Kenapa harus ada banyak pilihan, ketika lo cuma bisa milih satu? Kenapa gak dari awal lo cukup ketemu satu hal saja yang bakal dijadiin pilihan, tanpa dikenalin sama hal-hal yang lain? Jadi diakhirpun gak ada yang harus dipilih, karena lo cuma kenal sama satu hal. Kayak soal pilihan ganda, hidup juga penuh pilihan. Bahkan sampai sekarang gue masih mempertanyakan eksistensi adanya soal pilihan ganda di ujian, padahal soal esai lebih menarik daripada harus memilih.
Bentar, kalau lo mikir yang gue omongin dari tadi masalah hati, lo salah. Satu aja gue belum ada, ngapain harus milih? Tapi gak seratus persen salah juga sih, karena masalah hati juga gak luput dari pilihan. Hati lo nyaman sama siapa, gitu misalnya. Sayangnya itu bukan gue, tapi Rayhan.
Jadi, apa yang pengen gue sampaikan di sini itu sebenernya klise. Pilihan yang disodorkan ke gue, juga pasti banyak yang sudah mengalaminya. Mungkin Bintang, Rayhan ataupun Faisal juga udah pernah diposisi gue, secara mereka anak organisasi. Ya, ketika lo harus memilih antara hobi dan masa depan lo. Gue harus memilih yang bisa buat gue hidup atau yang bisa ngehidupin gue nantinya. Gue disodorkan dua pilihan itu, dan harus memilih salah satu.
"Mulai sekarang, kamu cukup fokus ke kuliah kamu aja, Win. Dancemu itu tinggalin aja." Ucapan Papa di hari kepulangan gue minggu lalu.
"Gak bisa, Pa. Arwino masih harus di sana. Bentar lagi ada kompetisi." Tolak gue. Dance adalah kehidupan seorang Arwino Bramasta. Dan ngebayangin harus ninggaling dance, gue gak bisa.
"Pentingan mana kompetisi sama kuliahmu, Win? Udah cukup Papa kasih ijin kamu masuk klub dance itu sampai saat ini. Dan sekarang kamu harus fokus ke kuliahmu." Seperti yang gue kenal sejak kecil, ucapan Papa sama aja perintah. Gak ada kelonggaran sama sekali.
"Arwino gak bisa, Pa. Papa tau kan, gimana dance buat Arwino? Ijinin Arwino tetep di klub dance, Arwino juga bakal tetep fokus di kuliah." Gue sebisa mungkin masih membujuk Papa.
"Papa cuma gak mau kamu kewalahan, Win. Papa udah janji sama Mama bakal mastiin kamu baik-baik saja. Jadi Papa mohon, kamu lakuin permintaan Papa ya?" Gak ada respon yang keluar dari mulut gue, bahkan sampai Papa meninggalkan ruang keluarga. Sampai gue kembali ke kampuspun, gue belum mengiyakan permintaan Papa. Karena gue gak bisa. Ketika Papa harus menepati janjinya sama Mama, gue yang harus mengingkari janji gue pada seseorang.
"Bang, studiokan?" Sebuah pertanyaan menyambut gue ketika baru saja sampai di indekos.
"Duluan aja, gue mau mandi dulu." Jawab gue sambil meletakkan sepatu di rak depan kamar gue.
"Ya udah, nanti gue bilangin kalau lo baru kelar kelas." Ucapnya seringan biasanya. Gue hanya mengangguk. Dia kemudian melangkah meninggalkan indekos dengan tubuh yang tak mau berhenti bergerak dan gumaman lagu yang gak gue denger jelas lagu apa itu. Gue masih mengamatinya, bahkan sampai dia hilang di balik pagar.
Dia, yang mungkin harus gue ingkari janji dengannya. Edgar Harisson, seseorang yang udah gue anggep adik sendiri. Kita kenal karena kecintaan kita sama dunia musik dan gerakan. Gue bertemu dengan dia sejak masa putih-biru dengan dia sebagai adik kelas gue. Dan janji kita, bakal terus berada di panggung yang sama, harus gue ingkari. Gue gak bisa membayangkan bagaimana kita berdua selanjutnya. Gue benci harus memilih.
Berbeda dengan yang gue katakan pada Edgar tadi, bukannya segera mandi justru gue memilih duduk di meja belajar yang penuh dengan buku referensi kuliah. Gue gak menyangkal kalau permintaan Papa gak bisa gue lupakan begitu saja, ditambah ucapan Bu Rani Pembimbing Akademik gue seperti sebuah konspirasi.
"Ibu tidak pernah menyangsikan kemampuan kamu. Kamu salah satu mahasiswa bimbingan Ibu yang bisa Ibu andalkan. Tapi Arwino, Ibu harap kamu mengurangi kegiatan kamu. Kamu sekarang harus sudah bisa milih apa yang memang perlu kamu prioritaskan. Ibu harap, kamu bisa ambil keputusan yang terbaik." Ucap Bu Rani setelah kelas tadi.
Hal yang paling gue benci dari memilih ketika sama artinya gue menyakiti apa yang bukan jadi pilihan gue. "Itu cuma masalah prioritas, bukan berarti lo meninggalkan sepenuhnya." Mungkin akan ada yang bilang seperti itu. Gue gak menyalahkan, tapi juga gak membenarkan. Karena menurut gue, prioritas itu hanya istilah halusnya saja padahal sebenaranya sama saja, pilihan. Gak ada yang menjamin ketika lo sudah memutuskan suatu hal untuk lo prioritaskan, hal lain yang bukan priorotas lo bakal tetep nunggu lo atau bahkan akan tetap sama ketika lo kembali nanti. Dan gue gak mau itu terjadi.
Namun, gue juga dibesarkan Papa bukan jadi orang egois. Gue selalu diingatkan, gue gak bisa melakukan semua hal yang gue mau, tapi gue harus melakukan semua hal yang gue perlu. Memang yang gue mau, gue tetep bisa gabung di klub dance seperti biasanya, tapi gue juga mengamini kalau sekarang yang gue perlukan itu fokus kuliah. Dan mengikuti apa yang Papa minta, mungkin akan menjadi pilihan gue saat ini.
"Kebetulan sekali kamu ke sini, Win." Sambutan Pak Reza pelatih klub dance, ketika gue memutuskan menemuinya sebelum latihan.
"Ada apa, Pak?"
"Bapak sudah memutuskan kalau kamu yang bakal jadi leader di kompetisi nanti." Mungkin kalau kondisi gue masih seperti biasanya, gue akan senang. Tapi sekarang, gue bingung mau merespon seperti apa.
"Terima kasih sebelumnya, Pak. Tapi maaf, saya tidak bisa. Mungkin Edgar lebih pantas untuk menjadi leader." Jawab gue akhirnya. Ekspresi Pak Reza bingung, tentu saja. Sejak kapan Arwino menolak permintaan menjadi leader.
"Kenapa harus Edgar? Bapak yakin kamu bisa membawa tim kita menang seperti biasanya. Dan Edgar mungkin jadi leader kompetisi selanjutnya." Ujar Pak Reza.
"Tapi saya tetap tidak bisa, Pak, karena saya sudah memutuskan untuk istirahat dan tidak tahu akan gabung latihan lagi kapan. Saya perlu lebih fokus ke kuliah untuk menyiapkan tugas akhir saya. Dan untuk kompetisi nanti, saya minta maaf tidak bisa berpartisipasi." Ucap gue akhirnya. Tidak langsung ada respon dari Pak Reza. Helaan nafasnya yang terdengar.
"Bapak tidak bisa melakukan apa-apa kalau itu sudah jadi keputusanmu." Ujar Pak Reza sekit membuat gue lega.
"Terima kasih, Pak. Dan maaf sekali lagi." Gue rasa gue perlu mengucapkan dua kalimat itu puluhan kali untuk klub dance ini.
"Terserah kamu mau tetep ke studio buat latihan sama temen-temenmu, atau mau langsung pulang. Semoga kita bisa bertemu lagi, Arwino." Ucap Pak Reza sambil memberi tepukan singkat di pundak gue sebelum gue meninggalkan ruangannya. Daripada melangkah ke pintu keluar, ternyata langkah gue justru menuju studio tempat gue berlatih biasanya. Dan mungkin ini akan menjadi yang terakhir gue berada di studio.
Seperti yang gue takutkan sebelumnya, keputusan gue menyakiti seseorang. Setelah mengetahui gue berhenti dari klub dance, Edgar mempertanyakan janji yang pernah gue buat dengannya dulu. Dia marah dan mungkin juga kecewa. Tapi gue juga tak bisa berbuat banyak. Daripada semakin membuat kegaduhan tengah malam, gue memutuskan meninggalkan indekos. Mungkin pergi ke tempatnya Bintang ataupun Rayhan, yang penting keadaan bisa mendingin.
Ada hal yang berhasil gue pahami kenapa hidup penuh dengan pilihan, agar gue, lo, ataupun kita gak jadi orang serakah. Mungkin kenapa soal pilihan ganda tetap ada sampai sekarang, karena bisa mengukur kemampuan lo seberapa paham sama materi jadi lo bisa milih pilihan yang tepat tanpa terkecoh pilihan lain. Itu juga yang berlaku sama pilihan di kehidupan, pilihan yang disodorkan ke lo buat tahu seberapa lo kenal sama diri lo sendiri. Biar lo bisa bedain apa yang memang lo perlukan, dan gak terkecoh sama kemauan lo yang gak ada habisnya. Itu yang gue dapatkan setelah gue mencaci maki keadaan yang membuat gue harus memilih. Dan resiko di setiap pilihan itu pasti ada.
---
Akhir-akhir ini selalu dihadapkan dengan kata prioritas. Apa yang harus didulukan? Atau apa yang harus ditahan dulu? Seperti sudah menjadi alarm setiap harinya.Seperti kata Arwino, pilihan yang ada tetep harus ada yang dipilih salah satunya, ya meskipun akan menyakiti pilihan yang lain.
Terima kasih untuk teman-teman yang mau menyempatkan membaca cerita ini. Komentar, saran, kritik bahkan pendapat apapun itu sangat dipersilakan.
Na.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Mereka
FanfictionTentang hidup, persahabatan dan bagaimana mereka bertahan. Semua akan mereka ceritakan. Note: Cerita ini tidak berkesinambungan perbagiannya, karena tiap bagian tokohnya berbeda jadi ceritanya juga berbeda. Tapi tokohnya yang berkesinambungan. Pokok...