Bagian 4: Luka yang Tak Kunjung Sembuh

1 0 0
                                    

Malam ini kembali menjadi malam yang sangat sepi, setelah kepergianmu dan penyerahanku atas perasaanku sendiri, aku kembali menjadi Luna yang seperti biasa, tidak ada warna sama sekali dihari-harinya.

Sudah seminggu aku mencoba mengubur dalam-dalam perasaanku, bertekad kuat untuk tidak memikirkanmu, bahkan saat aku sedang sendiri pun, aku coba untuk menepis pikiranku agar tidak memikirkan kamu.

Tapi malam ini berbeda, ini adalah malam yang akan membuat kamu sangat bahagia esok hari dan membuatku hatiku patah berkali-kali. Besok hari pertunanganmu dengan Rena, sengaja aku tidak mengaktifkan ponselku, karena terlalu sakit melihat kabar bahagiamu itu. Beberapa kali aku coba untuk tidak memikirkanmu hari ini, ternyata itu sulit, sangat sulit dan tidak bisa aku bayangkan betapa rapuhnya diriku saat ini.

Malam ini sangat mengerti akan hatiku yang hancur, hingga akhirnya dia membantuku untuk menutupi air mataku dengan air hujan, Yah, hujan di saat-saat seperti ini. Tiba-tiba saja aku tersadar bahwa aku tidak boleh menyiksa diriku sendiri, cukup perasaanku saja yang sakit kali ini, tubuhku jangan. Lalu setelah aku sadar aku sedang berjalan di mana dan aku memutuskan untuk berlari menuju kedai kopi yang rasanya sudah lama tidak aku kunjungi.

Saat ini jarum jam di tanganku menunjukkan pukul 01.00 malam dan kedai kopi yang sedang aku pandangi ini masih buka tetapi sepertinya tidak ada orang di dalam sana. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam dengan berhati-hati aku membuka pintu dalam keadaan setengah basah kuyup ini. Dan saat itu juga aku bertemu dengan seseorang yang memiliki mata tajam, rambut gondrong yang sekarang menatapku kaget melihatku basah seperti ini dan di waktu tengah malam seperti ini.

“Luna?”Tanyanya Kaget.

“Hehe”Kataku hanya bisa tertawa singkat melihat kelucuan yang aku buat sendiri akibat kegalauanku malam ini.

“Jam segini ngapain keluar?”

“Cari angin”

“Yang ada kamu masuk angin”Katanya lalu menarik tanganku menuju tempat duduk khusus kita berdua.

Yah, meja yang telah dia sahkan hanya untuk aku dengan dia.

“Pakai ini”Katanya memberikan aku handuk untuk menghangatkan badanku dari baju yang basah.

“Enggak terlalu basah kok, cuman kena hujan bentaran aja tadi”Kataku yang sedang mengelap-ngelap bajuku dengan handuk pemberian Lintang.

“Sebentar saya ambilkan air hangat”Katanya lalu pergi menuju dapur kedai itu.

Setelah beberapa menit dia kembali bersama air hangat yang saat ini ada di genggamannya.

“Udah mau tutup?”Tanyaku yang menyadari bahwa di kedai ini hanya tinggal kita berdua saja.

“Belum”Katanya mengambil remote AC lalu mengecilkan suhunya agar aku tidak kedinginan.

“Terus kenapa sepi?”Tanyaku lagi.

“Karena hujan mungkin”

“Teman-temanmu kemana?”

“Sudah pulang duluan”

Lalu aku terdiam saat dia mulai menatapku lekat-lekat dengan matanya.

“Lagi patah hati?”Tanyanya tiba-tiba.

“Hah?”Kataku kaget.

Dia selalu mengerti perasaanku saat ini tanpa harus aku jelaskan.

“Cerita saja, saya akan dengarkan semua ceritamu”Katanya lembut.

Aku hanya terdiam memandangi gelas yang berisikan air hangat pemberian Lintang tadi.

“Perasaan itu tidak selamanya harus berujung bahagia Lun”Katanya dan kata-kata itu berhasil membuat air mataku jatuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang