[INDIRA]
Setelah meletakkan soto di kulkas dan meninggalkan sticky notes di sana sini, gue masuk ke kamar Brian sambil membawa satu jar berisi air. Mas Agus membawakan tissue basah untuk membersihkan wajahnya dari noda.... I don't even wanna talk about it.
"Look at that big baby sleeping soundly like nothing happened." gue berkata kepada Mas Agus sambil menatap Brian yang sedang terlelap (teler) di kasurnya.
"Feel like parents yet?" tanyanya meletakkan kedua tangannya di pundak gue dari arah belakang.
"Yea, parents with two super big babies." gue mencoba tersenyum meskipun lelah dengan pertengkaran mereka yang selalu didasari kesalahpahaman dan kurangnya berterus terang.
"Sering-sering dinasehatin lah, Dir. Jangan beneran lepas tangan."
"Mas, berantemnya mereka itu penyebabnya itu lagi, itu lagi. Kalo ada masalah nggak cepet dibahas. Dianggurin dulu sampe busuk. Kalo udah kecium baunya baru meledak. Lagian apa coba gunanya disembunyiin dulu? Nggak suka ya langsung bilang. Ada yang ganjel ya cepet diskusi. Susah banget tinggal gitu doang." omel gue.
"Besok tempelin aja di jidatnya masing-masing tuh petuah lu."
"Tau ah. Capek ngurus bayi gede."
"Nggak papa nanti kalo anak kita gede, kita udah pinter kebanyakan belajar ngurus Brian sama Indrika." katanya.
"Anak kita banget nih sekarang bahasanya?" gue menggodanya.
"Emang lu mau punya anak sama siapa?" tanyanya membalikkan badan gue agar menghadap ke arahnya.
"Nggak tau. Ya yang jodoh sama saya." jawab gue asal.
"Lu nyebelin banget belajar dari mana sih?"
"Dari yang ngajak saya ngomong sekarang." gue menyindirnya dan dia hanya tertawa.
Mas Agus mematikan lampu kamar Brian dan kami keluar ke ruang tengah. Rumah ini masih sama persis seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Foto-foto masa kecil Kampret yang menggantung di dinding hingga fotonya wisuda bersama orang tuanya, dan bersama geng binatang jalang masih terpampang lengkap.
"Ini lu ya?" Mas Agus mengamatinya sambil menunjuk gue yang berpose bodoh mengenakan toga. Yang lain bergaya tidak kalah bodohnya.
"Iya. Masih sama ya?"
"Persis. Beda gaya rambut doang. Kok lu di sebelah Phillip banget sih?" tanyanya, membuat gue menyadari bahwa tangan gue menarik tali topi wisudanya dan tangannya merangkul bahu gue.
"Oh iya. Kenapa emang mas?"
"Jahat lu ama dia, PHP." jawabnya di luar prediksi.
"Ih kirain jealous!"
Dia cuma terkekeh mendengar kekesalan gue.
"Saya pesen taksi aja ya? Biar mas bisa langsung pulang."
"Mending lu pulang sama gue."
"Biar nggak capek ah, bolak balik lagi."
"Kalo nggak mau bolak balik gue punya solusi deh." senyum menyebalkannya tiba-tiba muncul.
"Apa?"
"Lu baliknya ke rumah gue aja."
"NGGAK MAKASIH!" gue mempertegas dengan nada kesal yang membuatnya semakin tertawa.
"Takut apa sih, Dir? Kamar juga ada tiga. Kemarin di Jogja juga seatap." ujarnya masih sambil tersenyum iseng.
"Kan ada bapak sama ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
Chick-Lit"Brian. Nama gue Brian. Lu kan denger tadi nama kita dipanggil barengan?" ujarnya ketus. Indrika memandang laki-laki yang membangunkannya dari last call pesawat yang hampir membuatnya ketinggalan penerbangannya ke Bangkok tadi. Punggungnya perlahan...