Chapter 43: The Ice Cream

409 44 16
                                    

Making up after a fight might not be a super big deal for me. I've been there so many times. Everyone who's been in relationship has. But after a long break-up? No. I've never imagined it would happen to my life. I always hold on to this value: what's done is done. There's no turning back.

But then everybody always has at least one exception in life. As common I am as everybody, I get to find my one exception after living mostly with my 75% logic for the past 26 years. One single person makes my brain stop working just like Windows when dealing with non-compatible device or software.

His last words linger in my head like the echo of Satan's voice in Ramadan when fasting people are looking at es campur di siang bolong.

Sementara itu di depan gue sebuah prosesi penting sedang berlangsung. Jevan sedang menjadi MC dengan semangat dan humornya berhasil membuat para orang tua yang hadir tertawa. Masing-masing pihak keluarga, diwakili bapak dan papanya Mas Agus sedang membawakan pidato singkat.

Papa Mas Agus membuka speechnya dengan meminta izin pada keluarga kami untuk 'membuka pintu' bagi keluarganya untuk masuk. After all this will bring the two families together, not only the couple themselves.

Bapak berpesan untuk menitipkan Indira kepada Mas Agus, dan dengan candaan sarkasnya meminta Mas Agus untuk bertanggung jawab seumur hidup terhadap Indira atau dia harus berhadapan langsung dengan bapak kalau ada sesuatu.

"Now it's time for the main procession..." Jevan kembali bersuara untuk meneruskan acara

"Bahasa Indonesia, Jev.." bisik Brian mengingatkan. Beberapa tante dan Om dari keluarga Mas Agus tertawa mendengar mereka.

"Oh, sorry, lupa. Sekarang saatnya untuk memberikan beberapa seserahan dan dipersilahkan kedua mempelai untuk bertukar cincin."

"Belum mempelai, Jev. Masih tunangan.." Brian kembali menegur.

"Kedua pasangan, maksud saya.."

"Mas Jevan kalo salah lagi Om tunangin lho ya." Kata bapak yang disambut tawa saudara-saudara yang datang.

"Boleh om, sekalian cariin calonnya, hehehe."

Mama Mas Agus memberikan sepaket seserahan berupa parfum dan skin care, sepatu, serta sebuah kotak yang gue duga berisi perhiasan sebagai simbol. Setelah itu mereka berdua bertukar cincin.

"Ada yang mau disampaikan nggak, Mas Agustino ke Indira?" tanya Jevan.

"Dikit aja boleh ya? Sisanya nanti kalau udah sah aja." kata Mas Agus.

"Boleh, sepatah dua patah kata aja." jawab Jevan.

"Terima kasih sudah menemukan saya, membangun saya dan kamu menjadi kita, meredakan ego saya, dan selalu mau diajak saling bicara dan saling mendengar. I can never hope to find a better partner in life." dia menutup speech singkatnya dengan sebuah senyuman. He looks at my sister with the most endearing eyes. Sesuatu yang jarang banget gue lihat.

"Dan terima kasih bapak dan ibu yang juga mau menerima saya dengan segala kekurangan yang saya punya." tambahnya, tersenyum pada bapak dan ibu.

Singkat, padat, bangsat. Kekurangan apa coba yang dia punya? Kesel!

Kak Bima sibuk menjepret momen itu dan momen-momen lain sepanjang acara. Enak banget Indira nggak perlu keluar modal buat ngundang MC dan fotografer. Dekorasi ruangan juga diurus oleh Kak Cynthia. Semua temannya dia pekerjakan secara maksimal. Prinsip ekonomi.

"Buset dah parfum sama lotionnya Jo Malone satu set gitu?! Gue aja kemaren cuma The Body Shop." bisik Kak Bima yang muncul di samping gue dengan kameranya yang terkalung di leher.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang