IV

1.8K 172 6
                                    

*ANDREW's Point of View*

Tadi pagi teleponku digetarkan oleh sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal, ketika ku angkat yang terdengar suara bass seorang pria. Katanya aku disuruh membawa Mocko -Kucingnya Dylan- kembali ke rumah Dylan. Aku mengiyakan. Beberapa detik setelah telepon diakhiri suara meongan dari Mocko terdengar. Dia berjalan-jalan sambil mengusap-ngusapkan kepala dan badannya di kakiku, memberi sinyal bahwa dia sudah lapar. Ku lihat jam dinding di kamarku ternyata sudah jam 10.40, jam makannya sudah lewat 20 menit pantas saja dia kelaparan.

Sekarang aku dan Mocko sudah ada di dalam mobil, dia baru saja selesai dibawa ke salon. Entah apa yang dilakukan orang-orang yang ada di petshop itu kepada Mocko, tapi kini Mocko terlihat lebih ganteng. Bulunya sudah mekar semekar-mekarnya dan dia bahkan lebih wangi dibanding aku. Our next stop : Rumah Dylan.

Beberapa tahun lalu ketika pertama kali aku berkunjung ke rumahnya, tidak ada pengawasan seketat sekarang. Kini aku harus menunjukan ktp ku dulu dan menyampaikan apa tujuanku datang ke rumahnya, bahkan aku harus menunjukkan bukti telepon tadi pagi. Aku bisa memahaminya, dulu hubungan keluarga mereka baik-baik saja walaupun Dylan memang jarang bertemu dengan orang tuanya namun semuanya berubah sejak kejadian malam itu. Mungkin itu adalah malam yang mengubah hidup banyak orang. Akibat kejadian itu aku menyadari bahwa aku menyukai Dylan, dan Rezka menyadari bahwa dia memang tidak bisa memilih di antara Rico dan Dylan. Entah bagaimana hubungan antara Rezka dan Dylan sekarang, ku harap membaik karena mereka pulang bersama kemarin.

Ku gendong Mocko ketika kami memasuki rumahnya. Entah kucing ini ingat atau tidak bahwa dia pernah tinggal di rumah besar ini, yang jelas pupil matanya membesar dan dia melihat ke sekeliling memperhatikan banyaknya ikan yang berenang di akuarium.

"Wah, ada mas Andrew ... sama Mocko ya, pasti non Dylan nih yang minta." hampir saja Mocko melompat dari gendonganku ketika kami berdua dikagetkan oleh kedatangan mbok di balik dapur.

"Eh, iya mbok. Ini Dylan yang minta kucingnya balik. Dylannya mana ya, mbok?"

"Ini, non Dylan nya di sini. Kan udah jam makan siang, ayo mas gabung mbok sama non Dylan." Mbok melambaikan tangannya padaku, memanggilku ke arah dapur. Dapat makan siang gratis lagi, pikirku.

"Mocko!" seru Dylan yang sudah siap di meja makan ketika aku memasuki dapur. Mocko yang dalam pelukanku hanya menoleh ke Dylan, namun dia tidak melompat untuk mendatangi Dylan mungkin karena dia lupa. Aku mendatangi Dylan lalu memindahtangankan Mocko, Mocko terlihat sedikit takut karena dia berusaha mencakar bajuku namun tidak berhasil karena kukunya telah dipotong.

Dylan memeluk Mocko dengan erat, dia juga mengelus dan menciuminya terlihat bahwa Dylan sangat menyayangi kucingnya. Mocko yang tadinya terlihat panik mendapat perlakuan seperti itu diam saja, malah sekarang terlihat begitu menikmati. "Silakan duduk mas." tegur mbok kepadaku.

Aku mengangguk lalu duduk di samping Dylan. Di meja berkapasitas enam orang ini pasti akan terasa sunyi jika harus makan sendiri, kasihan Dylan. Mbok masih sibuk mengisi meja makan dengan berbagai masakannya, sedangkan Dylan sibuk dengan Mocko. "Ini semua mbok yang masak sendiri?" tanyaku berusaha menghapus kesunyian.

"Lah ya iya, mas. Siapa lagi, kan emang tugas negara punya mbok. Hehehe." jawabnya, aku ikut tertawa.

Usai semua masakan berada di atas meja, mbok mendekati Dylan yang masih saja sibuk menciumi Mocko. "Non, Mockonya ditaruh dulu ya. Non Dylan makan dulu, kan tadi udah dibilangin sama kakak toh?" katanya sambil mengulurkan tangan seperti ingin mengambil alih Mocko.

"Tapi mbok makan juga?" kata Dylan sambil menatap makanan di depannya.

"Lah iya, kita makan barengan ya. Kalau gak makan nanti mbok kurus lagi."

Dylan tersenyum lalu memberikan Mocko kepada mbok. Mantap juga si mbok bisa bujuk Dylan segitu gampangnya.

"Andrew, aku lebih suka parfummu yang ini." kata Dylan secara tiba-tiba kepadaku. Aku bingung, karena aku tidak mengenakan parfum sama sekali karena dia telah menegur bau parfumku dua kali.

"Sebenarnya aku gak pake parfum, Lan." kataku yang membuat mbok mencuci tangan sambil terkekeh.

Setelah itu mbok bergabung dengan kami di meja makan. Kemarin Kak Sadrie yang mengambilkan makanan untuk Dylan, kali ini tugas itu dialihkan ke mbok. Mungkin kalau hanya ada aku dan Dylan di sini, dia akan mengambil makanannya sendiri. Dan ku perhatikan, makanan yang dimakan Dylan tidak terbuat dari banyak bahan baku. Mungkin Dylan tidak suka makanan lain.

"Kak Sadrie mana?" tanya ku.

"Kuliah." jawab Dylan lalu memasukan adonan kentang ke mulutnya.

"Kalau Dylan di Amerika terus Kak Sadrie kuliah, mbok sendirian dong ngurus rumah?"

Mbok yang ada di depanku mengangguk. "Iya, tapi ya gak sendirian terus mas. Kan ada Mang Ujang, Bi Iswa, dan lain-lain. Banyak sebenarnya orang di sini, cuma kan punya kerjanya masing-masing." jelas mbok, aku hanya mengangguk lalu melanjutkan makanku.

Ketika kami selesai makan, mbok memberiku isyarat untuk tidak meninggalkan tempat sebelum Dylan berdiri. Entah mengapa tapi aku memang tidak ingin meninggalkan tempat karena perutku begah, penuh dengan makanan.

Dylan berdiri dari duduknya lalu menggendong Mocko yang sedari tadi tidur di lantai, aku mengikuti berjalan ke bagian belakang rumah. Sebuah kolam renang bernuansa Hawaii terpampang jelas di mataku, ini pertama kalinya aku berada di bagian rumah ini. Karena jujur saja, aku tidak pernah melakukan perjalanan keliling mengeksplorasi rumah ini karena takut tersesat dan bertemu dengan penjaga yang bermuka sangar.

Dylan lebih memilih untuk duduk di sebuah ayunan kayu ketimbang sebuah gazebo yang telihat sangat nyaman untuk ditiduri, aku dengan terpaksa ikut duduk di ayunan itu. Beberapa menit yang terdengar hanya suara air mancur, percikan air dari pergerakan ikan di kolam dan dengkuran Mocko. Aku pun mulai merasa mengantuk hingga Dylan buka suara, "Drew, kamu sudah jadi sahabatku selama tahunan." begitu katanya. Aku tertegun, tapi aku hanya mengangguk.

"Aku butuh bantuanmu." sambungnya lagi. Aku tidak membalas perkataannya, karena aku menyimak serta penasaran akan bantuan apa yang diinginkannya dariku.

"Tolong cari semua informasi yang bisa kamu dapat tentang Gamar." aku menoleh ke arahnya, sedikit terkejut dengan permintaannya itu.

"Kamu bisa kan?" kali ini dia yang menoleh ke arahku dan membuatku meneguk air ludahku sendiri. Ini bukan perkara yang mudah mendapatkan informasi tentang seseorang yang tahunan pergi tanpa kabar.

"Tapi aku gak punya informasi apapun tentang dia saat ini." jelasku.

"Itu tugasmu. Kamu sudah menjadi informanku sejak kita SMP, ingat?" seketika pikiran ku melayang ketika Dylan memintaku untuk mencari informasi mengenai orang yang sama pada saat kita SMP. Pada saat itu, aku berhasil mendapatkannya dengan mudah karena aku memiliki banyak teman yang bisa menjadi sumber terpercayaku.

"Aku coba."

"Aku percaya kepadamu. Jangan kecewakan aku." katanya.

"Iya, aku coba."

Mendengar itu, Dylan mengayun-ngayunkan kakinya di udara entah apa artinya. Ekspresinya tidak bisa terbaca, dia biasa saja.

"Lan, kenapa sih kamu gak ngehubungin aku sendiri? Kaget juga pagi-pagi ditelepon nomor baru terus suaranya sangar gitu." protes ku.

"Nomorku tidak bisa dipakai di Indonesia."

"Yang lama mana? Kan dulu waktu SMP ada."

"Mungkin mbok tau."

Aku diam. Entah datang dari mana ide ini, tapi di SMA aku paling jago masalah IT. Aku bisa saja melacak semua kontak yang pernah ada sangkut pautnya dengan kartu SIM milik Dylan, dengan begitu aku bisa mendapatkan kontak Gamar. Lagi pula, Dylan pasti dulu pernah memiliki kontak Gamar kan?

"Boleh aku minta kartu lama mu?" tanyaku penuh semangat, Dylan hanya mengangguk.

"Aku mau cari mbok dulu, sekalian izin pulang. Aku infoin kamu secepatnya tentang ini." Kataku sambil sedikit berlari memasuki dapur.

"Terima kasih." kata Dylan.

Aku hanya tersenyum, tanpa menoleh.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang