十八

9.6K 1.8K 70
                                    

Sebenarnya mau bagian sebelah manapun Jakarta itu udaranya sama. Mau di Barat, di timur, di utara, di pusat, dan di selatan. Polusi, terik matahari, dan angin yang berembus malas-malasan terasa sama bagi indera perasaku. Yang berbeda adalah perasaan yang timbul kala menghirup udara di halaman depan rumah Mama Fenita dan Bapak Syarif Hidayatullah. Mungkin ini gejolak para pekerja asal luar kota saat bisa kembali pulang. Menyebut rumah sebagai surga nggak lagi sekedar gombalan. 

"Indahnya," gumamku saat melewati gerbang rumah yang tingginya satu setengah meter. Aku melayangkan tatapan ke halaman yang sangat biasa, kebalikan sekali taman asri rumah Keita. Nggak ada cuitan burung yang samar menghiasi ketenangan rumah kami, kecuali bunyi ketukan khas abang baso yang melintas. Pintu tunggal rumah kami yang setinggi dua meter berwarna cokelat tua sederhana tertutup rapat. Aku menatap lama pintu itu dan teringat betapa banyak bekas garukan cakar di pintu rumah Keita, lalu bertanya-tanya apa baginda raja pakyu dan temannya yang suka tidur sudah makan atau belum.

"Ah, Kilau Odelia, lo ngapain mikirin mereka," desisku pada diri sendiri. Baru seminggu bekerja di sana dan aku sudah terlalu terbiasa pada keberadaan Shuu dan Taro.

"Odie."

Aku mengangkat kepala dan mendapati Mama Fenita berdiri di ambang pintu yang terbuka. Airmataku yang jarang-jarang centil mendadak mendidih. Begini banget rasanya pulang kampung? Nggak kuat!

Aku berlari menerjang Mama dan memeluknya erat. Mama membalas pelukan lembut sambil sesekali menepuk punggungku.

"Masuk, yuk. Nggak enak kalo ditonton orang lain," bisik Mama yang lantas aku balas anggukan. Kami berjalan masuk masih dalam posisi aku melingkarkan lengan pada badan Mama, kadung malu ketahuan airmataku menderas di sepanjang pipi.

"Kenapa nggak pulang minggu lalu?" Tanya Mama saat kami sudah duduk di kursi ruang tamu.

"Kerjaan baru, Ma. Odie ngerasa butuh waktu untuk membiasakan diri. Mama udah kangen Odie, ya?" Aku sengaja melempar lelucon di akhir agar wajah sendu Mama lenyap.

"Mama khawatir," Mama mengulurkan tisu yang aku sambut untuk membersihkan airmata, "kamu nggak biasa jauh dari rumah. Sekalipun kamu pernah ke luar kota beberapa hari, itu pasti bersama Tiar dan Ina..."

Nama itu lagi. Aku membuang pandangan ke arah lain. Dampaknya masih sama buruk dengan minggu lalu. Ternyata move on nggak semudah perbuatan membalas dendam yang sudah aku lakukan. Sakit hatiku masih tersisa tiap telinga berjumpa nama-nama orang yang menghancurkan hatiku.

"Odie," panggil Mama lebih lembut. Mama duduk sekursi denganku dan agak menyerong. Mama menarik tanganku naik ke pangkuannya dan menautkan tangan kami. Lama sekali kami nggak melakukan hal ini. Mungkin terakhir kali saat aku di SD atau awal masuk SMP, tepatnya sebelum aku memasuki dunia remaja dan kemilau dunia penuh cinta cabe-cabean.

"Mama mikir kamu nggak perlu terus-terusan bertengkar dengan Ina. Hubungan kamu dan Irfan sudah lama selesai walau Mama akui pasti berat menerima alasan Irfan berselingkuh dengan Ina. Tapi Mama nggak bisa membiarkan kamu dirundung sakit hati terus. Maaf, Mama nggak pernah coba mencari tahu alasan kamu dan Irfan putus..."

Aku menggeleng dan mengeratkan peganganku pada tangan Mama, membuat Mama berhenti bicara. "Mama nggak salah. Odie yang nggak mau membesarkan masalah putus itu, tapi..." Tentu saja airmataku jatuh dan sesenggukan menerjang pernapasan. Ini kali pertama aku bercerita berbarengan gumpalan emosi yang aku endap, bahkan saat aku bercerita pada Bahtiar dulu, aku sama sekali nggak sebegini emosional.

Mama mengangguk, lalu membelai puncak kepalaku lembut. Seolah hanya dengan gerakan itu aku sudah paham apa yang dipikirkan Mama. Mungkin inilah ikatan ibu dan anak. Aku paham Mama nggak memaksaku bercerita. Karena kata-kata sudah bukan lagi menjadi kuasaku saat ini, melainkan tangisan.

"Odie yang kuat harus istirahat sebelum kerja lagi di Senin. Mau coba cari bebek penyet? Enaknya sambal cabe ijo atau cabe merah?" Mama Fenita yang masih langsing di usia empat puluh berusaha mengganti topik. Aku harus mendukung usaha Mama yang jarang-jarang dia lakukan.

"Sambel cabe ijo yang di dekat Hermina Podomoro enak, Ma. Mau ke sana?" Aku bertanya setelah mengelap airmata dan ingus menggunakan lengan baju bagian pergelangan. Mama mengendik jijik, tapi sekali ini dia nggak menegur dan hanya melotot memperingati.

"Kalo gitu kita sekalian cari es kelapa di sana. Mama kayaknya malas masak nanti malam, kita sekalian beli lauk untuk makan malam ya?"

Ajakan Mama aku terima suka cita. Pergi ke luar rumah adalah solusi lain mencegah sakit kepala. Bohong kalau aku bilang nggak terpengaruh perbuatanku malam itu terhadap Irfan, bagaimanapun Ina masih satu keluarga dan aku mengasihani Bibi Tya. Aku sudah dengar ratusan kali betapa susahnya Bibi Tya mendapati Ina setelah sepuluh tahun pernikahan. Padahal Mama mendapatkan aku hanya dalam kurun waktu beberapa bulan pasca ijab. Sungguh disayangkan cinta kasih tulus Bibi Tya dan Om Chaerul disalahgunakan Ina ke perbuatan terlarang. Bodohnya dia melakukan perbuatan itu bersama si bejad Irfan. Migrainku mendadak kambuh dan aku butuh istirahat sejenak di kamar sambil membereskan barang bawaanku. Aku pamit pada Mama setelah menyerahkan oleh-oleh dari Pasar Minggu. Sebenarnya aku hanya beli buah-buahan. Habis rasanya aneh pulang kampung tapi nggak bawa apapun. Mungkin itu pula yang dirasakan para penduduk yang mudik tiap lebaran.

Aku masuk kamar bertepatan ponselku mengeluarkan suara notifikasi. Segera aku buka pesan WhatsApp yang datang.

Keita:
Shuu rindu kamu

Aku menyemburkan tawa membaca pesan konyol Keita. Kata rindu terasa menjijikan, apalagi diasosiasikan dengan si kucing pakyu.

Me:
Gimana kamu tau Shuu rindu aku?

Keita:
He stays in your room and signs his authority

Me:
Pee?

Keita:
Well, yups 😅 I'll clean it up. Enjoy your day off, don't mind about it

Me:
Gimana bisa?? Dia pee-pee dimana?

Keita:
Saya mohon maaf 😖 saya bersihkan

Me:
Shuu pipis DIMANA?!

Keita:
(Keita is typing...)

Lima menit dan nggak muncul-muncul pesan baru Keita. Aku yang nggak sabar lantas mengirim pesan duluan.

Me:
Clean it up perfectly!

Aku tertawa bangga atas sikap menyebalkan yang pertama kali aku lakukan ke bos. Sebelum ini, bekerja di perusahaan membuatku memiliki batasan atasan dan bawahan yang tegas. Bersama Keita, rasanya seolah bercakap dengan teman dan itu menyenangkan.

###

11/07/2019

Siapa yg kangen Baginda Raja Shuu Pakyu? Ngacung 👑

Buwahahaha...
Shuu itu emang keren banget, bisa lebih berkuasa dari Keita dan menjambret hati para pembaca. Perlukah aku bikin part special untuk Baginda Raja ter-pakyu se-Kemang? 😝😂

GabbleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang