cape ya Va?" tanyanya.

"Dikit lah." sahutnya dengan cengiran.

"Siang panas gini enaknya tuh diem di rumah, bobo cantik atau minum yang dingin kali ya? Sama kayak hati kalo lagi panas, enaknya di dinginin bukannya tambah dipanasin." celoteh Ilma lalu duduk disamping Desiva.

"Gak ada yang nyuruh kamu buat duduk disini." kata Desiva.

"Tapi sayangnya aku gak liat ada tulisan 'dilarang duduk disini'." balas Ilma menunjukan seringaiannya.

Desiva hanya terkekeh sesaat sembari meneguk kembali es lemon nya. Ilma yang berada disebelahnya mengamati Desiva sambil sesekali tersenyum.

"Kamu beda banget kalo gak pake Niqab, Va. Walau dulu pas pertama kali aku kenal kamu gak pake niqab." terang Ilma, "Dulu, saat aku pertama kenal sama kamu, kamu itu orangnya beda dari yang lain. Periang, penuh percaya diri, dan paling anti sama yang namanya laki-laki kecuali Abangmu. Ibarat barang antik yang sangat berharga dan sekarang aku bisa menjaga dan memilikinya." lanjutnya.

"Makasih atas pujiannya loh, Ma." Desiva tersenyum kemudian memeluk Ilma dari samping.

"Itu bukan pujian, tapi fakta tentang karakter kamu."

Desiva tak bergeming begitupun dengan Ilma. Mereka terdiam sejenak, sebelum Ilma kembali membuka suara.

"Kamu yakin mau jengukin mereka?" tanyanya.

"Ya yakinlah Ma, emang kenapa sih?" Desiva bertanya balik.

"Aku takut kalau mereka gak nerima kamu disana, atau nanti kalau mereka ngebuat rencana buat nyelakain kamu lagi gimana?"

"Kamu gak boleh ngomong gitu dong, Ma. Aku yakin mereka gak akan sampe ngelakuin itu lagi, bukannya pasti mereka juga jera dengan hukuman yang sudah mereka dera sekarang ini?" ujar Desiva yang hanya diangguki oleh Ilma, meski Desiva masih dapat melihat kekhawatiran diwajah Ilma.

"Yaudah yuk lanjutin lagi jalannya, takut keburu makin panas." Desiva menggandeng tangan Ilma untuk melanjutkan perjalanan menuju Lapas dimana Nayla dan Anisa ditahan.

***

"Maafin aku," ucap Anisa lirih saat Desiva berada dihadapannya.

Posisi mereka kini berhadapan. Anisa duduk sembari terus menundukan kepalanya karena merasa bersalah sekaligus malu. Sedangkan Desiva menatap lekat kearahnya, tapi dengan perasaan tenang tanpa ada rasa dendam.

"Aku mau berterimakasih karena di balik kejadian kemarin, banyak hal yang aku bisa pelajari." ucap Desiva menampilkan senyumnya.

Desiva berdiri untuk pergi meninggalkan Anisa dan menghampiri Ilma yang menunggu diluar. Ia tidak mau ikut masuk menemui Anisa dan Nayla karena alasan masih belum bisa menerima perlakuan mereka terhadap Desiva.

"Desiva!" panggil Anisa.

Desiva berhenti tanpa menoleh kearah Anisa.

"Sekali lagi maafin aku," lanjut gadis itu dengan tulus.

"Aku sudah maafin kamu Nis. Aku harap kamu bisa lebih memperbaiki diri lagi, supaya kejadian kemarin yang terjadi sama aku gak terulang. Kamu lebih punya segalanya daripada aku, hidup kamu jauh lebih bahagia dibanding aku. Jika kamu lebih bersyukur dan menikmati semua itu, Inshaa Allah kamu bisa bahagia tanpa harus merusak kebahagiaan oranglain." Desiva menoleh dan menatap manik mata Anisa penuh kelembutan.

DesivaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang